Politik Kotor di Atas Ombak

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Laut bagi banyak orang adalah suatu garis batas. Namun bagi saya, Laut adalah halaman rumah yang menjadi tempat bertumbuh, tempat menggantungkan hidup, dan tempat mendekatkan diri kepada alam.
Di pesisir utara Kab Tangerang, laut sudah menjadi identitas dan nafas kolektif masyarakat yang melekat dalam jiwa.
Namun, Di wajah laut yang indah, belakangan ini muncul pagar yang tertancap rapih.
Sertifikat hak guna bangunan dan bahkan hak milik tiba-tiba terbit di atas air yang seharusnya tak pernah menjadi milik siapa pun. Dengan berani saya menyebutnya sebagai Tanah Ghaib Diatas Laut.
Suatu istilah yang seharusnya menjadi lelucon, tapi kini menjadi bukti nyata, betapa lenturnya hukum jika disusun di atas meja kekuasaan, bukan di ruang keadilan.
Sebagai anak pesisir yang duduk diruang pembelajaran Ilmu Politik, saya belajar bahwa pemimpin ditunjuk untuk mengayomi, bukan menguasai.
Tapi realita disini justru berbicara sebaliknya. Teori hegemoni Gramsci disini tergambar, bagaimana kekuasaan dapat bekerja secara halus melalui persetujuan yang dipaksakan.
Saya menyaksikan dengan panca indera saya sendiri ketika diam menjadi kebijakan, dan suara rakyat dibungkam dalam narasi “pembangunan”. Kekuasaan disini bukan lagi menjadi nahkoda rakyat namun berubah wujud menjadi pagar yang menutup ruang hidup dan menjadi sertifikat yang terbit instan melalui jalan tikus.
Lebih menyedihkan lagi ketika aparat yang seharusnya berdiri bersama rakyat, justru berdiri menginjak rakyat.
Esensi dari suatu kepemimpinan yang ideal seharusnya hadir sebagai perpanjangan tangan masyarakat. Namun kini, kepemimpinan seperti itu terasa menjauh.
Demi “bensin mobil yang terpenuhi” lalu rakyat dikorbankan. Saya sangat prihatin, Mungkin dalam bahasa lokal desa saya dapat diungkapkan dengan Sedih Jasa, rasa sedih yang amat mendalam. Dalam pemikiran politik klasik, Plato menyebut bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mencintai kebenaran lebih dari kekuasaan.
Tapi ketika kekuasaan lebih sibuk mengatur kepemilikan atas laut ketimbang mendengar suara rakyat, maka politik disini telah kehilangan nilai filosofisnya.
Saya tidak kontra terhadap pembangunan. Tapi perlu saya pertanyakan, untuk kepentingan siapakah pembangunan diadakan? Jika ruang hidup warga dirampas dan jika sistem bertekuk lutut pada uang.
Saya menulis ini dengan kesedihan yang mendalam, Karena saya merasa gagal menjaga kampung halaman saya dari cengkeraman politik kotor. Saya menyaksikan sendiri bagaimana laut bisa berubah dari berkah menjadi ladang kuasa.
Dan karena saya tahu jika tak bersuara hari ini, maka generasi setelah saya akan terus hidup dibawah sistem politik kotor, dan tidak akan bisa menikmati berkah alam nya.
Saya hanya berharap, kasus ini tidak berakhir sebagai berita yang kian hari semakin menguap. Saya ingin penyelidikan tetap dijalankan. Meski lambat, Saya ingin keadilan tetap eksis.
Dan saya ingin politik kembali pada wajah aslinya yakni sebagai seni untuk memperjuangkan hidup yang lebih baik, bukan sebagai alat untuk memperdagangkan kepentingan.
Pada akhirnya laut akan terus berbicara. Tapi hari ini, izinkan saya lebih dulu menyuarakan luka itu.
*) Penulis adalah Herdiansyah Hafiz, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati serta Aktivis Pemuda Desa Kohod – Tangerang.