Kejagung Masuk Angin di Skandal Solar Murah? Tak Mau Periksa Boy Thohir dan Franky

Jurnalis: Khotibul Umam
Kabar Baru, Jakarta – Skandal dugaan korupsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merugikan negara hingga Rp2,5 triliun kembali menyoroti perlunya penegakan hukum tegas di sektor energi.
Kasus ini, yang diduga melibatkan korporasi besar milik pengusaha papan atas seperti Boy Thohir dan Franky Widjaja, membuktikan celah besar dalam tata kelola subsidi BBM yang seharusnya menyasar rakyat miskin.
Tanpa efek jera yang nyata, kebocoran dan penyalahgunaan dana subsidi energi dikhawatirkan akan terus berulang.
Ekonom UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat (ANH), menyatakan keheranannya atas fenomena di mana subsidi dan insentif justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya.
Padahal, BBM bersubsidi merupakan hak esensial bagi masyarakat miskin. Data temuan Next Center per Maret 2024 menunjukkan, 40% rumah tangga termiskin (desil 1-4) seharusnya menjadi target utama subsidi energi.
Namun, kenyataannya porsi terbesar subsidi energi justru mengalir ke keluarga menengah ke atas (desil 5-10).
“Rakyat kecil yang tiap bulan mengatur uang belanja pas-pasan, malah mensubsidi mereka yang mobilnya berderet di garasi, atau rumahnya berharga miliaran rupiah. Ini kan enggak adil,” tegasnya kepada Jurnalis Kabarbaru di Jakarta, Minggu (14/12/2025).
Achmad Nur menyoroti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang mengalokasikan nyaris Rp400 triliun untuk subsidi energi, meliputi BBM (Rp26,7 T), LPG (Rp87 T), listrik (Rp89,7 T), ditambah kompensasi energi (hampir Rp191 T).
Menurutnya, jumlah sebesar itu akan menjadi harga yang layak untuk keadilan sosial jika benar-benar melindungi kaum miskin. Namun, data menunjukkan adanya kebocoran masif, terutama BBM.
Bahkan, korporasi besar diduga nekat berkolaborasi dengan oknum Pertamina untuk memperoleh solar dengan harga sangat murah, melanggar ketentuan dan bahkan di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP) Pertamina.
Daftar Perusahaan Menikmati Solar Murah
Fakta mengejutkan terungkap dalam sidang mantan Dirut Pertamina Patra Niaga (PPN), Riva Siahaan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Jaksa penuntut umum membeberkan belasan perusahaan yang diduga meraup keuntungan besar dari pembelian solar super murah, tidak mematuhi Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga.
Potensi kerugian negara mencapai Rp2,5 triliun akibat praktik ini.
Sejumlah perusahaan besar yang diduga terseret dalam kasus ini antara lain:
-
PT Adaro Indonesia (milik Boy Thohir) diduga untung Rp168,51 miliar, serta afiliasinya, PT Maritim Barito Perkasa, kecipratan Rp66,48 miliar.
-
Sinarmas Group (milik Franky Widjaja) melalui PT Beraul Coal dan dua perusahaan lain (PT Purnusa Eka Persada dan PT Arara Abadi) diduga mengantongi total Rp481,1 miliar.
-
PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) (Delta Dunia Group) memperoleh Rp264,14 miliar.
-
PT Merah Putih Petroleum meraup Rp256,23 miliar.
-
PT Ganda Alam Makmur (Titan Group) diduga untung Rp127,99 miliar.
-
Anak usaha PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITM) diduga menerima Rp85,80 miliar.
-
PT Vale Indonesia Tbk diduga menikmati Rp62,14 miliar.
-
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk diduga “menelan” Rp42,51 miliar.
-
Bahkan, perusahaan pelat merah seperti PT Aneka Tambang (Antam) Tbk dan kongsi bisnisnya, PT Nusa Halmahera Minerals (PTNHM), diduga turut menikmati keuntungan masing-masing Rp16,79 miliar dan Rp14,06 miliar.
Uji Nyali Kejaksaan Agung
Meski fakta hukum telah terungkap di persidangan, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyayangkan belum adanya perkembangan signifikan dua bulan berselang.
Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) belum memanggil pihak-pihak yang disebutkan.
Boyamin mendesak Kejagung segera menetapkan tersangka dari korporasi yang menikmati keuntungan dari skandal solar murah tersebut.
Menurut Boyamin, sanksi pidana berupa denda saja tidak cukup memberikan efek jera.
Kejagung harus berani memberikan sanksi pidana tambahan, seperti pencabutan izin usaha hingga pembubaran korporasi, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap lembaga kecil.
“Bukan hanya sekadar dihukum denda dan sebagainya. Terlalu enak nanti banyak yang melakukan itu. Jadi, itulah menurut saya harus segera diproses hukum,” tutup Boyamin.
Dia mendesak agar kasus ini menjadi momentum penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan besar.
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







