ARK : Cenderawasih yang Harus Kita Bela Adalah yang Hidup di Hutan, Bukan yang Mati di Kepala

Jurnalis: Afi Ibrahim
Kabar Baru, Sorong – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Daerah Pemilihan Papua Barat Daya, Agustinus R. Kambuaya, mengajak seluruh masyarakat Papua untuk merenungkan makna sesungguhnya dari simbol burung Cenderawasih yang selama ini menjadi kebanggaan Tanah Papua.
Agustinus menyoroti fenomena penggunaan mahkota Cenderawasih dalam berbagai kegiatan seremonial, seperti penjemputan tamu, parade budaya, dan acara adat.
Ia menyebut kebiasaan itu tanpa sadar telah melegitimasi perburuan burung Cenderawasih, yang seharusnya dilindungi sebagai satwa langka khas Papua.
“Harusnya kita semua refleksi bahwa Cenderawasih itu rumah dan surganya adalah hutan Papua yang sudah dibabat habis. Cenderawasih yang mati tergantung di kepala kita menjadi mahkota, sementara yang hidup kehilangan surganya,” kata Agustinus R. Kambuaya dalam pernyataannya, Jumat (24/10/2025).
Menurutnya, masyarakat harus mulai melihat hutan Papua sebagai rumah bagi Cenderawasih dan satwa endemik lainnya, bukan sekadar sumber kayu atau lahan ekonomi.
“Cenderawasih yang harus kita bela adalah yang hidup dan menari di alam bebas. Kita harus serius bicara tentang hutan sebagai surga dan habitat flora-fauna yang ada,” tegasnya.
Agustinus juga menilai, penggunaan mahkota dari bulu Cenderawasih sebagai simbol kebanggaan justru menunjukkan kekeliruan dalam cara masyarakat memaknai warisan alam.
Ia menegaskan bahwa Cenderawasih bukan untuk diburu atau dipelihara, tetapi dilestarikan di habitat aslinya.
“Kita semua salah, karena menjadikan mahkota Cenderawasih sebagai kebanggaan. Padahal Tuhan menganugerahkan Cenderawasih sebagai The Bird of Paradise burung surga, dan surganya adalah hutan Papua, bukan kepala manusia,” ujarnya.
Agustinus mengajak semua pihak, terutama generasi muda, untuk lebih peduli terhadap pelestarian lingkungan dan tidak lagi menggunakan satwa langka sebagai atribut budaya.
“Cenderawasih yang sudah mati biarlah menjadi bahan pembelajaran di museum. Mari kita renungkan, karena ketika hutan dibabat, bukan hanya Cenderawasih, tapi juga Mambruk, Kasuari, dan satwa lainnya akan kehilangan rumah,” kata dia.
Menutup pesannya, Agustinus menegaskan bahwa krisis lingkungan di Papua adalah tanggung jawab bersama.
“Kita semua bersalah kepada anak-anak dan cucu kita. Kita yang salah,” tutupnya.
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
Indonesia Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







