Mengingat Kembali Peranan dan cinta Seorang Ibu
Jurnalis: Joko Prasetyo
KABARBARU, OPINI -Perempuan menjadi sesuatu yang cukup pelik dalam kehidupan. Sebab ia selalu menjadi sesuatu yang acapkali menjadi bahasan yang tidak selesai sesaat saja. Membicarakannya merupakan bagian dari usaha memahami sosok sebenarnya perempuan dalam peranan dalam hidupnya.
Kendatipun begitu perempuan merupakan bagian dari suatu barometer di dalam aspek tertentu, seperti halnya dunia pendidikan. Kekuatan cinta dan kepeduliannya, menjadi pondasi penting untuk membuktikan kepiawaiannya dalam mendidik.
Tujuan sederhananya dalam mengejar dunia pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Tidak lain agar ia juga dapat bisa merasakan bagaimana seorang perempuan juga bisa hadir sebagai pendidik yang berlatar belakang pendidikan. Bukan berarti perempuan menyaingi sosok keberadaan laki-laki.
Dari itu perempuan bukan suatu hal yang tidak eksistensial dalam kehidupan. Ia menjadi peran penting sebagai penentu masa depan regenerasi dengan posisinya sebagai pendidik, inspirator dan motivator bagi anak-anaknya.
Dalam islam ketika seorang perempuan sudah beralih posisi jadi seorang ibu, maka ia akan disematkan menjadi sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Tidak heran apabila perempuan dalam agama sesuatu yang harus di mulyakan keberadaannya.
Dalam satu riwayat hadist seseorang bertanya pada Rasulullah. Lalu bertanya; ” Wahai Rasulullah, kapada Siapakah aku harus pertama kali berbakti.” Rasulullah menjawab, “Ibumu”. Kemudian orang tersebut bertanya lagi. “Kemudian siapa lagi ?”, Beliau menjawab. “Ibumu”. “Kemudian siapa lagi ?”, Beliau menjawab “Ibumu”. “Kemudian siapa lagi ?”, Rasulullah menjawab. “Kemudian Ayahmu” ( HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam Hadist tersebut memberikan alarm. Bahwa dalam hidup ini, orang pertama yang benar-benar menjadi sumber utama belas kasih itu, Ibu. Secara sadar pun kita tahu bahwa ia tempat tirakat kita. Sebelum menghirup udara segar yang penuh dengan gelak tawa ini.
Senada dengan salah satu tokoh Psikologi Erich Fromm. Ia mengutarakan dalam bukunya Seni Mencintai. Bahwa dalam hidup ini, yang mencintai tanpa adanya syarat adalah seorang ibu. Seorang nurani ibu akan selalu berkata: “tak ada keburukan, tak ada kejahatan yang sanggup mencabutmu, dari harapanku untuk kehidupan dan kebahagianmu”. Sedangkan nurani ayah berkata: “Kalau kau bersalah, kau tidak bisa menghindari hukuman-hukuman atas keslaahanmu, dan yang penting kau harus merubah sikapmu jika ingin aku mencintaimu”.
Korelasi antara hadist Nabi dengan tokoh Psikologi itu, mempunyai satu titik yang sama. Dalam Hadist tersebut ibu menjadi orang pertama untuk menjadi tempat berbakti. Sedangkan psikolog itu, menyatakan ibu memang sesuatu yang paling natural dalam urusan mencintai. Sehingga timbullah kepedulian itu, yang dilahirkan oleh belas kasih pada anaknya. Tanpa mengisyaratkan adanya syarat untuk mencintai.
Dalam pola hidup modernisme, peran seorang ibu menjadi sesuatu yang tidak substantif. Untuk kemudian merefleksikan kembali nilai-nilai juang dari padanya. Sehingga stereotip yang menempel padanya , perempuan selalu berada di deretan kedua setelah laki-laki. Padahal keduanya berada bukan bersaing, tapi menyempurnakan atas keberadaan keduanya.
Sebagai umat islam, tentunya perempuan mempunyai posisi penting, apalagi ia seorang ibu. Sehingga adanya hegemoni patriarki, tidak manjadi pendorong untuk tidak hormat pada seorang ibu. Mungkin hal ini tak banyak sadar, sekalipun sadar tapi tidak menyadari.
Bahwa dalam ruang tertentu yang menjadi madrasah pertama, ialah ibu. Makanya kemudian dalam islam posisi ibu sangat di agungkan dan di mulyakan. Bahkan keridhoan Allah melekat pada keridhoan kedua orang tua.
Selain itu, Ibu menjadi suatu yang sangat sakral dalam hidup. Ia bisa Menjadi jalan kebahagian atau justru sebaliknya. Tergantung sikap dan perilaku diri kita padanya. Menghormati dan patuh bagian dari usaha untuk tetap berada pilihan kebahagiaan.
Maka berangkat dari hadist Roslullah diatas, maka saya pun dengan penuh sadar dan rasa hormat. Ibu adalah satu-satunya perempuan yang tidak tergerus oleh zaman. Keperdulian dan kasih sayangnya akan tetap melekat padanya untuk para anak-anaknya. Nah… itulah sosok ibu sebenarnya dalam hidup ini.