Mahasiswa Gelar Diskusi Menyelami Kehidupan Eksil Indonesia di Belanda

Jurnalis: Nurhaliza Ramadhani
Kabar Baru, Amsterdam – Sebanyak 263 peserta dari berbagai penjuru dunia, baik secara daring maupun luring, berkumpul dalam sebuah forum diskusi bertajuk Menyelami kehidupan eksil Indonesia di Belanda: Generasi intelektual bangsa. Diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI Belanda X PPI Amsterdam).
Acara ini menyajikan wawasan mendalam tentang pengalaman eksil melalui cerita dan pandangan tiga narasumber yang terkait erat dengan peristiwa tersebut; Ibu Lea Pamungkas, serta pasangan suami istri Bapak Sungkono dan Ibu Wati.
Di awal diskusi, sebuah kalimat puisi yang penuh makna dibacakan oleh Ibu Dini, “Dan mereka yang menimba ilmu yang bisa membuat Indonesia maju, dilarang pulang”. Penggalan tersebut mewakili kondisi ratusan pelajar Indonesia yang terjebak dalam pusaran politik Indonesia tahun 1965.
Diantaranya adalah bapak Sungkono, yang kisahnya membawa kita ke masa lalu yang penuh kekecewaan.
Bapak Sungkono memulai ceritanya dengan nada yang penuh perenungan.
“Saya termasuk 30 mahasiswa yang diberangkatkan ke Rusia oleh kementrian Departmen Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan. Kami diberi gelar Ampera, amanat penderitaan rakyat, menegaskan kewajiban kami mengabdi kepada negeri setelah menyelesaikan studi. Sebelum berangkat, Bapak Menteri menekankan pentingnya belajar dengan serius, agar kelak kami dapat memanfaatkan kekayaan Indonesia untuk kesejahteraan rakyatnya. Sebagai simbol komitmen, kami menerima sebuah gong, yang seharusnya dikumandangkan sebagai tanda telah menuntaskan misi kami sepulang ke tanah air,” ujarnya.
Namun, tragisnya, gong milik Bapak Sungkono tidak pernah berdentang, wujud dari mimpi dan harapan yang terkubur bersama peristiwa politik yang mengguncang Indonesia.
Pasca insiden G30S, Bapak Sungkono beserta mahasiswa lainnya harus menghadapi serangkaian pemeriksaan intensif terkait kemungkinan keterlibatan mereka dalam peristiwa tersebut.
Meskipun dengan tegas menyatakan ketidaktahuannya serta tidak terlibat, sikapnya yang menolak untuk mengutuk Presiden Soekarno diinterpretasikan sebagai tindakan tidak setia terhadap pemerintahan baru.
Akibatnya pada tahun 1966, Bapak Sungkono kehilangan identitas dan haknya sebagai warga negara Indonesia.
Pelajar bukan satu-satunya yang menjadi bagian eksil.
Dampak politik tersebut merambah lebih luas, mencakup setidaknya lima kelompok lain yang terdampak, termasuk perwakilan Indonesia di organisasi internasional, advokat demokrasi Indonesia, delegasi negara dalam perayaan kenegaraan, wartawan, serta para diplomat yang sedang bertugas.
Contohnya, Bapak Sutrisno (ayah dari Ibu Wati), yang saat itu menjabat sebagai duta besar Indonesia di Vietnam, juga menghadapi pencabutan kewarganegaraan setelah menolak untuk bekerja di bawah pemerintahan orde baru.
konsekuensinya, Ia beserta seluruh keluarga harus kehilangan identitas mereka sebagai warga negara Indonesia.
Lea Pamungkas.
Seorang aktivis kemanusian, mengungkapkan, “Eksil Indonesia tahun 1965 menunjukkan situasi unik yang belum pernah terjadi di negara lain. Mereka dibuang oleh pemerintah yang sedang berkuasa saat menjadi representasi Indonesia di luar negeri. Mereka kehilangan hak sebagai warga negara dan terkurung di negeri lain selama puluhan tahun,” sambungnya.
Pada sidang International People’s Tribunal di Den Haag tahun 2015, dinyatakan ada sembilan pelanggaran HAM berat terkait kejadian 1965.
Lea menambahkan, “Di antaranya, penyiksaan dan propaganda kebencian menjadi kejahatan yang dialami oleh eksil Indonesia. Tanpa mengalami penyiksaan fisik, mereka tetap merasakan penyiksaan emosinal yang tak kalah menyakitkan. Bukan hanya kehilangan identitas tanpa proses hukum yang adil, tetapi menjadi sasaran stigmatisasi institusional,” katanya.
Bapak Sungkono memperkuat pernyataan tersebut dengan menyebutkan praktik KBRI di Moskow yang menegaskan streotipe negatif kepada para eksil.
“KBRI mengeluarkan surat pencabutan kewarganegaraan secara massal, sekaligus memperingatan warga Indonesia lainnya di Uni Soviet untuk tidak memberikan bantuan apapun, baik moril dan materil,” ungkapnya.
Stigmatisasi tersebut tidak hanya berdampak pada para eksil tetapi juga menimpa keluarga mereka di Indonesia.
Ibu Wati berbagi, “Saya memutuskan untuk tidak berkomunikasi dengan kerabat di tanah air, demi menghindari dampak lebih lanjut terhadap mereka,” ujarnya.
Para peserta diskusi mengungkapkan bahwa meskipun bertahun-tahun telah berlalu, stigma terhadap eksil masih berlangsung.
“Persepsi negatif tentang eksil sebagai sosialis, komunis, dan penghianat negara masih ada. Terbukti dengan penolakan film eksil di sebuah kota di Indonesia. Ini menunjukan bahwa kita memiliki kebebasan, tetapi belum sepenuhnya merdeka.” Tambah salah satu mahasiswa peserta diskusi.
Sayangnya, upaya pemerintah dalam menangani isu eksil Indonesia tahun 1965 tampak stagnan. Ibu Lea menyoroti, “Presiden Gus Dur merupakan satu-satunya pemimpin yang telah meminta maaf atas tragedi 1965 dan berjanji akan melakukan pemulihan termasuk kepada para eksil. Namun sebelum inisiatifnya terwujud, masa jabatannya telah berakhir,” ujarnya.
Pada tahun 2023, pada era pemerintahan Joko Widodo, pemerintah mengakui adanya pelanggaran HAM yang berkaitan dengan G30S. Dalam sebuah diskusi yang diwakilkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD, diadakan pertemuan dengan eksil Indonesia di Belanda.
“Agenda utama kegiatan tersebut adalah kemudahan pelayanan imigrasi kepada para eksil yang ingin kembali ke Indonesia.
Ibu Wati, dengan nada kritis, menanggapi, “Penawaran visa tersebut seperti tindakan simbolis yang kurang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang kami derita. Kami mengharapkan permintaan maaf resmi dari negara dan penyelesaiannya secara yudisial – secara hukum, termasuk pencabutan TAP MPR No XXV/MPRS/1966. Namun, realisasi dari harapan ini tampak masih jauh dari kenyataan,” katanya.
Sejak pecahnya kejadian G30S 1965, rasa kecewa, sedih, dan marah terhadap sikap pemerintah memang tak terelakan. Namun pasangan suami istri tersebut memilih untuk melangkah maju.
“Saya sempat kuliah kedokteran di Tiongkok, namun tidak dapat menyelesaikannya karena situasi yang ada. Meskipun tidak bisa menjadi dokter, saya tidak berhenti mencari alternatif. Dalam pengungsian, saya belajar giat agar menjadi juru rawat dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seperti itulah hidup harus dimaknai, bahwa sebuah tragedi tidak seharusnya menghentikan semangat berusaha,” ujar Ibu Wati.
Bapak Timur, yang juga merupakan eksil generasi kedua dan hadir dalam diskusi tersebut, menampilkan karya-karya lukisannya sebagai ekspresi dari ketahanan hidup. Meskipun menghadapi pengasingan, beliau tetap berusaha memberikan manfaat bagi orang lain dengan menjadi relawan di panti asuhan di Rusia.
Dengan penuh semangat, Bapak Timur berbagi, “Kehilangan identitas, sebuah hak dasar manusia, tidak menghalangi kami untuk tetap memegang teguh kemanusiaan. Selama saya menjabat sebagai relawan, saya telah menciptakan sejumlah lukisan yang menggambarkan para lansia bersama hewan-hewan liar yang tangguh, sebagai simbol sahabat yang menjaga mereka di masa tua,” imbuhnya.
Melalui pengabdiannya yang tulus, Bapak Timur mengajarkan bahwa bahkan dalam kondisi yang paling menantang sekalipun, masih mungkin untuk memberikan sumbangsih positif kepada masyarakat.
Pak Sungkono melengkapi, “Saya berasal dari keluarga petani, dan saya mengambil jurusan teknik mesin dengan harapan dapat berperan dalam meningkatkan efisinsi pertanian dengan alat modern. Meski impian itu tidak pernah bisa saya realisasikan, saya berpesan kepada kalian generasi muda: Anda adalah matahari terbit bagi bangsa Indonesia, sementara kami, para eksil- adalah matahari terbenam. Namun, penting bagi kita untuk memelihara api. Beranilah memperjuangkan apa yang benar. Meskipun Jalan kalian masih panjang dan ujungnya tidak terlihat, teruslah berjalan maju demi bangsa Indonesia. Saya, untuk selamanya akan tetap menjadi orang Indonesia,” sambungnya.
Bersamaan dengan pergantian hari menuju malam, acara diskusi tersebut berakhir dengan suasana haru. Hari itu kami menyaksikan matahari terbenam yang apinya tak pernah padam.
Meskipun peserta diskusi beranjak meninggalkan ruangan, semangat dan pesan yang dibagikan terus membakar semangat juang, mengingatkan bahwa esok hari matahari akan terbit kembali.