Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Ketika Humor Menjadi Senjata: Refleksi atas Ketidaksensitifan Gus Miftah terhadap Pedagang Es Teh

kabarbaru.co
Abdul Wahid Wathoni. (Foto: Ist).

Jurnalis:

Kabar Baru, OpiniGara-gara sebotol minuman dia jalannya sempoyongan, penggalan lagu yang belakang sering berseliweran di media sosial ini agaknya mirip dengan kasus Gus Miftah beberapa hari ini. Gara-gara es teh, Gus Miftah yang selama ini dipuji karena metode dakwahnya merangkul kaum marjinal, akhir-akhir ini malah harus dicibir oleh seluruh jagat maya dan luar negeri guyonannya kepada seorang penjual es teh.

Kasus kontroversial yang melibatkan Gus Miftah, seorang tokoh agama dan utusan khusus Presiden Republik Indonesia, mengundang banyak sorotan publik, terutama terkait ucapan dan perilakunya terhadap seorang pedagang es teh. Insiden ini terjadi di sebuah pengajian di Magelang, di mana Gus Miftah diduga mengolok-olok pedagang tersebut dengan kata-kata kasar dan canda yang dianggap tidak peka terhadap situasi ekonomi si pedagang. Dari peristiwa ini, muncul berbagai respons yang menyoroti aspek etika, profesionalisme, dan empati yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin agama.

Jasa Penerbitan Buku

Dalam kasus ini, salah satu data yang paling disoroti adalah penggunaan kata-kata kasar oleh Gus Miftah saat berinteraksi dengan pedagang es teh. Dalam video yang viral di media sosial, Gus Miftah terlihat berkata, “Es tehmu sih akeh (masih banyak), enggak? Ya sana jual gob**k.” Ucapan ini langsung memicu reaksi dari netizen yang merasa bahwa seorang tokoh agama seharusnya berbicara dengan lebih bijaksana, terutama ketika berhadapan dengan individu yang lebih rendah status sosialnya. Kata-kata kasar ini dinilai sebagai bentuk ketidaksantunan yang tidak pantas keluar dari mulut seorang ulama yang seharusnya memberikan contoh perilaku yang baik kepada masyarakat.

Tidak hanya itu, sikap Gus Miftah juga dipandang sebagai tidak profesional, mengingat statusnya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama. Sebagai seorang tokoh agama yang memegang peran penting dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama, seharusnya Gus Miftah memiliki kecakapan dalam berbicara dan berperilaku. Reaksi negatif dari berbagai kalangan, termasuk partai politik dan masyarakat luas, menunjukkan bahwa perilaku seperti ini tidak hanya merusak citra dirinya, tetapi juga merusak citra lembaga yang diwakilinya. Netizen bahkan mempertanyakan kelayakannya untuk menjabat posisi tersebut setelah insiden ini.

Dalam video tersebut, Gus Miftah tampak menyampaikan candaan mengenai konsep rezeki menurut Islam, yang intinya menyarankan agar pedagang es teh menerima takdir jika dagangannya tidak laku. “Jual dulu. Nanti kalau belum laku, ya sudah takdir,” katanya. Pernyataan ini dianggap tidak sensitif terhadap keadaan si pedagang, yang mungkin saja tengah berjuang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ucapan yang seharusnya bisa diberikan dengan nada yang lebih empatik, malah justru terasa seperti olok-olok yang memalukan. Para netizen menganggap bahwa candaan tersebut bisa memperburuk kondisi psikologis pedagang yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi, terutama dalam situasi pandemi yang memperburuk kondisi perekonomian banyak orang.

Kritikan terhadap Gus Miftah semakin tajam karena ada anggapan bahwa ia tidak mempertimbangkan faktor ekonomi dalam candaan tersebut. Mengaitkan penjualan es teh dengan konsep takdir seakan-akan mengabaikan realitas hidup pedagang kecil yang harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Para kritikus berpendapat bahwa seorang ulama seharusnya lebih peka terhadap realitas sosial dan ekonomi yang dialami oleh masyarakatnya. Bahkan, beberapa netizen menyebut bahwa pedagang es teh yang dianggap sebagai pekerja keras lebih terhormat dan lebih dihargai dibandingkan dengan Gus Miftah, yang tidak mampu menunjukkan rasa empati terhadap mereka yang kurang beruntung.

Tidak hanya dari sisi etika, insiden ini juga mengungkapkan pentingnya empati dalam berinteraksi dengan masyarakat. Seorang tokoh agama dan publik seharusnya dapat memahami perasaan orang lain, terutama ketika berbicara dengan individu yang berada di bawah tekanan ekonomi. Gus Miftah, sebagai seorang pemimpin agama, diharapkan mampu menunjukkan sikap penuh perhatian dan mendukung masyarakat dalam kesulitan. Menggunakan humor atau candaan yang merendahkan bukanlah pendekatan yang tepat, karena hal itu justru bisa memperburuk keadaan dan membuat orang merasa tidak dihargai.

Reaksi dari masyarakat juga menunjukkan ketidaksetujuan terhadap sikap Gus Miftah. Banyak yang menyebut bahwa, sebagai seorang pemuka agama, ia seharusnya memberikan contoh teladan dalam cara berbicara dan bersikap. Sikap yang lebih rendah hati dan penuh penghargaan terhadap orang lain, termasuk pedagang es teh tersebut, adalah hal yang seharusnya diutamakan. Ketika seorang tokoh agama melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma yang diajarkan, maka hal tersebut tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap figur ulama.

Dalam konteks ini, juga muncul pertanyaan mengenai ketidakpekaan sosial seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar. Beberapa netizen berpendapat bahwa Gus Miftah tidak menyadari betapa besar dampak dari ucapannya, dan bagaimana hal itu bisa memengaruhi persepsi orang terhadap dirinya. Pada saat yang sama, banyak pula yang menilai bahwa tindakan ini mencerminkan ketidaktahuan Gus Miftah tentang masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh lapisan masyarakat yang lebih bawah. Ketika seorang tokoh agama sekaligus pejabat publik tidak mampu berbicara dengan bijaksana, maka hal tersebut menjadi masalah besar, karena bisa mengarah pada ketidakpercayaan dan perpecahan dalam masyarakat.

Kejadian ini mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga ucapan dan sikap, terutama bagi mereka yang memiliki posisi penting dalam masyarakat. Seorang tokoh agama, seperti Gus Miftah, harus mampu menunjukkan teladan yang baik dalam setiap aspek kehidupannya, baik dalam berbicara, berperilaku, maupun dalam memberikan penghormatan kepada orang lain, apalagi mereka yang berada di lapisan masyarakat yang lebih bawah. Sebuah kata yang tidak bijaksana, meskipun dimaksudkan sebagai candaan, bisa merusak banyak hal, termasuk citra diri dan hubungan dengan orang lain.

Penulis adalah Abdul Wahid Wathoni,  Lurah Awardee LPDP Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store