Gorontalo dan Peringatan Tsunami: Ketika Laut Tenang, Masyarakat Bergelombang

Jurnalis: Redaksi Gorontalo
**Tulisan ini adalah refleksi pribadi atas dinamika sosial yang terlihat saat peringatan dini tsunami dari BMKG. Bukan untuk menggurui, menyalahkan, atau meremehkan, melainkan sebagai ajakan untuk memahami kompleksitas respons masyarakat di era informasi yang bergerak cepat.**
Kabar Baru, Opini– Rabu kemarin, BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami. Sebuah kabar yang datang dari jauh, dari laut utara, namun bergaung hingga ke pesisir Gorontalo. Di kota dan desa, berita itu tidak hanya didengar — ia diresapi, direspons, dan menjadi cermin bagi wajah masyarakat yang tak pernah seragam.
Gorontalo bukan sekadar tempat di peta. Ia adalah ruang sosial yang hidup dengan cara uniknya sendiri. Ketika peringatan itu datang, masyarakat tidak hanya berhadapan dengan potensi bencana alam, tapi juga dengan gelombang informasi yang bergerak cepat di media sosial.
Beberapa warga memilih menuju pantai, menatap laut yang tampak biasa saja, seolah mencari kepastian dari alam langsung.
Beberapa yang lain sibuk mengemas barang penting, mempersiapkan diri seolah gelombang itu pasti akan datang.
Dan tak sedikit yang mengubah berita serius itu menjadi bahan canda, membagikan meme dan humor ringan di grup WhatsApp dan beranda sosial media lainnya, sebagai cara menenangkan diri.
Dari sudut pandang sosiologis, respons ini lebih dari sekadar panik atau guyonan. Ia mencerminkan *keragaman sosial dan psikologis yang melekat pada masyarakat Gorontalo.
Media sosial, dengan segala kecepatannya, menjadi arena di mana rasa takut, harap, dan hiburan bercampur. Ia mempercepat penyebaran informasi, sekaligus mempercepat kegelisahan. Di sinilah kita melihat bagaimana teknologi mengubah cara masyarakat merespons bencana: bukan lagi hanya secara fisik, tapi juga secara emosional dan sosial.
Peringatan BMKG, yang dimaksudkan untuk menyelamatkan, terkadang bertemu dengan berbagai tafsir dan reaksi yang beragam. Ini bukanlah sebuah kegagalan komunikasi, melainkan cerminan kompleksitas masyarakat yang hidup di era digital dan tradisi.
Hari itu, laut memang tenang, tsunami tidak datang. Namun dari kejadian ini, kita belajar bahwa ancaman terbesar mungkin bukan air yang datang, tapi gelombang kecemasan dan kabar yang kadang lebih sulit dikendalikan daripada ombak.
Gorontalo, dengan segala keragamannya, mengajarkan kita pentingnya kesabaran sosial dalam menghadapi informasi. Bahwa dalam menghadapi bencana, bukan hanya kesiapan fisik yang diperlukan, tapi juga kesiapan mental dan sosial untuk menyaring kabar, menenangkan satu sama lain, dan tetap bersama dalam ketidakpastian.
Semoga tulisan ini membuka ruang bagi kita semua untuk saling memahami, dan menumbuhkan kesadaran bahwa di balik setiap kabar ada manusia yang hidup dan merespons dengan caranya sendiri. Mari kita hadapi setiap gelombang—baik di laut maupun di linimasa—dengan kepala dingin dan hati terbuka.