Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Indonesia Belum Merdeka: Harga Panen Petani Masih dibeli Murah

Jurnalis:

Kabar Baru, Jakarta – Tepat pada hari ini, 17 Agustus 2025, Indonesia memperingati 80 tahun kemerdekaannya. Sebuah waktu yang tidak sebentar, yang patut kita syukuri bersama.

Dua puluh tahun ke depan, kita akan memasuki peringatan satu abad Indonesia merdeka Indonesia Emas 2045 yang terus digaungkan pemerintah.

Jasa Pembuatan Buku

Serikat Petani Indonesia (SPI) mengingatkan bahwa Peringatan kemerdekaan ini harusnya menjadi momentum untuk mengingatkan kita kembali, apakah kemerdekaan yang sudah memasuki usia 80 tahun ini benar – benar telah memerdekakan segenap rakyat Indonesia?

Sejarah mencatat, Indonesia memproklamasikan kemerdekannya pada 1945, tetapi kekuatan kolonial masih bercokol di bumi pertiwi pada saat itu.

Baru pada 1956 pemerintah melakukan nasionalisasi aset – aset kolonial, mulai dari usaha di bidang kelautan, pertambangan, perkebunan, hingga transportasi darat, laut, dan udara.

Butuh setidaknya sepuluh tahun pasca proklamasi untuk Indonesia bisa melepaskan belenggu ekonomi penjajahan.

Kemudian lahirlah Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960 yang menggantikan Undang Undang kolonial Belanda Agrarische Wet tahun 1870. Momentum tersebut menjadi tonggak penting upaya kemerdekaan ekonomi di Indonesia melalui reforma agraria.

Karena itu lahirnya UUPA No 5 tahun 1960 itu merupakan proklamasi kemerdekaan ekonomi Indonesia. Kendati demikian, pelaksanaan dari UUPA, terutama UUPA Nomor 5 Tahun 1960 banyak mendapat hambatan dari kekuatan politik baik nasional maupun internasional.

Keadaan berubah arah ketika masa Orde Baru, berbagai kebijakan dari Presiden Soeharto saat itu justru mengebiri UUPA itu sendiri. Undang Undang Penanaman Modal Tahun 1967 memberi jalan lebih bagi masuknya kembali perusahaan – perusahaan asing.

Sejak saat itu, tanah Perkebunan, tambang, hingga hutan kembali dikuasai korporasi besar. eksploitasi tambang emas di Papua dan konsesi hutan menjadi simbol kembali dan meluasnya cengkraman kapitalis asing atas sumber agraria Indonesia.

Tepat pada hari ini, delapan dekade setelah proklamasi kemerdekaan, kemiskinan dan ketidakadilan masih nyata terjadi di masyarakat.

Jumlah petani tidak bertanah semakin meningkat, sementara segelintir korporasi dan elit menguasai sebagian besar kekayaan alam Indonesia. Bagaimana petani bisa bertani dan memproduksi pangan jika tidak ada tanah untuk digarap?

Kondisi semakin diperburuk oleh ketergantungan pangan. Pada 1970an, impor gandum hanya puluhan tibu ton, kini mencapai hampir sepuluh juta ton. Kedelai yang dulu hanya 10 persen impor, kini menyentuh angka 90 persen.

Tidak berhenti di situ, Indonesia juga mengimpor bawang putih, daging, susu, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia, tetapi hasil sawit lebih banyak menguntungkan korporasi internasional ketimbang petani dan rakyatnya sendiri.

Semua itu terjadi karena mengiringi jatuhnya rezim Soeharto, dia telah mengikatkan Indonesia pada perjanjian perdagangan dunia (World Trade Organization) pada tahun 1995 dan perjanjian dengan International Moneter Fund (IMF) 1998.

Kemudian dilanjutkan lagi dikeluarkan Undang Undang Penanaman Modal pada tahun 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan tahun 2020 Undang Undang Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo yang semuanya membuat ekonomi Indonesia terjebak dalam Ekonomi Neokolonialisme dan Imperialisme.

Keadaan sistem Ekonomi Indonesia saat ini disebut sebagai ekonomi serakahisme oleh Presiden Prabowo. Kita harus mengartikan itu sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi sistem ekonomi Indonesia yang sedang berlangsung saat ini. Ketua Umum SPI, Henry Saragih, menegaskan bahwa proses penjajahan ekonomi masih berlangsung.

“Ketika kita hari ini memperingati kemerdekaan Indonesia ke-80 ini, beberapa hari lalu telah terjadi kesepakatan perdagangan yang sangat tidak adil, yang sangat merugikan Indonesia, di mana Indonesia dipaksa oleh Amerika Serikat untuk membuka pajak impornya 0 persen. Sebaliknya Indonesia masih tetap dikenakan tarif 19 persen,” ujarnya.

“Celakanya hal ini dianggap sebagai sebuah hasil perundingan yang menguntungkan Indonesia, padahal jelas-jelas ini adalah sebuah perundingan yang tidak adil, yang merugikan Indonesia,” tambahnya.

Di tengah kondisi ini, SPI menegaskan bahwa cita-cita Indonesia Emas pada 100 tahun kemerdekaan akan sulit terwujud apabila reforma agraria tidak dijalankan, kedaulatan pangan tidak ditegakkan, dan praktik perdagangan bebas tetap dibiarkan berlangsung tanpa kendali.

Di era pemerintahaan saat ini, kita menyambut apa yang disebut swasembada pangan.

Namun, jika swasembada pangan hanya berhenti pada produksi pangannya saja, menumbuhkan food estate, maka tidak akan memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pancasila.

“Oleh karena itu, harus dibangun prinsip – prinsip kedaulatan pangan,” ujar Henry, yakni pangan yang dikelola oleh petani, berbasis benih lokal, dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan kepentingan korporasi besar.

Demikian juga dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG), apabila program MBG ini tidak ditopang dengan produksi pangan oleh petani melalui koperasi petani, maka pangan yang disalurkan dalam program ini hanya akan berasal dari korporasi – korporasi besar, bahkan dalam bentuk ultra proceed food yang tidak bisa dibilang bergizi.

Hal yang sama berlaku bagi Koperasi Desa Merah Putih, jika hanya berfungsi sebagai penyalur produk – produk BUMN, maka tidak akan mampu menyelesaikan akar permasalahan ekonomi petani Indonesia.

Koperasi haruslah tumbuh bukan hanya sebagai penyalur, tapi benar – benar mengurus produksi pangan, mulai dari pengolahan, distribusi, hingga memperkuat posisi tawar petani sebagai produsen panga.

Begitu pula dengan Penertiban Kawasan Hutan (PKH), bila penertiban kawasan hutan tidak di tempatkan dalam bagian pelaksanaan reforma agraria maka penertiban kawasan hutan akan menimbulkan pemusatan ekonomi bagi BUMN yang terbukti selama ini tidak bisa membawa keadilan ekonomi bagi buruh, petani, dan sumbangan bagi ekonomi negara.

Jalan keluarnya jelas, reforma agraria dan kedaulatan pangan harus dijalankan. Koperasi harus tumbuh bukan hanya sebagai pernyalur, tapi benar – benar mengurus produksi pertanian, koperasi harus menjadi soko guru ekonomi Indonesia.

Indonesia perlu memaksimalkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara Asia Afrika dan negara-negara lain yang sejalan dengan Dasasila Bandung, yaitu sistem ekonomi solidaritas dunia.

Dasasila Bandung juga harus kita jalankan dengan seluruh daya upaya kita, karena saat ini bahkan terjadi ultra kolonialisme dan imperialisme, rakyat palestina bukan saja digusur dari tanahnya bahkan dimusnahkan.

Terakhir, momentum usia kemerdekaan yang menginjak 80 tahun pada hari ini bukan sekadar perayaan. Ini adalah pengingat bahwa perjalanan kita belum selesai.

Cita – cita kemerdekaan masih jauh, selama tanah, pangan, dan ekonomi bangsa masih dikuasai oleh segelintir korporasi dan kepentingan kelompok tertentu.

Kemerdekaan sejati hanya bisa diraih apabila reforma agraria dijalankan, kedaulatan pangan ditegakkan, dan seluruh kekayaan alam dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kemerdekaan harus mengakhiri keserakahan, kemerdekaan harus mewujudkan cita-cita proklamasi.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store