Pemilwa dan Kekuasaan Prematur: Mengurai Kasus Pemukulan Mahasiswa UIN Madura

Jurnalis: Fahrur Rozi
Kabar Baru, Kolom – Apa yang lebih menyakitkan dari melihat mahasiswa dipukuli hanya karena bertanya? AF, mahasiswa UIN Madura, harus berakhir di Polres Pamekasan karena tubuhnya dihajar oleh sesama mahasiswa. Ia hanya mempertanyakan keabsahan calon ketua himpunan mahasiswa di jurusannya, sesuatu yang seharusnya lazim dalam sebuah forum demokratis. Tapi alih-alih dijawab dengan argumen, ia justru dibungkam dengan kekerasan.
Dari insiden ini dapat membuka banyak mata, soal cara berpikir kita sebagai satu bangsa. Karena saat tangan digunakan untuk menjawab kritik, maka yang remuk satu-satunya bukan korban bahkan reputasi kampus, nalar publik, dan martabat demokrasi itu sendiri.
Kampus yang harusnya menjadi tempat kita berdialek, bukan berebut benar diatas salah, tapi yang terjadi di UIN Madura justru menunjukkan sebaliknya: bahwa kita gagal membangun kultur akademik yang sehat. Kita memelihara mentalitas feodal dalam rupa baru yang alih-alih menumbuhkan pemimpin kritis, justru membentuk pribadi otoriter sejak dini.
AF bukan satu-satunya korban. Banyak mahasiswa di berbagai kampus sebenarnya hidup dalam tekanan diam yang tak terlihat. Kritik dianggap ancaman, pertanyaan dianggap pembangkangan, keberanian dianggap kurang ajar.
Maka wajar jika banyak yang akhirnya memilih bungkam, memilih aman, memilih pura-pura tidak tahu. Inilah wajah kampus hari ini yang terlihat modern, tapi pikirannya masih dikuasai logika kekuasaan.
Paradoksnya, semua ini terjadi di lembaga pendidikan tinggi Islam, tempat yang selayaknya menjunjung tinggi adab, etika, dan ilmu. Tapi apa gunanya semua jargon itu jika kritik dijawab dengan kekerasan? Apa makna dakwah jika suara berbeda dibungkam dengan intimidasi?
Apa pun alasannya, pemukulan karena perbedaan pandangan adalah bentuk kekalahan berpikir. Dan jika kampus tidak bersikap tegas terhadap tindakan ini, maka mereka sedang mendidik generasi yang percaya bahwa kekuasaan bisa dipertahankan dengan kekerasan.
Demokrasi yang mestinya mendewasakan kita lewat proses dialektika, dan klarifikasi telah dirampas oleh mentalitas kekuasaan yang prematur. Mahasiswa yang mestinya menjadi agen perubahan justru meniru gaya kekuasaan represif yang tak tahan diuji nalar.
Kode etik perguruan tinggi, baik dalam bentuk peraturan rektor maupun norma-norma etik institusional, mewajibkan seluruh sivitas akademika, mahasiswa, dosen, hingga pengelola prodi untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan, kesantunan intelektual, dan penyelesaian masalah melalui jalur argumentatif.
Padahal, Pasal 8 Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa pimpinan perguruan tinggi wajib menjamin terciptanya lingkungan yang bebas dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran etik.
Bila kekerasan terjadi dan tidak ada satu pun pernyataan resmi dari Pihak Rektor UIN Madura, publik patut mempertanyakan integritas kepemimpinan akademik kampus tersebut.