Agama asli Nusantara: Pasang Surut Perjuangan Penganut Penghayat Kepercayaan

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Jakarta – Indonesia dikenal sebagai negara kaya akan keberagaman budaya maupun kepercayaan nenek moyang. Terkait validitas, hanya enam agama yang mu’tabar di Indonesia, selainnya termasuk dalam kategori Penghayat Kepercayaan.
Terdapat 187 organisasi kepercayaan di seluruh nusantara dan 1.047 cabang di daerah. Dikarenakan keberadaan agama lokal tidak diakui, maka lahir anggapan bahwa sebelum abad pertama tidak ada agama yang dipegang oleh bangsa Indonesia.
Buku Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi, Parsudi Suparlan menjelaskan bahwa agama seperti seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, Utamanya hubungan dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.
Lanjutnya ia mengatakan, jika agama merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan dunia gaib, maka seharusnya tidak hanya enam agama yang diakui dan layak disebut agama, aliran kepercayaan pun harusnya layak disebut agama.
Keberadaan agama lokal perlahan mengalami kepunahan, kepercayaan agama lokal justru lebih cepat sirna dibanding unsur kebudayaan asli Indonesia yang lainnya.
Di Indonesia, penganut aliran kepercayaan telah lama diperlakukan bagai anak tiri. Padahal jika ditarik sejarahnya, justru agama-agama lokal jauh lebih dulu ada sebelum kehadiran enam agama resmi di Nusantara.
Keberadaan Agama Asli di Indonesia
Sebelum masuk ajaran agama-agama dari luar (Budha, Hindu, Islam, Kristen, Khatolik, Konghucu) dalam buku-buku sejarah di sekolah hanya menyebutkan dan menjelaskan aliran kepercayaan seperti Animisme dan Dinamisme.
Adapun buku-buku tersebut tidak menyebutkan secara jelas agama-agama asli Indonesia, dalam hal ini agama lokal atau Penghayat Kepercayaan. Padahal, jika ditelusuri sebelum masuknya agama-agama dari luar, ada banyak agama asli Indonesia yang menjadi keyakinan masyarakat saat itu.
Seperti agama Kaharingan yang dianut oleh orang-orang Dayak, keberadaan Kaharingan sebelum masuknya agama Kristen dan Islam. Selain itu suku Sakai di Riau dengan seperangkat kepercayaannya.
Terdapat juga di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, seperti Kejawen, Budi Luhur, Purwoduksino yang berkembang sebelum masuknya Islam ke Nusantara.
Indonesia mempunyai keberagaman agama lokal yang dikenal sebagai Penghayat Kepercayaan, Dalam sejarahnya, Penghayat Kepercayaan mengalami gerakan pasang dan surut untuk mendapatkan pengakuan dari negara.
Terdapat persoalan antara agama resmi dan agama lokal terkait perbedaan perlakuan, Adapun agama yang didefinisikan oleh negara dan wacana umum harus memuat unsur yakni memiliki kitab suci dan percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini juga menjadi pertimbangan negara yang memberi kesan terhadap agama lokal yang tidak transparan terkait ekspresi keagamaan atau kepercayaan yang mereka lakukan.
Maka apabila definisi tersebut menjadi tolak ukur, keberadaan dari agama-agama lokal atau agama asli Nusantara malah tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan kepercayaannya secara resmi.
Persoalan selanjutnya, agama lokal tidak dapat dimasukkan pada kategori agama yang diberikan izin oleh negara melalui undang-undang. Padahal, apabila merujuk pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” mestinya agama atau keyakinan apapun layak mendapat perlakuan yang sama, termasuk agama lokal.
Setiap individu juga memiliki kebebasan beragama, namun kenapa yang masuk katagori agama menurut negara dan masyarakat justru hanya enam saja? Hal itu malah berimplikasi pada marginalisasi agama atau kepercayaan terhadap agama lokal di mana secara geneologinya merekalah yang terlebih dahulu berada di bumi Nusantara ini.
Saat ini keberadaan agama lokal telah diakui oleh negara dengan adanya Keputusan MK terkait Undang-undang Administrasi Kependudukan tahun 2017 yang memperbolehkan pencantuman agama atau kepercayaan dikolom KTP oleh para penganut Penghayat Kepercayaan, dengan bertuliskan “Kepercayaan Terhadap Tuhan YME”.
Namun adanya Putusan MK yang telah memberi ruang pengakuan terhadap penganut Penghayat Kepercayaan, justru mereka seperti kurang puas atas kebijakan tersebut.
Mereka menuntut untuk diberikan fasilitas pendidikan agama penghayat kepercayaan sekaligus tenaga pendidiknya di sekolah-sekolah yang terdapat peserta didik penganut Penghayat Kepercayaan.
Selain itu mereka juga menginginkan perizinan terkait pelaksanaan pernikahan dan upacara pemakaman yang dilakukan sesuai dengan masing-masing ajaran Penghayat Kepercayaan.
Persoalan ini ditemukan di daerah Tulungagung yang sebagian masyarakatnya masih menganut agama Penghayat Kepercayaan. Mereka merasa kurang diperhatikan terkait hak pendidikan agama yang belum sesuai dengan aliran kepercayaan mereka.
Selain itu pelaksanaan pernikahan yang selama ini dilangsungkan masih menggunakan tata cara agama formal. Untuk itu mereka mengusulkan adanya modin yang memimpin pernikahan penganut Penghayat Kepercayaan di sana.
Adapun respon pemerintah daerah yakni menjamin warga penghayat di Tulungagung bisa mendapatkan hak yang sama utamanya terkait pelayanan Adminduk di Tulungagung.
Saat ini agama lokal berada di bawah naungan Kemendikbudristek. Hal ini karena aliran kepercayaan dianggap sebagai bagian dari kebudayaan nasional dan warisan kekayaan rohaniah bangsa Indonesia. Berbeda dengan agama resmi yang berada di bawah naungan Kemenag.
Dukungan dan Tantangan Penghayat Kepercayaan dalam Perkembangan Zaman
Dukungan terhadap penganut Penghayat Kepercayaan terus diupayakan hingga sekarang. Seperti melindungi hak-hak mereka dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik terkait aliran Penghayat Kepercayaan di Indonesia.
Baik itu melalui penelitian ataupun dukungan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek dan Putusan MK yang telah mengizinkan pengisian agama kepercayaan dikolom KTP.
Sebaliknya Penghayat Kepercayaan dihadapkan pada beberapa tantangan seperti globalisasi, modernisasi, dan urbanisasi yang membawa pengaruh baru serta mengancam keberadaan kepercayaan tradisional.
Penganut setiap aliran Penghayat Kepercayaan memiliki ritual peribadatan dan ritus keagamaan masing-masing.
Hal tersebut seringkali menyebabkan penganut Penghayat Kepercayaan mendapat pandangan negatif dari orang-orang yang menganut agama resmi di Indonesia. Seperti anggapan sebagai aliran sesat atau agama sesat.
Tidak hanya itu, keberadaan mereka yang minoritas di Indonesia juga menjadikannya terdiskriminasi oleh kelompok masyarakat tertentu.
Hal ini diperparah dengan kebijakan atau layanan pemerintah yang terbilang masih mendiskreditkan para Penghayat Kepercayaan.
Dengan mengacu kepada UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, Pemerintah seharusnya mulai mensistematisasi ulang peraturan tersebut dan memberikan hak kebebasan bagi Penghayat Kepercayaan.
Penulis adalah Mona Gustiani,
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.