Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Jurnalisme Data di Tengah Wacana Konspirasi Pandemi

Jurnalis:

KABARBARU, OPINI – Disinformasi dan teori konspirasi seputar pandemi global virus corona telah membanjiri internet menghadirkan tantangan bagi otoritas kesehatan, platform media sosial, jurnalis, pemeriksa fakta, dan warga yang peduli di seluruh dunia. Disinformasi adalah momok era kita yang cenderung membonceng krisis apa pun, terutama krisis global seperti pandemi saat ini: Dari teori konspirasi tentang bagaimana itu dimulai dan bagaimana penyebarannya, hingga pengobatan palsu (beberapa lebih mematikan daripada penyakit itu sendiri), internet dibanjiri dengan itu.

Kabar mengenai COVID-19 yang disuplai dari media sosial secara bebas juga memiliki bias fakta yang sulit ditelisik kebenarannya. Maka dari itu meskipun itu bukan hal baru, di era digital kita, infodemi menyebar seperti api. Mereka menciptakan tempat berkembang biak bagi ketidakpastian. Ketidakpastian pada gilirannya memicu skeptisisme dan ketidakpercayaan, yang merupakan lingkungan yang sempurna untuk ketakutan, kecemasan, tudingan jari, stigma, agresi kekerasan dan penolakan tindakan kesehatan masyarakat yang terbukti yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa.

Jasa Penerbitan Buku

Munculnya pemikiran konspiratif yang menempel pada infodemi karena dorongan yang kuat pada bayangan peristiwa sistemik dan jauhnya kita dengan banyak fakta yang kita tangkap. Akhirnya terbentuklah sekelompok masyarakat yang “berpikir konspiratif” di mana hal ini menjadi akhir kesempatan fakta jernih diterima kemudian dan menempatkan peristiwa ilmiah sebagai skenario dangkal. Lebih jauh akan ada perasan skeptis yang berlebihan dan melihat pemberitaan sebagai bagian sambungan konspirasi sebagaimana dipahami.

Media sosial memang dianggap memainkan peran dalam mempromosikan atau mengurangi kepercayaan konspirasi. Bahkan sumber media yang tak bertanggungjawab menjadi penghambat kemampuan negara untuk menghadapi pandemi. Platform media sosial utama memainkan wacana murahan dengan pemasok konspirasi COVID-19. Wacana tersebut menjadi semaca blokade imajinasi untuk lebih rasional dalam memahami pandemi ini. Harus diingat bahwa ketika berita arus utama membahas teori konspirasi, itu adalah untuk meningkatkan kekhawatiran tentang efek menerimanya, bukan untuk melegitimasinya.

Sebuah studi oleh para peneliti Annenberg Public Policy Center (APPC) telah menemukan bahwa pengguna media sosial dan konservatif lebih cenderung mempercayai teori konspirasi COVID-19 dalam kasus di Amerika. Selama bulan-bulan awal wabah COVID-19 di Amerika contohnya, orang-orang yang secara teratur menggunakan media konservatif atau sosial lebih cenderung melaporkan percaya pada konspirasi, menurut sebuah studi oleh para peneliti di Annenberg Public Policy Center (APPC).

Para peneliti Annenberg Science Knowledge (ASK) melakukan survei menggunakan sampel probabilitas nasional AS pada Maret 2020 dan lagi pada Juli 2020 dengan kelompok yang sama yang terdiri dari 840 orang dewasa. Peningkatan keyakinan konspirasi ini dikaitkan dengan lebih sedikit pemakaian masker dan penurunan niat untuk mendapatkan vaksin saat tersedia, dalam kasus di Indonesia perputaran teori konspirasi menjadi semcam lawan dari kegiatan ilmiah dan menentang kemajuan dalam satu waktu. Mitos dan perumpamaan peristiswa lain yang tidak bisa dibuktikan lebih cenderung menarik dibicarakan bahkan menjadi praksis dalam keseharian di tengah pandemi.

Persebaran wacana pandemi sebagai informasi (infodemi) tidak bisa diaruskan dalam satu tujuan seketika. Keinginan publik pengguna media sosial dalam mewacanakan dan memaknakan perasaannya mengenai pandemi ini akan cukup bermasalah karena sudah pasti akan berhadapan langsung dengan proyeksi data dan otoritas keahlian mengenai virus. Peliknya, masalah ini ditambah dengan keinginan yang tidak sabar dari publik kita mengenai langkah pasti sehingga mempermudah mempercayai wacana tanpa data dan kedalaman fakta untuk dirujuk.

Maka ada benarnya ucapan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus bahwa “Kami tidak hanya memerangi epidemi; kita sedang memerangi infodemik,”. WHO mendefinisikan infodemik sebagai kelimpahan informasi, beberapa akurat dan beberapa tidak, yang menyulitkan orang untuk menemukan sumber yang dapat dipercaya dan panduan yang dapat diandalkan ketika mereka membutuhkannya. Infodemi saat ini telah diperburuk oleh skala global krisis kesehatan dan oleh kontribusi influencer media sosial dan bahkan beberapa pemimpin dunia yang sudah lebih awal mengecap pandemi ini sebagai peristiwa sistemik yang terancang.

Bertaruh Dengan Data

Menurut sebuah studi oleh Reuters Institute for the Study of Journalism dan Oxford Internet Institute berjudul, Types, claim and sources of Covid-19 misinformation, menjelaskan bahwa “informasi palsu yang disebarkan oleh politisi, selebritas, dan tokoh masyarakat terkemuka lainnya” menyumbang 69 persen. dari total keterlibatan di media sosial, meskipun klaim mereka hanya terdiri dari 20 persen dari yang termasuk dalam sampel penelitian tersebut.

Jurnalisme data merupakan satu dari jantung pertahanan yang masih bisa digunakan untuk melawan pandemi. Beberapa waktu sejumlah perusahaan teknologi terkemuka dan perusahaan media sosial mengeluarkan pernyataan bersama yang berkomitmen untuk membantu jutaan orang tetap terhubung sambil juga bersama-sama memerangi penipuan dan informasi yang salah tentang virus. Harusnya kebebasan akses pada pemberintaan menjadi pengalaman yang mendalam mengingat pandemi ini sudah satu tahun lebih lamanya.

Jurnalisme data bukan tanpa tantangan berarti, dari bebagai penelitian Google pada sejumlah media sosial ada kenaikan dalam beberapa platform media seperti di Twitter, 59% posting yang dinilai oleh pemeriksa fakta tetap naik. Di YouTube, 27% tetap naik, dan di Facebook, 24% konten dengan peringkat palsu dalam sampel kami tetap muncul tanpa label peringatan. Google mengumumkan bahwa mereka sedang membentuk tim tanggap insiden 24 jam yang menghapus informasi yang salah dari hasil pencarian dan dari YouTube, dan akan mengirim pengguna yang mencari informasi tentang virus corona ke situs web WHO dan ke lembaga kesehatan resmi lainnya.

Berdasarkan data WHO Dalam 3 bulan pertama tahun 2020 lalu, hampir 6.000 orang di seluruh dunia dirawat di rumah sakit karena kesalahan informasi virus corona, menurut penelitian terbaru. Selama periode tersebut, para peneliti mengatakan setidaknya 800 orang mungkin telah meninggal karena kesalahan informasi terkait COVID-19. Dalam telusur penelitian Masyarakat Sipil Masyarakat Anti Fitnah (MAFINDO), yang bekerja untuk memerangi berita palsu telah menghitung 80 hoaks yang merendahkan vaksin dari Maret 2020 hingga tahun ini.

Ada beberapa langkah yang mesti dilakukan dalam mempopulerkan masalah infodemi dan mendalam. Pertama, mengajak masyarakat memahami pentingnya jurnalisme data yang dihasilkan karena didasarkan rujukan dan sumber yang kuat. Kedua, jurnalisme data menjadi sosialisasi yang sepadan untuk melawan wacana yang tidak memiliki sumber, mengingat kebutuhan data yang kompleks tentu juga harus didorong dengan kesiapan penyajian yang berkala. Ketiga, jurnalisme data memiliki pertanggungjawaban yang lebih baik, mengingat data akan menjadi vital yang jika tidak dikelola dengan benar dapat menjadikan publik akan berasusmsi sendiri dan membahayakan jika menjadi wacana yang kemudian menyita perhatian orang-orang di sekitarnya.

Akhirnya, meski fenomena infodemi tidak bisa dihentikan, namun bisa dikelola melalui kampanye dan kolaborasi memperdalam literasi infodemi dengan jurnalisme data yang kuat. Dengan menunjukkan kepada orang-orang bagaimana mengenali dan melaporkan informasi yang salah dan meningkatkan literasi media mereka, kita dapat mengubah gelombang tsunami infodemi dan menyelamatkan nyawa. Disinformasi telah ada selama ribuan tahun dan sepertinya tidak akan berhenti menyebar dalam waktu dekat. Tetapi harapannya adalah bahwa langkah-langkah yang diambil sekarang dari pemeriksa fakta dan peyajian pemberitaan dari jurnalisme data dapat membantu orang lebih memahami infodemik saat ini.

 

  • Penulis adalah Edi Junaidi Ds, bekerja sebagai Jurnalis TIMES Indonesia di Jakarta. Kegiatan sehari-hari selama pandemi adalah, menulis dan menjaga toko kelontongan di depan kampus kedokteran UIN Jakarta.
  • Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store