Xi Jinping dan Hukum Besi Kekuasaan

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Xi Jinping menjadi pemimpin China paling kuat sepanjang sejarah setelah kembali terpilih untuk periode ketiganya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) dan sekaligus Ketua Komite Sentral Militer pada Kongres PKC yang berakhir hari Sabtu (22/10).
Dengan dua jabatan itu, ia dipastikan akan kembali terpilih sebagai Presiden China pada Kongres Rakyat Nasional yang akan berlangsung pada bulan Maret 2023.
Tiga periode di tiga jabatan paling tinggi dalam piramida kekuasaan China. Fakta ini sebetulnya tidak mengejutkan. Xi memegang tiga jabatan itu sudah sejak tahun 2013, yang membuatnya bisa leluasa melakukan apa saja yang ia kehendaki tanpa ada perlawanan dari elit politik China manapun.
Bahkan saat ia meng-amandemen konstitusi pada tahun 2018, tak satupun yang protes. Padahal jelas-jelas amandemen dilakukan untuk memperbesar kekuasaan Xi: memasukkan pemikirannya sendiri dalam konstitusi dan mencabut batasan masa jabatan presiden.
Kekuasaan yang besar dan tanpa batas, membuat banyak lembaga dan media internasional menempatkan Xi sebagai orang paling berkuasa di dunia. Seperti Majalah The Economist yang menyebut Xi sebagai The world’s most powerful man. Sebagai orang paling berkuasa, tentu tidak sulit bagi Xi mengarahkan Kongres PKC sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Karena itu, Kongres PKC ke-20 tidak lebih dari forum untuk memperkuat legitimasi Xi. Tak ada perubahan berarti. Bahkan sebelum Kongres dibuka pada Minggu (16/10) pun, keputusan Kongres sudah bisa diterka: Xi kembali mengamankan posisi puncak kepemimpinan PKC dan elit Politburo diisi para loyalisnya.
Semua yang berpotensi menjadi ancaman dan halangan akan ditendang ke luar arena. Itulah yang dikehendaki Xi, dan itulah yang terjadi.
Postur Kekuasaan China
China punya sejarah kelam dengan postur kekuasaan yang terpusat pada satu orang. Sejak berdiri pada tahun 1949, sentralisme kekuasaan di China hanya terjadi pada masa Mao Zedong, sang pendiri Republik Komunis itu. Setelahnya, para elit China bersumpah tidak akan mengulanginya lagi.
Alasannya: sentralisme kekuasaan pada masa Mao membuat suasana politik China tidak stabil. Sirkulasi kekuasaan macet. Sementara konflik, baik di tingkat elit maupun kader, di tingkat pusat maupun di daerah, berkecamuk tanpa ada titik temu. Pada saat itu, Mao memilih menggunakan pendekatan tangan besi: Menyingkirkan siapapun yang menentangnya.
Mao adalah ideolog ulung komunisme China. Sebagai ideolog, dia merasa harus memusatkan kekuasaan di tangannya, dan memerintah secara otoriter. Tujuannya, agar ideologi bisa diterapkan dengan baik.
Sebagai ideolog partai yang sekaligus pendiri Republik Rakyat China (RRC), tentu saja Mao punya semua prasyarat yang dibutuhkan untuk menjadi penguasa tunggal. Namun, sehebat apapun Mao, sejarah menunjukkan, sentralisme kekuasaan berdampak buruk bagi kehidupan China: Politik tidak stabil dan ekonomi runtuh. Angka kemiskinan dan kelaparan sangat tinggi, bahkan tertinggi dalam sejarah China modern.
Atas dasar pengalaman itulah, Deng Xiaoping melakukan koreksi. Ia membuat banyak terobosan, baik dalam sistem politik maupun dalam sistem ekonomi. Dalam politik ia membuat aturan tentang kepemimpinan kolektif dan batas masa jabatan. Dalam ekonomi, ia membuka China ke dunia luar dan mulai menerapkan sistem ekonomi pasar. Terobosan Deng inilah yang membuat China bangkit.
Deng melakukan itu semua tanpa merangkap jabatan sebagaimana yang dilakukan Mao Zedong dan Xi Jinping. Deng adalah pemimpin tertinggi tapi tidak menjadi Sekjen PKC, juga tidak menjadi Ketua Komite Sentral Militer. Tanpa sentralisme kekuasaan di tangannya, nyatanya Deng mampu mengubah China dan menjadi pemimpin yang berhasil tanpa adanya pergolakan.
Sejak Deng, tak ada presiden yang memusatkan kekuasaan di tangannya. Mereka memimpin dengan semangat kolektif dan patuh pada batasan masa jabatan yang telah diatur. Terobosan ini membuat PKC tumbuh sebagai partai modern dengan sirkulasi kekuasaan yang teratur dan kaderisasi yang baik.
Dengan sistem itu pula, para pimpinan PKC berhasil menyulap China yang tertinggal menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan.
Xi Jinping mewarisi keberhasilan itu. Saat ia pertama kali naik menjadi Sekjen PKC, ekonomi China sudah jauh berbeda dibanding pada masa kepemimpinan Mao. Pun juga kondisi sosial politik. Dari tahun 1978 hingga tahun 2012, kepemimpinan PKC dan RRC dijalankan secara kolektif dengan batasan masa jabatan yang jelas.
Dengan gaya kepemimpinan itu, PKC berhasil bertahan sebagai satu-satunya partai komunis yang berkuasa di saat partai-partai komunis lain di dunia berguguran.
Maka ketika Xi Jinping mengubah gaya kepemimpinan itu, dan kembali ke gaya kepemimpinan sentralisme kekuasaan ala Mao Zedong, tanda tanya dan awan gelap menyelimuti masa depan PKC dan China.
Jalan Kuasa Xi Jinping
Sepuluh tahun lalu, ketika Xi Jinping menjadi Sekjen PKC untuk pertama kalinya, tak ada kekhawatiran dari elit dan warga China bahwa ia akan mengubah gaya kepemimpinan yang diwariskan Deng Xiaoping.
Alasannya jelas: Xi adalah putra dari seorang pahlawan PKC yang dikenal moderat, Xi Zhongxun. Sebagaimana tokoh moderat lainnya, Zhongxun juga termasuk yang dibersihkan dan dipenjarakan oleh Mao Zedong.
Aliran pemikiran Zhongxun lebih dekat ke Deng Xiaoping ketimbang Mao Zedong. Tentu saja, nama besar ayahnya yang moderat itu menjadi salah satu pertimbangan para elit senior PKC pada tahun 2012 dalam mendukung Xi Jinping menjadi Sekjen.
Namun, pelan tapi pasti, Xi bergerak ke arah yang berbeda. “Xi Jinping ternyata adalah politisi brilian yang kejam yang secara sabar bangkit melalui sistem sampai memanfaatkan momennya untuk memerintah. Para senior partai komunis yang mendukung kebangkitan Xi kemungkinan terkejut dengan kecepatan dan skala perebutan kekuasaannya,” kata analis senior China dari Eurasia Group, Neil Thomas, kepada BBC, Minggu (23/10).
Neil Thomas tak berlebihan dengan pernyataannya bahwa Xi adalah politisi brilian yang kejam. Faktanya, tak lama setelah jadi Sekjen PKC dan kemudian menjadi Presiden, ia secara cermat melakukan konsolidasi kekuasaan dan memusatkan semuanya di tangannya.
Dalam waktu yang tidak lama, Xi berhasil bermetamorfosis menjadi penguasa tunggal yang menguasai secara penuh semua lembaga negara. Bahkan ia dijuluki ‘ketua segalanya’. Karena lembaga atau badan negara yang strategis, pasti dikomando langsung oleh Xi.
Kekuasaan Xi tak berhenti di tataran formal kenegaraan, di tataran pendidikan dan kebudayaan juga tak ketinggalan. Seperti diketahui, pemikiran Xi secara eksplisit dimasukkan dalam konstitusi. Sebagai pengejewantahan, pemikiran Xi harus dimasukkan dalam kurikulum di lembaga pendidikan.
Ia harus diajarkan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Di tingkat budaya, upaya untuk mengkultuskan sosok Xi terus digencarkan. Dalam beberapa tahun terakhir, ia mulai mendapat gelar lingxiu, atau pemimpin besar, suatu gelar yang sebelumnya hanya diberikan kepada Mao Zedong.
Sebagaimana Mao, Xi juga memposisikan dirinya sebagai ideolog dan pemimpin besar. Sebagai ideolog, Xi adalah pemilik kebenaran. Apa yang dititahkan, setara dengan sabda nabi, yang harus dilaksanakan. Dan sebagai pemimpin besar, Xi adalah penguasa yang bisa melakukan apa saja tanpa khwatir akan adanya perlawanan.
Dengan kekuasaan seperti itu, Xi menjadi gambaran sempurna dari perkataan Louis XIV di Perancis: l’etat, c’est moi, negara adalah aku, aku adalah negara.
Dengan sentralisme kekuasaan yang sangat besar di tangan Xi Jinping ini, akankah China melanjutkan tren pertumbuhan ekonominya yang dimulai oleh reformasi Deng Xiaoping? Bagaimana pula situasi politik PKC dan China ke depan setelah aturan dan norma warisan Deng Xiaoping dikangkangi Xi Jinping? Mampukah ia menjaga stabilitas politik dengan sirkulasi kekuasaan dan kaderisasi yang baik seperti telah diwariskan Deng Xiaoping, atau akan kembali mengulang kekacauan politik era Mao?
Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun yang pasti, sebagaimana dikatakan Lord Acton (1834-1902), power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Diktum Actonian ini diakui sudah menjadi hukum besi kekuasaan.
Sejarah menunjukkan, tiada akhir dari setiap kekuasaan yang korup kecuali kehancuran. Apakah sentralisme kekuasaan di tangan Xi akan ambruk? Jika ia tidak melakukan koreksi dan evaluasi, ia tidak akan kebal pada hukum besi sejarah itu.
Jika tidak sekarang, pasti akan tiba waktunya. Karena itu, sebelum waktunya tiba, kita berharap Xi menyadari bahwa sentralisme kekuasaan yang kini dinikmatinya adalah bom waktu kehancuran China.
Penulis adalah: Subairi Muzakki
Direktur Institut Demokrasi Republikan