Melawan Isu Hoax; Antara Kebenaran dan Kebebasan Berpendapat

Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI– Tulisan singkat ini akan saya awali dengan sedikit menyinggung tentang budaya pop sebagai penghasil budaya komsumtif yang kemudian menggeser ruang-ruang sosial dan aspek moralitas. Kehadiran budaya pop identik dengan budaya massa yang lahir akibat Penyeragaman rasa. Dalam tradisi budaya pop media mengambil peran penting dalam mengendalikan peristiwa komunikasi.
Apa yang ingin saya kemukakan bahwa peristiwa komunikasi secara tidak sadar dikendalikan oleh media. Media sebagai sarana komunikasi tampaknya tidak lagi menempatkan dirinya sebagai selayaknya. Kadang-kadang media dijadikan sebagai ajang pertarungan gagasan dan argumen untuk mencari sisi kebenaran yang subjektifitas, kebenaran yang oleh Seno diistilahkan dengan kebenaran milik mayoritas. Gramsci dalam konsepnya tentang teori hegemoni mengajukan gagasan bahwa media sebagai ruang untuk merepresentasikan beberapa ideologi, Penjelasan ini mengindikasikan bahwa media adalah alat untuk membangun kepentingan kelas-kelas sosial dengan ideologi yang berbeda.
Mengutip dari gagasan Saunders (1994:274) tentang rumor yang merupakan wacana tak resmi yang sumbernya tidak jelas, sebagai hasil informasi yang belum diperiksa kebenarannya dan berkembang setiap tahap dalam peristiwa komunikasi. Istilah hoax saya melihatnya sebagai wacana yang bergulir ditengah-tengah masyarakat. Diterima, dibagikan dan diyakini oleh publik.
Hoaks adalah produk digitalisasi media online yang secara konseptual dimaknai sebagai “berita bohong” dengan prinsip kebenaran bisa ya atau tidak atau dengan istilah kebenaran palsu yang diterima sebagai suatu kewajaran. Kebenaran palsu ini akan membentuk opini masyarakat, sehingga diperlukan cara berpikir kritis untuk menyaring apa yang bisa diambil dan dibuang. Fakta real yang terjadi dalam masyarakat modern segala sesuatu diterima sebagai kewajaran tanpa proses berpikir dan telaah Yang kritis. Gambaran ini menjelaskan bahwa masyarakat kita tengah mengalami krisis berpikir dan perenungan yang akut. Pada sebuah esainya tidak ada objek di paris kondisi penerimaan ini banyak diistilahkan oleh Seno (2015:44) dengan ”mulut menganga” publik diibaratkan sebagai mulut menganga yang dapat dimasuki apa saja tanpa ada proses mengunyah terlebih dahulu atau dengan istilah lain kedudukan publik tidak setara dengan penghasil makna dalam hal ini pemberi informasi hoax, sekalipun mungkin informasi yang diterima hanya merupakan sebuah representasi dari sebuah kebenaran.
Pertanyaannya kemudian bagaimana mengembalikan cara berpikir kritis dan perenungan? Alex Sobur menjelaskan bahwa informasi perlu disaring melalui kerangka mental, Sikap dan pengetahuan. Ketika seseorang mengirim informasi mereka menyaringnya melalui Sikap, pengetahuan dan bahkan kapasitas intelektual mereka untuk menjelaskannya. Juga, ketika seseorang menerima informasi tersebut disaring melalui Sikap, pengetahuan dan kapasitas intelektual mereka. Hal inilah yang kemudian harus dimiliki oleh setiap pelaku, individu ataupun kelompok sosial masyarakat. Jadi, semua bergantung terhadap bagaimana penerimaan publik terhadap sesuatu yang dianggap nilai kebenaran.
Setiap orang memiliki kemampuan mengkode dan mendekode informasi secara berbeda dalam teori sosiolog. Gagasan ini saya melihatnya sebagai bentuk hubungan antara kebebasan mengemukakan gagasan, seperti yang dikemukakan oleh Strinati (2016: IO) bahwa setiap orang tidak hanya berhak atas kewarganegaraan politis penuh, tetapi secara potensial juga cenderung kultural secara umum pada setiap orang sama-sama bermanfaat dan layak dihormati dan dipenuhi seperti halnya kecenderungan para elite tradisional. Gagasan ini menganut konsep bahwa setiap orang memiliki sama-sama berhak mendapatkan penghargaan atas setiap gagasan-gagasannya. Nah bagian yang menjadi permasalahan adalah ketika sejumlah asumsi dan gagasan-gagasan itu berisi informasi yang justru menjatuhkan atau tingkat kebenarannya diada-adakan secara subjektif. Orang-orang kemudian meyakininya sebagai kebenaran palsu tanpa telaah dan analisis yang kritis.
Gambaran dari sebuah massa yang nyaris tanpa berpikir, tanpa merenung, menangguhkan segala harapan kritis, bersekongkol dengan budaya massa dan konsumsi massa. Karena lahirnya masyarakat massa dan budaya massa, maka terjadilah kekurangan sumber intelektual maupun moral untuk melakukan hal sebaliknya. Publik tidak lagi memikirkan alternatif-alternatif yang lain (Strinati, 2016:15). Apa yang dijelaskan oleh Strinati adalah gambaran masyarakat kekinian yang selalu mengantungkan hidup atas segala kemudahan yang disuguhkan oleh teknologi menerima secara kontinu segala sesuatu tanpa disertai oleh nalar yang kritis.
Bila diperhatikan lebih lanjut kita kehilangan kendali dalam mengolah informasi, dalam artian penyebaran isu hoax Sebenarnya terjadi karena keluguan kita atas segala akses informasi yang selalu diyakini sebagai kebenaran Nah disini sebagai bagian dari produk digital. Teknologi bekerja sebagai sarana untuk mengakses segala sumber informasi dalam hal ini isu-isu tentang hoax. Penyebaran isu hoax terjadi dalam sekejap mata seperti dunia percepatan tentu saja ini akan memberikan pengaruh dan dampak yang cukup besar terhadap pola pemikiran dan tingkah laku masyarakat
Seperti yang dijelaskan oleh Yasraf Amir inilah bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah menimbulkan berbagai persoalan moral, terkait dengan perubahan pada apa yang diterima sebagai sesuatu yang baik, pantas, bebas atau adil. Teknologi informasi menawarkan nilai-nilai moral tentang kebebasan, kemudahan, kesetaraan dan kebahagiaan. Dari Sisi substansial Yasraf menyebutnya sebagai pemenjaraan, ketergantungan. Kesenjangan, dan kecemasan.
Nilai kebebasan yang ditawarkan oleh Yasraf inilah yang kemudian banyak terkonstruksi pada publik, mereka menggunakan istilah kebebasan sebagai bagian dari hak untuk menyatakan seperangkat asumsi-asumsi berupa informasi tidak jelas. Sementara istilah penjara terkonstruksi lewat pemaknaan orang-orang terhadap informasi yang diterima ataupun dikodekan. Orang-orang terpenjara dan terperangkat dalam pemikirannya sendiri tentang makan yang diterima sebagai kewajaran.
Melihat beberapa gagasan dan asumsi diatas perlu sebuah sikap kritis dan lebih berhati-hati dalam mengkomunikasikan sesuatu perlu pemahaman secara mendalam agar tidak terjerat pada “kebenaran palsu”. Saya tertarik dengan beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Seno pada esainya. Apakah tidak ada penyadaran yang bisa dilakukan untuk membongkar sebuah konstruksi? Apakah mungkin bisa menggalang sebuah sikap kritis atas hegemoni makna yang merajalela? Masih mungkinkah dilakukan suatu penolakan atas klaim makna yang kadang terasa tiada semena-mena? Negosiasi macam apa yang bisa dilakukan atas ketertindasan hegemonik semacam itu?
Seno kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa yang menjadi pokok permasalahan adalah keberadaan antara yang ditolak dan yang menolak, siapakah yang memiliki kadar sahih yang “benar” sebab argumen penolakan pun adalah sebuah konstruksi katanya. Konstruksi yang akan terus mencari cara menjadi hegemonik juga yang pada akhirnya melahirkan sesuatu yang menggelisahkan “siapa yang akan dipercaya” dan “kebenaran itu milik siapa”?
*) Penulis adalah Irvan Sahrul Sahrudin, Mahasiswa Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co