Pasien BPJS vs Umum: Mengapa Pelayanannya Kerap Dibedakan?

Jurnalis: Isyana Hanani
Bicarahukum.my.id – Perbedaan pelayanan antara pasien BPJS dan pasien umum di fasilitas kesehatan Indonesia telah menjadi isu yang sangat sensitif dan kontroversial dalam sistem kesehatan nasional kita. Fenomena ini bukan hanya sekadar persepsi masyarakat, melainkan realitas yang dialami oleh jutaan warga Indonesia setiap harinya ketika mengakses layanan kesehatan. Diskriminasi pelayanan ini menciptakan kesenjangan yang bertentangan dengan prinsip dasar hak atas kesehatan yang dijamin oleh konstitusi, di mana setiap warga negara seharusnya mendapatkan akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan berkualitas tanpa memandang status ekonomi atau jenis pembiayaan yang digunakan.
Permasalahan ini menjadi semakin kompleks ketika kita memahami bahwa BPJS Kesehatan sebenarnya dirancang sebagai program jaminan kesehatan universal yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ironisnya, program yang seharusnya menjadi solusi untuk pemerataan akses kesehatan justru dalam praktiknya sering kali menciptakan sistem pelayanan dua tingkat yang membedakan antara pasien yang membayar penuh secara mandiri dengan pasien yang menggunakan jaminan BPJS. Perbedaan ini terlihat dari berbagai aspek mulai dari waktu tunggu yang lebih lama, pembatasan akses terhadap obat-obatan tertentu, hingga perbedaan sikap dan perhatian dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.
DASAR HUKUM DAN REGULASI
Landasan Konstitusional
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 1 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak konstitusional ini seharusnya menjadi dasar yang kuat untuk memastikan tidak ada diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, terlepas dari metode pembayaran yang digunakan oleh pasien. Namun dalam implementasinya, interpretasi dan penerapan hak ini masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan sistemik yang memungkinkan terjadinya perbedaan pelayanan. Peraturan turunan dari amanat konstitusi ini seharusnya memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan standar pelayanan kesehatan yang sama, tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat celah-celah yang memungkinkan terjadinya praktik diskriminatif.
Regulasi BPJS Kesehatan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menjadi dasar hukum utama penyelenggaraan BPJS Kesehatan di Indonesia. Kedua undang-undang ini mengamanatkan prinsip-prinsip fundamental seperti kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan kemudian mengatur lebih detail tentang kepesertaan, iuran, manfaat, dan penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Meskipun regulasi-regulasi ini seharusnya menjamin kesetaraan pelayanan, dalam praktiknya masih terdapat interpretasi yang berbeda-beda di tingkat fasilitas kesehatan yang menyebabkan terjadinya disparitas pelayanan.
FAKTOR PENYEBAB PERBEDAAN PELAYANAN
Aspek Pembiayaan dan Tarif
Salah satu akar masalah utama dari perbedaan pelayanan adalah sistem tarif Indonesia Case Based Groups atau INA-CBGs yang diterapkan untuk pasien BPJS, yang seringkali dianggap tidak mencukupi oleh penyedia layanan kesehatan untuk menutupi biaya operasional yang sebenarnya. Sistem paket pembiayaan ini menetapkan tarif tetap untuk setiap diagnosis dan tindakan medis, tanpa mempertimbangkan variasi kompleksitas kasus atau kebutuhan individual pasien yang mungkin memerlukan penanganan lebih intensif atau obat-obatan yang lebih mahal. Rumah sakit dan klinik kemudian menghadapi dilema antara memberikan pelayanan optimal yang mungkin merugi secara finansial atau membatasi pelayanan agar tetap dalam koridor pembiayaan yang tersedia. Kondisi ini diperparah dengan keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan yang dapat mencapai beberapa bulan, menciptakan masalah cash flow bagi fasilitas kesehatan yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas dan prioritas pelayanan yang diberikan kepada pasien BPJS.
Beban Kerja dan Kapasitas
Jumlah peserta BPJS Kesehatan yang mencapai lebih dari 240 juta jiwa menciptakan beban kerja yang sangat besar bagi fasilitas kesehatan, terutama rumah sakit pemerintah yang menjadi rujukan utama. Rasio yang tidak seimbang antara jumlah pasien dengan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang tersedia menyebabkan terjadinya antrian panjang dan waktu tunggu yang lama bagi pasien BPJS. Sementara itu, pasien umum yang membayar penuh dapat mengakses jalur khusus atau fasilitas VIP yang memiliki rasio tenaga medis terhadap pasien yang lebih baik. Situasi ini menciptakan sistem de facto dua tingkat di mana kemampuan finansial menentukan kecepatan dan kualitas akses terhadap pelayanan kesehatan, bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjadi fondasi sistem kesehatan nasional.
MANIFESTASI PERBEDAAN PELAYANAN
Waktu Tunggu dan Antrian
Perbedaan paling nyata yang dialami pasien BPJS adalah waktu tunggu yang jauh lebih lama dibandingkan pasien umum, mulai dari pendaftaran hingga mendapatkan tindakan medis yang diperlukan. Pasien BPJS seringkali harus mengantri sejak dini hari untuk mendapatkan nomor antrian, kemudian menunggu berjam-jam untuk konsultasi dokter yang mungkin hanya berlangsung beberapa menit. Untuk tindakan elektif atau operasi non-emergency, waktu tunggu bisa mencapai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, sementara pasien umum dapat langsung mendapatkan jadwal dalam hitungan hari. Sistem rujukan berjenjang yang diwajibkan bagi pasien BPJS juga menambah kompleksitas dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pelayanan spesialistik, di mana pasien harus memulai dari faskes tingkat pertama meskipun kondisinya jelas memerlukan penanganan spesialis. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan ketidaknyamanan tetapi juga dapat memperburuk kondisi kesehatan pasien yang seharusnya mendapatkan penanganan segera.
Akses Obat dan Tindakan Medis
Formularium nasional yang membatasi jenis obat yang dapat diberikan kepada pasien BPJS seringkali menjadi sumber frustrasi bagi pasien maupun dokter yang merawat. Obat-obatan generasi terbaru atau yang lebih efektif namun lebih mahal seringkali tidak termasuk dalam daftar obat yang ditanggung BPJS, memaksa pasien untuk membeli sendiri atau menerima alternatif yang mungkin kurang optimal. Pembatasan juga berlaku untuk berbagai tindakan diagnostik dan terapeutik, di mana pasien BPJS mungkin tidak dapat mengakses teknologi medis terkini atau harus menunggu lama untuk pemeriksaan penunjang seperti MRI atau CT scan. Ironisnya, pembatasan-pembatasan ini justru dapat meningkatkan biaya jangka panjang karena pengobatan yang kurang optimal dapat menyebabkan komplikasi atau memerlukan perawatan berulang. Situasi ini menciptakan dilema etis bagi tenaga medis yang harus menyeimbangkan antara memberikan pelayanan terbaik sesuai standar medis dengan keterbatasan yang ada dalam sistem BPJS.
HAK PASIEN DAN PERLINDUNGAN HUKUM
Hak-Hak Fundamental Pasien
Setiap pasien, tanpa memandang status pembiayaannya, memiliki hak fundamental yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Hak-hak ini mencakup hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, hak atas informasi yang jelas dan lengkap tentang kondisi kesehatan dan tindakan medis yang akan dilakukan, serta hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan dengan penuh hormat tanpa diskriminasi. Pasien BPJS memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional yang berlaku. Namun realitasnya, penegakan hak-hak ini masih lemah dan mekanisme komplain yang ada seringkali tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan diskriminasi pelayanan yang dialami pasien BPJS. Diperlukan mekanisme pengawasan dan penegakan yang lebih kuat untuk memastikan bahwa hak-hak pasien benar-benar terlindungi dalam praktik sehari-hari.
Mekanisme Pengaduan
Pasien yang mengalami diskriminasi atau pelayanan yang tidak sesuai standar dapat melakukan pengaduan melalui berbagai saluran yang tersedia. BPJS Kesehatan menyediakan layanan pengaduan melalui BPJS Care Center 1500400, aplikasi Mobile JKN, dan kantor cabang BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia. Selain itu, pasien juga dapat mengajukan pengaduan ke Kementerian Kesehatan melalui Halo Kemkes 1500567 atau ke Ombudsman Republik Indonesia untuk kasus-kasus maladministrasi pelayanan publik. Rumah sakit juga wajib memiliki unit pengaduan internal yang dapat menjadi tempat pertama untuk menyampaikan keluhan. Namun efektivitas mekanisme-mekanisme pengaduan ini masih dipertanyakan karena seringkali tidak menghasilkan perbaikan yang signifikan atau penyelesaian yang memuaskan bagi pasien. Proses pengaduan yang berbelit-belit dan memakan waktu lama juga membuat banyak pasien memilih untuk tidak melaporkan diskriminasi yang mereka alami.
LANGKAH PERBAIKAN SISTEMIK
Reformasi Sistem Pembiayaan
Perbaikan mendasar diperlukan dalam sistem pembiayaan kesehatan untuk mengatasi akar masalah perbedaan pelayanan antara pasien BPJS dan umum. Peninjauan dan penyesuaian tarif INA-CBGs perlu dilakukan secara berkala dengan mempertimbangkan inflasi biaya kesehatan dan perkembangan teknologi medis. Sistem pembayaran berbasis kinerja atau pay for performance dapat dipertimbangkan sebagai insentif bagi fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada semua pasien tanpa diskriminasi. Percepatan pembayaran klaim BPJS kepada fasilitas kesehatan juga krusial untuk menjaga keberlangsungan operasional dan kualitas pelayanan. Selain itu, perlu dipertimbangkan mekanisme subsidi silang yang lebih adil di mana pasien dengan kemampuan ekonomi lebih baik dapat berkontribusi lebih untuk mendukung sistem jaminan kesehatan universal. Integrasi yang lebih baik antara program BPJS dengan asuransi kesehatan swasta juga dapat membantu mengurangi beban sistem dan memberikan pilihan yang lebih fleksibel bagi masyarakat.
Penguatan Regulasi dan Pengawasan
Diperlukan regulasi yang lebih tegas dan jelas untuk mencegah praktik diskriminasi pelayanan berdasarkan status pembiayaan pasien. Sanksi yang lebih berat perlu diterapkan bagi fasilitas kesehatan yang terbukti melakukan diskriminasi pelayanan. Sistem akreditasi rumah sakit perlu memasukkan indikator kesetaraan pelayanan sebagai komponen penilaian yang penting. Pembentukan tim pengawas independen yang melakukan audit berkala terhadap praktik pelayanan di fasilitas kesehatan dapat membantu mengidentifikasi dan mengatasi praktik diskriminatif. Transparansi data kinerja fasilitas kesehatan, termasuk waktu tunggu rata-rata dan tingkat kepuasan pasien berdasarkan jenis pembiayaan, perlu dipublikasikan secara rutin untuk mendorong akuntabilitas. Penguatan peran organisasi profesi kesehatan dalam menegakkan kode etik profesi juga penting untuk memastikan bahwa tenaga kesehatan memberikan pelayanan yang sama kepada semua pasien.
SOLUSI PRAKTIS UNTUK PASIEN
Strategi Mengoptimalkan Pelayanan BPJS
Pasien BPJS dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk mengoptimalkan pelayanan yang mereka terima dalam keterbatasan sistem yang ada. Memahami dengan baik prosedur dan hak-hak sebagai peserta BPJS adalah langkah pertama yang penting, termasuk mengetahui cakupan manfaat, prosedur rujukan, dan mekanisme pengaduan yang tersedia. Memilih faskes tingkat pertama yang memiliki reputasi baik dan tidak terlalu ramai dapat membantu mendapatkan pelayanan yang lebih baik dan cepat. Memanfaatkan aplikasi Mobile JKN untuk pendaftaran online dapat menghemat waktu antrian di faskes. Membangun hubungan baik dengan dokter keluarga di faskes tingkat pertama juga penting karena mereka yang akan memberikan rujukan ke spesialis jika diperlukan. Untuk kondisi non-emergency, merencanakan kunjungan di hari dan jam yang tidak terlalu ramai dapat mengurangi waktu tunggu. Menyimpan dan mengorganisir dengan baik semua dokumen medis juga penting untuk mempercepat proses pelayanan dan menghindari pemeriksaan berulang yang tidak perlu.
Kapan Mempertimbangkan Jalur Mandiri
Ada situasi-situasi tertentu di mana pasien mungkin perlu mempertimbangkan untuk menggunakan jalur mandiri meskipun memiliki kepesertaan BPJS, terutama untuk kondisi yang memerlukan penanganan segera atau ketika waktu tunggu BPJS dapat membahayakan kesehatan. Untuk kondisi emergency yang mengancam jiwa, pasien tidak boleh ragu untuk langsung mencari pertolongan tanpa memikirkan status pembiayaan karena rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat tanpa memandang kemampuan bayar pasien. Untuk pemeriksaan diagnostik yang urgent atau second opinion dari dokter spesialis, investasi menggunakan biaya pribadi mungkin worthwhile untuk mendapatkan diagnosis yang akurat dan cepat. Beberapa pasien juga memilih untuk mengkombinasikan BPJS dengan asuransi kesehatan swasta atau menabung dana kesehatan untuk situasi-situasi yang tidak optimal jika hanya mengandalkan BPJS. Namun penting untuk tetap aktif sebagai peserta BPJS karena ini adalah jaring pengaman untuk kondisi katastropik yang memerlukan biaya sangat besar.
Dengan demikian permasalahan perbedaan pelayanan antara pasien BPJS dan umum merupakan cerminan dari tantangan struktural yang dihadapi sistem kesehatan Indonesia dalam mewujudkan jaminan kesehatan universal yang berkualitas dan berkeadilan. Solusinya memerlukan komitmen politik yang kuat, reformasi sistemik yang komprehensif, dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah, fasilitas kesehatan, tenaga medis, dan masyarakat untuk menciptakan sistem kesehatan yang benar-benar melayani semua warga negara secara setara.
“Diskriminasi pelayanan kesehatan berdasarkan status pembiayaan bukan hanya masalah teknis administratif, tetapi juga masalah keadilan sosial yang fundamental. Setiap tetes keringat pekerja yang membayar iuran BPJS memiliki nilai yang sama dengan uang tunai pasien umum dalam hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermartabat.”
Oleh karena itu diperlukan gerakan bersama untuk menuntut dan mengawal reformasi sistem kesehatan yang menjamin kesetaraan pelayanan, sambil tetap realistis dalam menavigasi sistem yang ada untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik yang mungkin dalam kondisi saat ini.
Sumber : http://bicarahukum.my.id/