Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Gagap Ideologis Aparat dan Bahaya Salah Identifikasi

Kabarbaru.co
Penulis adalah Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Pengurus PB PMII. (Foto: Ist).

Editor:

Kabar Baru, Opini — Penangkapan seorang pelajar di Garut oleh Densus 88 dengan dalih adanya indikasi berkembangnya paham neo-Nazi patut menjadi alarm keras bagi negara. Persoalannya bukan semata benar atau salahnya langkah penegakan hukum, melainkan lebih jauh menyangkut kegagapan konseptual aparat dalam memahami dan mengidentifikasi ideologi. Ketika neo-Nazi, yang secara historis dan ideologis berada di kutub kanan ekstrem, dipersepsikan sebagai bagian dari “paham kiri”, maka yang kita saksikan bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan cacat berpikir yang berpotensi membahayakan demokrasi dan kebebasan sipil.

Neo-Nazisme berakar pada ideologi fasisme Eropa abad ke-20, terutama Nazisme Jerman. Ia menekankan ultranasionalisme, supremasi ras—khususnya ras Arya—anti-pluralisme, anti-demokrasi, serta pemuliaan negara dan kekerasan. Neo-Nazi modern kerap memadukan simbol-simbol rasis, antisemitisme, xenofobia, serta penolakan terhadap nilai-nilai liberal. Dalam spektrum politik global, fasisme dan neo-Nazisme secara konsisten diklasifikasikan sebagai ekstrem kanan (*far-right*), bukan kiri.

Jasa Penerbitan Buku

Sebaliknya, ideologi kiri dalam berbagai variannya berangkat dari kritik terhadap ketimpangan ekonomi dan struktur kekuasaan. Sosialisme, komunisme, dan sosial demokrasi menekankan kesetaraan, solidaritas kelas, serta penghapusan eksploitasi. Secara historis, ideologi kiri justru menjadi musuh utama fasisme. Perang Dunia II merupakan bukti paling nyata dari pertarungan berdarah antara fasisme (kanan ekstrem) dan komunisme atau sosialisme (kiri). Menyamakan neo-Nazi dengan paham kiri berarti mengabaikan sejarah intelektual dan politik yang telah mapan.

Kesalahan kategorisasi ini tidak dapat dianggap remeh. Dalam kerja-kerja kontra-terorisme dan keamanan nasional, ketepatan analisis ideologis merupakan fondasi utama. Salah membaca ideologi akan berujung pada salah sasaran kebijakan, kriminalisasi yang keliru, serta potensi pelanggaran hak warga negara. Lebih buruk lagi, hal ini membuka ruang stigmatisasi terhadap kelompok atau individu yang sebenarnya tidak berkaitan dengan kekerasan ekstrem.

Kita perlu membedakan secara tegas antara radikalisme kekerasan dan ekspresi ide atau ketertarikan intelektual, terlebih ketika subjeknya adalah pelajar. Negara memang berkewajiban mencegah berkembangnya paham yang mendorong kekerasan dan kebencian. Namun, pencegahan tidak boleh dilakukan dengan logika serampangan yang menyapu bersih perbedaan ideologi. Ketika aparat sendiri keliru memahami peta ideologi, risiko *overreach* dalam penegakan hukum menjadi nyata.

Masalah ini juga mencerminkan tantangan yang lebih luas, yakni rendahnya literasi ideologi di kalangan pembuat kebijakan dan aparat. Dalam dunia yang semakin kompleks, ekstremisme tidak lagi tunggal dan seragam. Ada ekstrem kanan, ekstrem kiri, ekstremisme berbasis agama, hingga hibrida digital yang memanfaatkan meme dan subkultur daring. Menghadapi kondisi tersebut, negara membutuhkan kapasitas analitik yang presisi, berbasis riset, dan diperbarui secara berkala, bukan sekadar intuisi atau generalisasi.

Opini publik tentu berharap Densus 88 dan institusi terkait melakukan evaluasi serius. Transparansi proses, klarifikasi dasar analisis, serta akuntabilitas menjadi penting untuk memulihkan kepercayaan. Lebih dari itu, diperlukan investasi nyata dalam pendidikan ideologi dan sejarah politik bagi aparat keamanan. Bukan untuk membenarkan ideologi tertentu, melainkan agar negara mampu membedakan secara jelas mana ancaman nyata dan mana ekspresi yang memerlukan pendekatan edukatif, bukan represif.

Demokrasi yang sehat menuntut negara yang kuat sekaligus cerdas. Kekuatan tanpa kecerdasan ideologis berisiko menjadi tumpul dan membabi buta. Kasus Garut, apa pun hasil akhirnya, harus dijadikan pelajaran bahwa ketepatan berpikir adalah syarat mutlak penegakan hukum. Salah mengidentifikasi ideologi bukan hanya kesalahan akademik; ia dapat berujung pada ketidakadilan dan erosi kepercayaan publik. Negara tidak boleh gagap ketika berhadapan dengan ide, karena dari sanalah kebijakan yang adil dan proporsional seharusnya lahir.

Penulis adalah Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Pengurus PB PMII.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store