KPU-Bawaslu Diusulkan Jadi Lembaga Ad Hoc, Pertanda Kemunduran Demokrasi Indonesia
Jurnalis: Sulistiana Dewi
Kabarbaru, Jakarta – Beberapa hari terakhir, wacana mengenai perubahan status Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi lembaga Ad Hoc tengah ramai diperbincangkan.
Wacana ini muncul setelah anggota Badan Legislasi DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, mengusulkan agar kedua lembaga tersebut berstatus ad hoc dengan masa jabatan dua tahun.
Menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, KPU-Bawaslu hanya efektif bekerja selama dua tahun dalam satu periode lima tahun. Sementara itu, sisa waktu tiga tahun dianggap hanya diisi dengan kegiatan pelatihan dan bimbingan teknis (bimtek) yang dianggap memboroskan anggaran negara.
Menanggapi usulan tersebut, Pengamat Politik dan Intelijen, Muhammad Sutisna, mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi kemunduran demokrasi jika KPU dan Bawaslu benar-benar dijadikan lembaga ad hoc.
Sutisna menyatakan bahwa keberadaan kedua lembaga ini sangat vital dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan sistem demokrasi di Indonesia.
“Usulan ini sangat bias dan tidak memiliki dasar yang kuat. Jika KPU dan Bawaslu menjadi lembaga ad hoc, independensi dan efektivitasnya dalam mengawal proses pemilu akan terancam,” ujar Sutisna dalam keterangan persnya, Selasa (26/11/2024).
Sutisna, yang juga alumni Universitas Indonesia (UI) ini menambahkan, apabila KPU-Bawaslu berstatus ad hoc, intervensi politik akan semakin terbuka lebar.
Ia menekankan bahwa intervensi politik dalam sistem demokrasi justru dapat merugikan rakyat dan menggoyahkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu yang adil dan transparan.
“Anggota DPR seharusnya lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan. KPU dan Bawaslu memiliki peran penting dalam menjaga kualitas pemilu. Jadi, usulan ini harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang,” kata Sutisna.
Terkait dengan kegiatan pelatihan dan bimtek yang sering digelar oleh KPU-Bawaslu, Sutisna memandang program tersebut sebagai hal yang positif, karena berkontribusi dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) penyelenggara pemilu.
Menurut Sutisna, proses pemilu bukan hanya terkait dengan hari pencoblosan, tetapi melibatkan persiapan panjang, edukasi masyarakat, dan peningkatan kapasitas penyelenggara pemilu.
“Pelatihan dan bimtek ini penting untuk memastikan bahwa pemilu di Indonesia memiliki kualitas yang baik. Itu adalah investasi untuk penyelenggara pemilu agar dapat menjalankan tugas dengan lebih efektif,” ujarnya.
Sutisna pun menyarankan agar DPR lebih fokus pada upaya untuk memperkuat KPU dan Bawaslu, bukan malah mengurangi peran mereka. Menurutnya, penataan pemilu yang baik memerlukan waktu yang cukup panjang, minimal lima tahun, agar bisa mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga tersebut.
Sutisna menyebut, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merupakan bagian dari amanah reformasi yang harus dijaga dan diperkuat.
“Masa jabatan lima tahun sudah dirancang untuk memberi waktu yang cukup bagi lembaga-lembaga ini untuk menjalankan peranannya dengan maksimal. Ada tahapan pra, mau, dan pasca pemilu yang perlu diperhatikan,” jelas Sutisna.
Sutisna sependapat dengan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, yang mengusulkan agar DPR meningkatkan peran KPU-Bawaslu, salah satunya dengan memberikan kebebasan kepada KPU-Bawaslu untuk menggelar pelatihan singkat bagi calon legislatif pada pemilu mendatang.
Sutisna juga sejalan dengan apa yang telah disampaikan Menko Politik dan Keamanan Budi Gunawan, bahwa dengan dijadikannya KPU-Bawaslu menjadi lembaga ad hoc independensi, kredibilitas, dan efektivitas akan berisiko.
“Pemerintah dan DPR harus merumuskan tata kelola pemilu yang lebih baik ke depannya, agar independensi dan kredibilitas KPU-Bawaslu tetap terjaga. Sebagaimana yang dikatakan oleh Menko Polhukam Budi Gunawan, pengkajian terhadap independensi, kredibilitas, dan efektivitas KPU sangat penting jika lembaga ini berubah menjadi ad hoc,” pungkasnya.