Risalah Kematian | Puisi-puisi Mohammad Nuruddin
Editor: Ahmad Arsyad
Remangkah
Adalah rembulan yang anggun terpapar pada riak ombak Di lupuk mataku
Seperti Angan yang menciptakan ingin Candu untuk bertemu Padamu, untukmu Segalanya pasrah.
Dalam ingat engkau membulat Menggeliat hingga ke teluk jantungku Kukejar, kususup Tak sampai Jauh dari jaraknya
Kemudian kembali menjadi angin yg menusuk lewat pori-pori sampai ke urat nadi,
ia mendobrak pintu langitku yang retak
Dengan ucap dan sorot matanya Mengkilat! Remang aku di matamu Dan gamang engkau di pelupukku.
Yogyakarta, 10 September 2021
Risalah Kematian
Tentang sepucuk mawar yang layu dengan senyum di bibir manismu Kembali menela’ah pada belahan dada yang kerap kucumbu Siul pemanggil angin kini tak ada, hanya seruling pemanggil dewa-dewa Menengadah dengan tangan lemas dan wajah yang tak lagi bergairah Dalam benak berucap, mulutku penuh ketakutan, Tuan.
berikanlah kami air yang dapat mengalir ke sungai-sungai Hingga ke purus punggung dermaga dan bercumbu di muara. Segalanya ada pada kami cemas lemas takut resah gelisah Terus menggeliat dalam tubuh tak ada ramuan dan tabib yang dapat memecahkan Bila malam kami tak bisa bermalam-malam Siangpun harus berjarak dan waktu untuk berkelana Di sepanjang lorong dan rel kereta yang pekat akan senyum dan tawa mereka Tuan.
Kami bertanya ,kami meminta dari tembang yang senantiasa di baca Dan do’a yang terus di panjatkan serta dzikir yang mengalir. Tariklah suara-suara itu pada gerbang langitmu yang gelap dan mencekam. Apakah kami harus mengetuk dengan pukulan yang keras atau ramah ? Atau pula kami membakar dengan mulut yang menganga ? Secepatnya kembalilah pada habitat kehidupan yang utuh dan sempurna Tanpa peminta-minta Tanpa keluh kesahnya Damailah…
Yogyakarta, 11 September 2021
Ekologi kisah kasih
Pada malam aku meracunmu Dengan ramuan kata Menjemu rindu yang menjelma tawa di desiran darah Mengecup urat nadi.
Bukanlah hal fana nan baka membius Dari sela-sela jemarimu Melambaikan bulu Mata dan alis serupa pelangi mendarati bumi
Dari lentik senyumnya aku mati setengah diri Tak berucap, mengatup Bersekongkol pada bulan menjatuhkan bintang di atas ranjang
Ingin menyelimutinya, dengan se onggok harapan dan tertulis nama nama Melukis serta dari tinta. Melekat di lembaran seperti kisah roman Ribuan tahun lalu
Tak mati di kuncup berseri Biarlah kita jadi dongeng mengabdi di mata pujangga Peralihan kisah dari damar wulan , romeo juliet, laila dan majnun
Tiru mereka romantisme , mengeja kasih meski berakhir genting lekat pada dinding rasa hati hingga jantung melepas nyawa pun terhempas
Akulah pemujamu dalam puisi !
Yogyakarta, 12 September 2021
Mohammad Nuruddin, kelahiran Pamekasan Madura, aktif berkesenian dan menulis di Yogyakarta, beberapa puisinya termaktub dalam antologi bersama dan media online, kini sedang menyelesaikan pendidikan jenjang S 1 di sastra Indonesia universitas PGRI Yogyakarta.