Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Hukum Anak Hasil Zina Menurut Imam Mazhab

Penulis: Birrul Faaidh, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Perbandingan Madzhab.

Editor:

Kabar Baru, Opini- Hukum Islam menjadikan akad sebagai tolok ukur sah atau tidaknya suatu perkara. Dalam hal ini contohnya adalah perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang akan berkeluarga membentuk rumah tangga dan mencari rida Allah SWT. Pentingnya sebuah akad perkawinan juga berdampak pada anak yang nantinya akan dilahirkan. Lantas bagaimana hukum anak hasil zina?

Setiap anak yang lahir di dunia dalam kondisi suci tanpa dosa, akan tetapi apabila anak tersebut lahir dalam hubungan perzinaan maka tentunya hak-haknya berbeda dengan anak yang lahir melalui perkawinan yang sah. Hak nasab, hak waris, hak wali, hak nafkah adalah hak yang harus didapat oleh anak, dalam hal ini ulama’ sepakat bahwa segala pemenuhan disandarkan pada ibu dan keluarga ibu saja.

Akan tetapi dalam beberapa hal Mazhab Hanafi dan Mazhab Asy-Syafi’i berbeda pendapat tentang hak yang dimiliki oleh anak hasil zina. Berdasarkan hal tersebut Artikel ini mengkaji tentang bagaimana hak nafkah anak zina menurut Mazhab Hanafi dan Asy- Syafi’I. Penelitian ini menggunakan metode library reasearch, yaitu mencari sumber sumber dari kepustakaan, penelitian ini bersifat deskriptif-komparatif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif. Sedangkan metode analisis penelitian ini adalah komparatif dengan cara membandingkan dua pendapat untuk menemukan persamaan dan perbedaanya. Metode ini digunakan untuk menemukan persamaan dan perbedaan pandangan antara Mazhab Hanafi dan Asy-Syafi’i tentang hak anak di luar nikah.

Menurut Mazhab Hanafi, anak zina masih memiliki nasab hakiki dengan ayah biologis, akan tetapi secara hukum telah terputus. Oleh karena anak hasil zina hanya memiliki nasab hakiki dia tidak berhak memperoleh nafkah dari bapak biologisnya. Namun, demikian bapak biologis tetap dianjurkan untuk memberi nafkah kepada anak tersebut, akan tetapi hal tersebut bukan suatu kewajiban.

Berdeda dengan mazhab Asy-Syafi’I, mazhab Asy-Syafi’I berpendapat bahwa anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab dengan bapak biologisnya secara mutlak. Oleh karena itu, bapak biologis tidak memiliki kewajiban ataupun dianjurkan untuk memberikan nafkah kepada anak tersebut.

Namun, demikian tetap boleh memberikan bantuan yang dalam hal ini dianggap sebagai sedekah. Mazhab Hanafi dan Asy-Syafi’i sependapat dalam hak nasab, bahwa nasab anak hasil zina telah terputus dari ayah biologisnya. Akan tetapi, Mazhab Hanafi mengakui akan adanya nasab hakiki.

Status anak di luar nikah menurut Imam Madzhab

Allah ta’ala berfirman yang artinya “perempuan pezina dan laki-laki pezina, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali pukulan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, Jika kamu beriman kepada allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. “ (QS An-nur;2)

Al-Qurthubi mengatakan , “ Kata “zaniyah “ ( wanita pezina) lebih didahulukan dalam ayat di atas karena aib pezina itu lebih melekat pada diri wanita. Mengingat mereka seharusnya lebih tertutup dan berusaha menjaga diri, maka para wanita pezina disebutkan lebih awal sebagai bentuk peringatan keras dan perhatian besar bagi mereka. ( Al-Jami’ li Ahkam-Al-Quran, 12:160)

Status anak di luar nikah menurut Mazhab Hanafi

Bahwa anak di luar nikah adalah anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah adanya akad nikah. Adapun nasab status anak di luar nikah adalah sama dengan anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah, karena mazhab Hanafi menganggap adanya nasab secara hakiki, maka nasab hakiki kepada bapak biologisnya adalah tsabit, sehingga anak tersebut diharamkan untuk dinikahi bapak biologisnya.

Status anak di luar nikah menurut Mazhab Syafi’I

Bahwa anak di luar nikah adalah anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah adanya persetubuhan dengan suami yang sah. Adapun status nasab anak tidak memiliki hubungan nasab dengan bapak biologisnya, karena anak tersebut lahir di luar perkawinan yang sah.

Persamaan antara keduanya, yaitu dalam hal kewarisan, bahwa anak di luar nikah tidak mewarisi dari bapak biologisnya, melainkan hanya kepada ibu, dan keluarga ibunya. Anak di luar nikah juga tidak memperoleh hak nafkah dari bapak biologisnya. Adapun dalam perwalian, bapak biologisnya tidak berhak menjadi wali dari anak luar nikahnya, namun yang menjadi wali adalah wali hakim.

Berdasarkan hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . dan pendapat syafi’I di atas, anak yang lahir seperti ini akan mempunyai akibat sebagai berikut:

  1. Tidak adanya hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
  2. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
  3. Tidak ada saling mewarisi dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kewarisan.

Status anak di luar nikah menurut imam Nawawi

Imam Nawawi memiliki pendapat yang sama dengan Imam Syafi’I berikut penjelasannya yang artinya:
“Sesungguhnya hukum anak lahir hasil zina adalah anak li’ an, karena ketetapan nasabnya adalah nasab ibunya, bukan dengan nasab bapaknya. Maka status hukumnya adalah anak yang li’ an “

Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya, lelaki ini disebut “pemilik firasy”.

Jadi Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikitpun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain. (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10.37).

 

*) Penulis adalah Birrul Faaidh, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Perbandingan Madzhab.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store