Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Kasus Kriminalisasi Guru Terus Terulang, Bukti Bahwa Pemerintah dan Aparat Gagal Menjalankan Tugasnya

Kabarbaru.co
Penulis adalah M Diaz Habibie Rahman, Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi BKI Uin Sunan Kalijaga.

Editor:

Kabarbaru, Opini – Beberapa minggu ke belakang, khalayak lagi-lagi dihebohkan oleh kasus kriminalisasi guru. Supriyani, seorang guru honorer dari Konawe Selatan, Sulawesi Utara, diseret ke pengadilan dengan melewati proses hukum yang kurang masuk akal. Kasus ini bermula ketika Aipda Wibowo Hasyim, orang tua dari seorang siswa kelas 1 di SDN 4 Baito, yang juga merupakan anggota polisi melaporkan Supriyani atas dugaan penganiayaan ke Polsek Baito pada tanggal 25 April 2024.

Berdasarkan keterangan Aipda Wibowo, laporan diajukan setelah ibu korban menyadari ada bekas luka memar di paha belakang anaknya. Namun, Supriyani membantah tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak mengajar di kelas korban dan tidak pernah berinteraksi langsung dengannya.

Setelah melewati proses panjang, ternyata pihak berwenang menemukan berbagai kejanggalan bahkan sampai muncul dugaan rekayasa kasus. Pasalnya, hasil penyelidikan berupa keterangan kronologi dari berbagai saksi terkait tidak sesuai dengan keterangan yang diajukan oleh pelapor.

Selain itu, bukti berupa gagang sapu yang diduga merupakan alat yang digunakan terduga pelaku untuk memukul korban tidak sesuai dengan bekas luka yang diderita.

Ironisnya, fenomena kriminalisasi terhadap guru semacam kasus Supriyani ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Kenyataan tersebut membuktikan betapa masih rentannya profesi guru—terutama guru honorer—terjerat kriminalisasi.

Padahal secara hukum sudah ada beberapa undang-undang dan peraturan yang menjamin perlindungan hukum bagi guru, seperti dalam UU no 14 tahun 2005 pasal 39 tentang guru dan dosen; Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan; Putusan Mahkamah Agung No. 1554K/PID/2013, yang menyatakan guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap muridnya, namun pada kenyataannya berbagai peraturan tersebut belum terimplementasi secara efektif.

Aparat penegak hukum tampak amat picik karena tidak becus membedakan mana tindakan yang mengandung mens rea (niat jahat) dan mana yang tidak, sehingga bisa diambil pertimbangan yang masuk akal untuk memutuskan apakah tindakan tersebut bisa dipidanakan atau tidak. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam berbagai kasus tersebut kita mesti curiga terhadap motif dan kepentingan yang bertarung di belakang layar.

Jangan-jangan bukan karena para aparat penegak hukumnya yang inkompeten, melainkan karena konflik kepentingan, yang salah satu pihak dalam konflik tersebut menjadikan tokoh-tokoh yang ada dalam skenario sebagai tunggangan untuk meraih kepentingan mereka. Dan naasnya, guru sebagai pihak yang paling lemah dalam skenario ini hanya dijadikan sebagai kambing hitam.

Jika kita telisik lebih jauh, ada beberapa faktor yang mempengaruhi rentannya profesi guru terkena kasus kriminalisasi. Pertama, tidak adanya kesamaan persepsi antara orangtua, guru, dan pihak pemangku kebijakan sekolah tentang pendisiplinan terhadap siswa. Saya yakin nyaris kita semua sepakat bahwa kekerasan tidak bisa ditolerir apapun alasannya—terutama terhadap anak-anak.

Dalam proses mendidik, melakukan tindak kekerasan demi mewujudkan kedisiplinan bukanlah suatu Keputusan yang bijak, karena saya pikir masih banyak alternatif yang bisa diterapkan oleh guru untuk membentuk kedisiplinan, mentalitas, dan moralitas siswanya. Yang menjadi masalah adalah, pada kenyataannya ada saja oknum guru yang masih melakukan upaya pendisiplinan dengan cara “kekerasan” seperti menjewer, mencubit, atau memukul (tentunya masih dalam taraf wajar yang tidak sampai melukai dan menghilangkan salah satu fungsi psikomotorik siswa). Dan biasanya oknum guru yang menggunakan pendekatan tersebut berasal dari generasi yang agak kolot yang notabene mereka pun adalah hasil dari model Pendidikan yang masih menormalisasi tindak pendisiplinan secara fisik (kekerasan).

Berdasarkan realita tersebut, Ketika memang ada guru yang melakukan tindak pendisiplinan dengan kekerasan, maka pihak orangtua jangan serta-merta menganggapnya sebagai bentuk tindak kriminal yang berujung pada perkara pidana. Namun alangkah lebih bijaksana—dan lebih masuk akal— jika tindak tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik guru, mengingat tidak ada unsur mens rea (niat jahat) untuk melukai peserta didik, melainkan murni karena niat pendisiplinan semata.

Faktor kedua, adalah disfungsi perlindungan dan penegakkan hukum yang menaungi profesi guru. Seperti yang saya terangkan di atas, sebenarnya sudah ada beberapa regulasi yang mengatur dan melindungi profesi guru. Akan tetapi yang menjadi masalah terletak pada fungsi eksekutifnya. Karena, jika kasus-kasus semacam ini ditindak melalui prosedur hukum yang konvensional, maka tidak menutup kemungkinan kejadian yang sama (kriminalisasi terhadap guru) akan terus berulang.

Alasannya karena netralitas dan independensi Lembaga yudikatif kita rentan tercemar oleh pertarungan kepentingan yang bermain di belakang. Akibatnya, jika salah satu pihak tidak mempunyai sumber daya yang memadai—walaupun berada di pihak yang benar, maka pihak lain yang dekat dengan kekuasaan—apalagi mempunyai sumber daya yang cukup—akan mendapat kemungkinan yang lebih besar untuk memenangkan persidangan.

Berangkat dari kenyataan tersebut, penting kiranya dibentuk suatu Lembaga khusus—di luar apparat penegak hukum konvensional—yang berfungsi untuk mengawasi, memproses dan mengeksekusi segala tindakan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh guru. Alasannya adalah untuk meminimalisasi praktik penyelewengan kewenangan oleh oknum-oknum aparat yang tidak bertanggung jawab.

Pasalnya, tidak semua jenis pelanggaran dalam lingkungan sekolah atau Lembaga Pendidikan apapun itu mesti diproses melalui jalur hukum positif. Karena jika melulu harus seperti itu, akan ada banyak pihak yang dirugikan—terutama guru honorer yang mayoritas termasuk golongan kurang mampu—karena harus mempertaruhkan reputasi, sumber daya, dan waktu yang tidak sedikit.

Maka, alangkah lebih baik jika perkara-perkara semacam ini—khususnya terkait pelanggaran kode etik, itu cukup diselesaikan oleh Lembaga yang proses penyelesaian perkaranya melalui jalur non litigasi. Kita bisa mengambil contoh dari Lembaga Dewan Pers, yang fungsinya adalah untuk memproses serta menyelesaikan segala perkara atau sengketa yang masih berada dalam lingkup profesi jurnalistik.

Begitu pun dengan profesi guru. Entah hendak dibentuk Lembaga yang sejenis Dewan Pers (Dewan Guru), ataupun menambah wewenang dan fungsi Lembaga yang sudah ada seperti PGRI dan LKBH PGRI. Yang jelas, ini menjadi PR bagi pemerintah kita untuk segera merumuskan kebijakan yang tepat.

Terlebih jika membentuk undang-undang tentang Lembaga pelindung profesi guru tersebut, agar ke depannya tidak terjadi lagi kriminalisasi guru, yang sepertinya lebih layak disebut dengan “penindasan” terhadap guru.

Penulis adalah M Diaz Habibie Rahman, Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi BKI Uin Sunan Kalijaga.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store