Tradisi Salam Tempel dalam Perspektif Kitab Kuning

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Tulisan ini membahas tentang salah satu tradisi sebagian masyarakat muslim Nusantara, yaitu menyalami kiai sembari memberikan hadiah berupa uang (salam tempel), dalam perspektif kitab kuning. Dalam hal ini, apakah tradisi salam tempel kepada kiai yang berjalan secara turun-temurun dan masih eksis di era milenial sekarang ini memiliki pijakan (dalil) dalam pemikiran Islam? Atau jangan-jangan ia merupakan tradisi lama yang bertentangan dengan ajaran Islam?
Baiklah. Saya menganggap salam tempel kepada kiai merupakan salah satu bentuk sedekah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Menurut Syekh ‘Abdul Qādir al-Jaylānī, setiap muslim dianjurkan untuk bersedekah di dalam setiap waktu (baik malam maupun siang, baik sedikit maupun banyak), terutama pada bulan-bulan yang diberkahi (seperti Rajab, Syakban, dan Ramadan) dan hari-hari tertentu (seperti hari raya Idulfitri dan Iduladha, hari Asyura, dan musim kemarau serta paceklik). Dengan demikian, ia akan mendapatkan kesejahteraan jasmani dan finansial, mendapatkan ganti yang cepat di dunia, dan mendapatkan pahala yang besar di akhirat kelak (Muhammad Nawawī al-Jāwī, Tanqīḥ al-Qawl al-Ḥaśīś fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīś, hlm. 5).
Bahkan, sedekah merupakan salah satu laku spiritual yang bisa mendekatkan dan mengantarkan seorang salik kepada Allah. Dalam praktiknya, banyak salik yang wusul kepada Allah dengan jalan sedekah. Dalam hal ini, mereka mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar, lalu hasilnya disedekahkan kepada orang lain. Menurut Syekh Nawawī al-Jāwī, sedekah merupakan ibadah yang bermanfaat, dan orang yang bersedekah akan mendapatkan berkah dari doanya orang-orang Islam. Oleh karena itu, sedekah menjadi salah satu bahasan utama dalam beberapa kitab kuning yang bernuansa tasawuf, seperti Tanbīh al-Gāfilīn karya Imam Abū al-Layś Naṣr bin Muhammad as-Samarqandī, Mukāsyafah al-Qulūb al-Muqarrib ilā Ḥaḍrah ‘Allām al-Guyūb karya Imam al-Gazālī, Waṣiyyah al-Muṣṭafā Ṣallallāhu ‘alayhi wa Sallam li al-Imām ‘Alī Karramallāhu Wajhahū, Lubāb al-Ḥadīś karya Imam Jalāluddīn ‘Abdurraḥmān bin Abū Bakr as-Suyūṭī, dan Tanqīḥ al-Qawl al-Ḥaśīś fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīś karya Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī.
Imam as-Suyūṭī menyebutkan bahwa pahala sedekah terbagi menjadi lima tingkatan. Pertama, satu sedekah akan dibalas (oleh Allah) dengan 10 kali lipat jika diberikan kepada orang yang sehat. Kedua, satu sedekah akan dibalas dengan 90 kali lipat jika diberikan kepada orang tunanetra dan orang yang sedang kesusahan. Ketiga, satu sedekah akan dibalas dengan 900 kali lipat jika diberikan kepada kerabat yang sedang membutuhkan. Keempat, satu sedekah akan dibalas dengan 100 ribu kali lipat jika diberikan kepada kedua orang tua. Kelima, satu sedekah akan dibalas dengan 900 ribu kali lipat jika diberikan kepada ulama dan fakih (Muhammad Nawawī al-Jāwī, Naṣā’iḥ al-‘Ibād fī Bayān Alfāẓin Munabbihātin ‘alā al-Isti‘dād li Yawm al-Ma‘ād, hlm. 73).
Mengapa sedekah kepada ulama dan fakih memiliki tingkatan yang paling tinggi dari segi balasannya (yaitu satu sedekah dibalas dengan 900 ribu kali lipat)? Menurut saya, alasannya karena ketika kita bersedekah kepada para ulama, maka berarti kita ikut serta membantu perjuangan mereka dalam menyiarkan agama Islam dan mendidik umat Islam. Membantu dan khidmah kepada para ulama memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Menurut Syekh Nawawī al-Jāwī, khidmah kepada fakih, sufi, dan ahli agama adalah lebih utama daripada perbuatan-perbuatan sunah. Sebab, ia merupakan ibadah sekaligus membantu orang-orang Islam. Dalam praktiknya, banyak salik yang wusul kepada Allah dengan jalan khidmah kepada para fakih, sufi, dan ahli agama (Salālim al-Fuḍalā’ ‘alā Hidāyah al-Ażkiyā’ ilā Ṭarīq al-Awliyā’, hlm. 14).
Selain itu, ketika kita bersedekah kepada para ulama, maka secara tidak langsung kita juga memberikan manfaat kepada umat Islam. Dalam hal ini, ulama termasuk salik yang menempuh jalan akhirat dengan cara memberikan manfaat kepada umat Islam dengan ilmunya, baik berupa fatwa, pengajaran, maupun karya. Oleh karena itu, pekerjaan utama seorang ulama setelah salat fardu dan sunah rawatib adalah memberikan fatwa, mengajar, atau menulis. Dalam praktiknya, banyak salik yang wusul kepada Allah dengan jalan mendidik dan menuntun umat manusia kepada amal ibadah dan akhlak yang terpuji (Muhammad Nawawī al-Jāwī, aś-Śimār al-Yāni‘ah fī ar-Riyāḍ al-Badī‘ah, hlm. 94 dan Salālim al-Fuḍalā’, hlm. 13-14).
Berdasarkan pendapat Imam as-Suyūṭī tersebut, maka saya baru paham mengapa orang tua saya, kerabat saya, dan guru-guru saya dulu mengajarkan saya untuk salam tempel kepada kiai. Jadi, tradisi salam tempel kepada kiai yang ada di bumi Nusantara ini merupakan tradisi baik dan luhur yang perlu diapresiasi dan dilestarikan karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, ia termasuk manifestasi sedekah yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Lalu, siapakah Imam as-Suyūṭī? Secara keilmuan, beliau adalah ahli teologi, ahli tafsir, ahli hadis, ahli uṣūl al-fiqh, ahli fikih, ahli sejarah, ahli sastra, dan ahli tasawuf. Beliau memiliki gelar Jalāluddīn, Syaykh al-Islām, dan al-Ḥāfiẓ (menurut Syekh Nawawī al-Jāwī dalam Marāqiyy al-‘Ubūdiyyah, al-ḥāfiẓ adalah gelar bagi orang yang hafal 100 ribu hadis). Bahkan, beliau dianggap sebagai mujtahid dan mujadid abad ke-10 Hijriah (https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Suyuti, 21/10/2025). Adapun secara spiritual, beliau adalah sufi yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan terjaga sebanyak 73 kali lebih selama hidupnya (‘Alawī bin Aḥmad al-Ḥaddād, Syarḥ Rātib al-Ḥaddād, 1993: 198). Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…
*) Penulis adalah Nasrullah Ainul Yaqin, Penikmat Kitab Kuning dan penulis di berbagai Media Daring.