PT Mayawana Telah Hancurkan Hutan Tropis di Ketapang dan Kayong Utara
Jurnalis: Hanum Aprilia
Kabar Baru, Kalbar – Seekor orangutan belum lama ini terekam kamera tengah berjalan di lokasi tambang Site, Kaliorang, Kutai Timur. Mungkin hal itu juga bisa menimpa orang utan yang ada di Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat (Kalbar).
Dalam kajian terbaru dari koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Auriga Nusantara, Environmental Paper Network (EPN), Woods & Wayside International (WWI), dan Rainforest Action Network (RAN) berjudul Pembalak Anonim, terungkap adanya deforestasi di Ketapang dan Kayong Utara, Kalbar, oleh PT Mayawana Persada.
Mayawana adalah pemegang izin konsesi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) SK.723/Menhut-II/2010.
Kajian ini menyebutkan, dalam kurun waktu tiga tahun, dari 2021 hingga 2023, PT Mayawana Persada telah menghancurkan hutan tropis di Ketapang dan Kayong Utara, seluas hampir setengah ukuran Singapura.
“Pembabatan hutan skala besar ini sebagian besar terjadi di lahan gambut yang kaya karbon, menyebabkan konflik sosial antara Mayawana dan komunitas Dayak asli, serta menekan habitat hutan bagi spesies yang terancam punah seperti orangutan Kalimantan, rangkong gading, dan owa jenggot putih,” kata Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara, dalam peluncuran laporan tersebut dikutip kabarbaru.co di Jakarta, Senin (25/03/2024).
Hilman menjelaskan, dari analisis peta habitat yang diterbitkan Uni Internasional untuk Konservasi Alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN), sekitar 49.208 hektare hutan dalam konsesi Mayawana merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan.
Di dalamnya juga tinggal hewan dilindungi tersebut. Oleh karenanya deforestasi yang terjadi ini, ujar Hilman, berpotensi menjadi penyebab difragmentasi.
”Berpotensi memotong koridor dari area ke area lainnya,” ungkapnya.
Dalam video pembuka peluncuran kajian ini, Tri Susanto, salah satu warga Desa Padu Banjar Kabupaten Kayong Utara, Kalbar, menyampaikan kesaksian soal orang utan ini.
“Dulu sebelum perusahaan masuk, populasi orangutan cukup banyak, namun kini menurun dan jarang terlihat,” kata Tri Susanto.
Ditunjukkan juga dalam video tersebut sarang orangutan di hutan Mayawana. Diperkirakan sarang itu berumur 1 bulanan.
Sulidra Fredrik Kurniawan, Manager Perlindungan dan Penyelamatan Satwa Yayasan Palung menyebut, akan banyak terjadi interaksi negatif antara satwa yang terisolasi terutama orangutan dengan masyarakat yang memiliki kebun, baik itu masyarakat maupun perusahaan.
Sulidra mengatakan, ketika habitat orangutan sudah terbagi-bagi dan terisolasi, nanti akan ada konflik kepentingan.
Orangutan akan mencari makanan ke tempat biasa mereka mencari makan. Namun, yang dulunya hutan sumber makanan, ketika kembali lagi sudah menjadi kebun masyarakat atau kebun perusahaan.
“Itu akan mendorong interaksi negatif,” ungkap Sulidra.
Kajian ini juga menunjukkan bahwa berdasarkan analisis spasial yang dilakukan, PT Mayawana membabat hutan alam seluas 33.070 hektare dan lebih dari 50 persen deforestasi itu berada di lahan gambut 21.859 hektare, dengan emisi akibat deforestasi dan konversi lahan gambut mencapai 12,2 juta metrik ton CO2.
Perhitungan pelepasan emisi ini tidak mencakup pelepasan di tahun 2023. Menurut Hilman, angkanya akan lebih tinggi jika 2023 masuk perhitungan.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyebutkan, PT Mayawana Persada dimiliki oleh perusahaan induk berlapis yang mengarah ke yurisdiksi dengan kerahasiaan tinggi yaitu British Virgin Islands dan Samoa, dua yurisdiksi yang tidak mewajibkan pengungkapan nama-nama pemegang saham kepada publik.
“Struktur korporasi yang rumit ini, pada dasarnya, tidak hanya menyembunyikan pemilik manfaat utama perusahaan tetapi sekaligus melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi atas penghancuran hutan tropis yang begitu luas,” kata Arie Rompas.
Dalam kasus Mayawana, dokumen perusahaan, keterkaitan operasional manajemen, dan hubungan rantai pasoknya menunjukkan bahwa perusahaan ini memiliki hubungan dengan grup Royal Golden Eagle (RGE).
RGE merupakan produsen global untuk produk pulp, kertas, kemasan, tisyu, dan viscose, dan merupakan konglomerat induk dari APRIL, Asia Symbol, dan Sateri.
Pada 2015, RGE dan beberapa anak perusahaannya termasuk APRIL memulai kebijakan nol-deforestasi dalam rantai pasoknya.
Sebagian pembeli produk RGE adalah beberapa merek mode terbesar di dunia, produsen barang konsumen, dan pengecer umum, banyak di antaranya membuat klaim keberlanjutan pada konsumennya yang menyatakan bahwa bisnis atau produk mereka tidak menyebabkan penghancuran hutan tropis atau merugikan masyarakat.
Klaim keberlanjutan ini sekarang dipertanyakan atas deforestasi yang terus dilakukan oleh Mayawana di Kalimantan Barat.
Deforestasi yang dilakukan oleh Mayawana seolah menghapus apapun pembenaran upaya reasosiasi antara Forest Stewardship Council (FSC) dengan APRIL, perusahaan induk Grup RGE untuk bisnis pulp dan kertas di Indonesia.
Satu dekade lalu, APRIL dikeluarkan dari organisasi tersebut karena praktik merusak hutan.
Koalisi mendesak FSC untuk menghentikan proses pemulihan yang berjalan dengan APRIL untuk kembali masuk ke skema sertifikasi keberlanjutan, setidaknya sampai Mayawana menghentikan deforestasi dan pembukaan lahan gambut.
APRIL mengungkap struktur bisnisnya ke publik dengan memuat semua entitas perusahaan di yurisdiksi kerahasiaan, dan Mayawana menyelesaikan konfliknya dengan komunitas Dayak setempat dengan cara yang adil dan bertanggung jawab.
Pada 8 Maret, melalui pernyataan yang diterbitkan oleh APRIL, Grup RGE membantah seluruh keterkaitan grup itu dengan PT Mayawana Persada.
Koalisi organisasi masyarakat sipil menyerukan:
1. PT Mayawana Persada untuk segera menghentikan deforestasi dan memulihkan lahan gambut yang telah dibuka, mengungkapkan pemilik manfaat utamanya, dan menyelesaikan konfliknya dengan komunitas lokal secara adil dan bertanggung jawab.
2. Grup Royal Golden Eagle (RGE) untuk mengakui relasinya dengan PT Mayawana Persada, dan berkomitmen untuk membuka secara penuh struktur kendali dan kepemilikannya terhadap subsidiari, afiliasi, dan korporasi lain yang terkait.
3. Konsumen Royal Golden Eagle (RGE), serta para pemberi pinjaman, untuk menyelidiki temuan kami; dan menuntut penghentian segera penghancuran hutan tropis dan konflik sosial yang dipicu oleh PT Mayawana Persada dan “korporasi bayangan” lain yang terhubung dengan RGE.
4. Forest Stewardship Council (FSC) untuk menghentikan “proses pemulihan” bagi APRIL agar kembali masuk ke dalam skema sertifikasi keberlanjutan, setidaknya sampai deforestasi dan konversi lahan gambut oleh Mayawana berhenti dan perusahaan menyelesaikan konfliknya dengan komunitas lokal secara adil dan bertanggung jawab.