Logika vs Nilai: Masalah Serius di Tubuh Kader PMII

Jurnalis: Fahrur Rozi
Kabar Baru, Kolom – Di zaman ketika segala hal serba diseret ke dalam ruang tafsir rasional semata, kita mulai kehilangan arah tentang mengapa sebuah peraturan itu ada, dan untuk siapa ia berlaku. Dalam pusaran logika yang dipaksakan sebagai satu-satunya alat ukur kebenaran, kita lupa bahwa nilai bukan nalar semata adalah fondasi luhur dari setiap perjuangan idealis. Maka pertanyaan mendasarnya bukan sekadar “apa gunanya peraturan?”, melainkan: apa jadinya jika peraturan tak lagi dihargai, karena logika individu dianggap lebih tinggi dari nilai komunal?
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bukanlah organisasi biasa. Ia adalah ruang dialektika dan medan juang ideologis yang telah lama menjadi kawah candradimuka bagi kader-kader bangsa. PMII adalah narasi besar tentang pembentukan karakter, kesadaran, dan komitmen terhadap nilai serta cita-cita keummatan dan kebangsaan.
Namun hari ini, kita dihadapkan pada kenyataan getir: krisis internalisasi nilai di kalangan kader. Sebuah problem eksistensial yang tak bisa lagi hanya disikapi dengan pendekatan teknis. Kemandekan refleksi terhadap Nilai Dasar Pergerakan (NDP), abainya tanggung jawab moral terhadap organisasi, serta dominannya sikap egoistik yang kumuh di balik jargon rasionalitas, telah melahirkan kader-kader yang kering makna perjuangan. Lebih menyedihkan lagi, ada yang menjadikan atmosfer organisasi sebagai alat eksistensi pribadi, daripada sebagai ruang transformasi kelompok.
Fenomena ini bukan fiksi, ia terjadi nyata di tubuh PMII UIN Madura. Dalam peristiwa kontestasi RTK terakhir, kelompok-kelompok seperti aliansi 3 Rayon beserta afiliasinya mengklaim kebenaran sepihak dengan dalih logika prosedural. Mereka menuntut pengulangan forum dengan alasan yang secara substansi tak berdasar pada hukum organisasi, melainkan hanya pada persepsi personal bahwa mereka telah “dirugikan”. Naif, sebab tidak satu pun dari keberatan mereka memiliki dasar yang dapat dijustifikasi secara struktural tidak dalam AD/ART, tidak pula dalam muspimcab ataupun regulasi formal lainnya.
Kritik boleh lahir, koreksi harus selalu terbuka namun ketika sebuah gerakan justru menghancurkan fondasi etik dan keabsahan keputusan organisasi hanya demi kepentingan tak kasatmata, maka yang terjadi adalah penghianatan terhadap prinsip. Lebih dari itu, tindakan-tindakan yang menarasikan kerusakan internal organisasi di ruang publik tanpa landasan faktual yang kuat, terlebih melalui media sosial, berpotensi besar mencemarkan nama baik organisasi dan ini jelas masuk dalam kategori pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, serta UU ITE Pasal 27 Ayat (3).
Apakah layak seorang kader yang bersumpah setia pada organisasi, justru menodai nama baik PMII hanya karena tak mendapatkan hasil sesuai kehendak kelompoknya?
Mari kita ingat kembali sumpah kader yang tidak bertopeng seremonial linguistik, tetapi teguh pada ikrar ideologis: untuk selalu patuh pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, tunduk pada Anggaran Dasar dan Rumah Tangga PMII, dan menjunjung nilai serta norma organisasi di atas ego pribadi. Bahkan dengan tegas dikatakan bahwa ketidaksetiaan kepada pimpinan organisasi adalah bentuk pengkhianatan yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Maka, ketika logika digunakan untuk melawan etika, ketika nilai ditukar dengan kalkulasi untung-rugi, ketika forum diobrak-abrik atas dasar rasa “dirugikan” daripada demi kebaikan bersama, tentu kita telah menyaksikan kemunduran ruh gerakan. Dan siapapun yang diam atau mendiamkan ini, sesungguhnya sedang membiarkan nilai-nilai PMII dirusak dari otak-otak rakus.
PMII adalah rumah besar perjuangan, bukan panggung kepentingan pragmatis. Maka mari kembali pada marwah pergerakan. Bukan karena kita membenci kritik, tapi karena kita mencintai organisasi ini terlalu dalam untuk membiarkannya hancur oleh arogansi yang dibalut retorika.