Polemik Masjid dan Politik: Suara Jernih dari Mimbar?

Editor: Ahmad Arsyad
Kabarbaru, Opini – Kontroversi mengenai ceramah politik dalam masjid kembali mencuat ketika Anies Baswedan menghadiri acara di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kehadirannya memicu polemik tentang batasan antara agama dan politik dalam ruang ibadah.
Sebagian pihak menganggap bahwa masjid seharusnya netral dari kepentingan politik praktis, sementara pihak lain berpendapat bahwa politik dan Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Jika kita menilik sejarah, ceramah dalam masjid memiliki dasar historis yang kuat sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Masjid sejak awal peradaban Islam bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan, sosial, dan politik.
Oleh karena itu, membahas politik dalam masjid bukanlah sesuatu yang baru atau menyimpang, melainkan bagian dari tradisi Islam yang telah berlangsung sejak lama.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin (1091–1095 M) menyatakan bahwa agama dan politik adalah dua pilar yang saling melengkapi.
Agama adalah pondasi moral yang membimbing kehidupan manusia, sementara politik adalah sarana untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanpa politik, agama kehilangan daya implementasi dalam tatanan sosial, dan tanpa agama, politik dapat menjadi sarana kepentingan yang tidak berpihak pada keadilan.
Dari pernyataan tersebut menegaskan bahwa politik dan agama tidak dapat dipisahkan, termasuk dalam konteks ceramah yang membahas politik di masjid.
Dalam berbagai riwayat, sejak zaman Rasulullah SAW berbagai persoalan kenegaraan, strategi perang, serta keputusan politik dan pemerintahan kerap dibahas di masjid.
Oleh sebab itu, masjid dapat berfungsi sebagai ruang edukasi dan dakwah, wadah kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi, serta sarana literasi keagamaan dan politik yang sehat.
Membahas politik dalam ceramah di masjid bukanlah penyimpangan melainkan bagian dari tradisi Islam yang telah berlangsung sejak awal peradaban Muslim.
Akan tetapi, ceramah politik yang dimaksud haruslah bersifat edukatif, membangun kesadaran umat, dan bukan sebagai alat propaganda yang memecah belah.
Masjid sebagai Ruang Edukasi dan Dakwah
Pada zaman Nabi, Masjid Nabawi digunakan sebagai pusat dakwah sekaligus tempat diskusi politik. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Muwatta (762–795 M) karya Imam Malik bahwa Rasulullah SAW memberikan ceramah dan nasehat di masjid tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk keadilan dan kepemimpinan.
Rasulullah SAW sering membahas strategi perang, perjanjian politik, dan kebijakan sosial di masjid. Misalnya, saat Perjanjian Hudaibiyah dan perencanaan hijrah ke Madinah, diskusi-diskusi strategis dilakukan di masjid bersama para sahabat.
Menurut penelitian dari Pew Research Center tahun 2017, negara-negara dengan komunitas Muslim yang aktif dalam diskusi politik berbasis agama cenderung memiliki keterlibatan sosial yang lebih tinggi dalam proses demokrasi.
Hal ini juga sejalan dengan survey yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta (PPIM UIN Jakarta) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa masyarakat Muslim yang mendapatkan edukasi politik berbasis Islam lebih cenderung memiliki sikap yang moderat dibandingkan mereka yang tidak terpapar.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa masjid memiliki peran lebih luas daripada sekadar tempat ibadah, melainkan sebagai pusat edukasi umat.
Sama seperti pendidikan formal yang melahirkan generasi berpengetahuan luas, masjid dapat berperan dalam mencerdaskan umat dalam memahami politik yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi
Dalam sistem demokrasi modern, kebebasan berbicara adalah hak fundamental. Menurut laporan Freedom House 2021, kebebasan berpendapat merupakan pilar utama demokrasi yang sehat.
Negara-negara dengan tingkat kebebasan berekspresi yang lebih tinggi cenderung memiliki stabilitas politik yang lebih baik.
Jika demokrasi modern memberikan ruang diskusi di parlemen dan media publik, maka masjid dapat menjadi parlemen spiritual di mana umat dapat membahas politik dengan nilai-nilai Islam.
Sebagaimana parlemen berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, masjid dapat menjadi forum yang memperjuangkan keadilan dan kebaikan bersama.
Dalam konteks Islam, masjid Nabawi pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sering digunakan untuk diskusi dan pengambilan keputusan politik.
Bahkan, baiat para khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dilakukan di masjid. Hal ini menunjukkan bahwa politik dan agama adalah dua hal yang saling terkait dalam Islam.
Pentingnya Literasi Keagamaan dan Politik yang Sehat
Literasi politik yang sehat dalam Islam sangat diperlukan agar umat tidak mudah terprovokasi oleh berita palsu dan propaganda.
Dengan memahami agama dan politik secara mendalam, individu dapat mengambil sikap bijak dalam menghadapi isu-isu sosial dan pemerintahan tanpa terjebak dalam ekstremisme atau fanatisme.
Masjid sebagai pusat pendidikan Islam memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman yang benar tentang politik Islami. Ulama besar seperti Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah (1377 M) menjelaskan bahwa pemerintahan yang baik harus didasarkan pada ilmu dan keadilan.
Oleh karena itu, ceramah politik dalam masjid dapat menjadi sarana edukasi politik yang berbasis nilai-nilai Islam.
Berdasarkan data sejarah Islam, contoh konkret dari tokoh Islam terdahulu, serta analogi terhadap sistem pemerintahan modern, jelas menunjukkan bahwa ceramah politik dalam masjid bukan hanya dibolehkan, tetapi juga bagian integral dari tradisi Islam.
Masjid harus tetap menjadi tempat edukasi dan dakwah yang mendidik umat dalam berpolitik secara sehat dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, daripada melarang ceramah politik secara total, lebih baik membangun sistem literasi politik Islam yang moderat dan berlandaskan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan umat.
Penulis adalah Nafiatul Ummah, Presidium Formaci dan Kader Muda Nahdlatul Ulama (NU).