FKUB Kalbar Beberkan Akar Sistemik Radikalisme Didepan Aparatur Polda Kalimantan Barat

Jurnalis: Sri Hartutik Sandora
Kabar Baru, Pontianak – Hasil survei BNPT RI tahun 2024, bahwa Indeks Potensi Radikalisme di Kalimantan Barat berada pada urutan 18 Se-Indonesia dengan 11.5 persen, walaupun diposisi menengah kita wajib tetap waspada, dengan saling bersinergi menciptakan kerukunan tengah-tengah masyarakat.
Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalimantan Barat, Didi Darmadi, S.Pd.I, M.Lett, M.Pd, menegaskan bahwa intoleransi dan radikalisme merupakan ancaman serius berupa perang ideologi, bukan sekadar kriminalitas biasa.
Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber dalam kegiatan Pembinaan Penanggulangan/Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme kepada Pegawai Negeri Polri pada Polda Kalbar, yang berlangsung di Hotel Alimoer, Kubu Raya, pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Biro SDM Polda Kalbar, Didi Darmadi yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris DPD IKAL-Lemhannas Kalbar, menekankan bahwa Pegawai Negeri Polri di lingkungan Polda Kalbar adalah garda terdepan dalam menjaga persatuan bangsa.
Didi yang juga Dosen IAIN Pontianak memaparkan kerangka kerja The Amplification Spiral yang menunjukkan bagaimana radikalisme merupakan hasil dari eskalasi ideologis dan psikososial.
“Proses ini, menurutnya, bergerak dalam sebuah spektrum yang diawali dari: Eksklusivitas, yakni keyakinan bahwa Tuhan ada di pihak kita atau ideologi kelompoknya adalah satu-satunya kebenaran,”ujar Didi.
Superioritas, perasaan bahwa keyakinan mereka tidak hanya benar, tetapi juga lebih unggul dari yang lain.
Intoleransi/Diskriminasi, yang termanifestasi dalam tindakan nyata seperti pelarangan hingga penyerangan terhadap kelompok lain.
Ekspansionisme, dorongan untuk memaksakan ideologi kepada orang lain atas dasar perintah ilahi.
Ekstremisme Kekerasan, sebagai puncak dari proses yang berujung pada kekerasan fisik atas nama agama.
Lebih jauh, Didi yang juga Kabid Penelitian dan Pengkajian FKPT Kalbar juga menyoroti bahwa intoleransi tidak lahir dari ruang hampa, melainkan berakar pada masalah sistemik yang kompleks. Ia mengutip data dari survei PPIM UIN Jakarta yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi psikososial dan ekonomi dengan suburnya paham radikal.
“Data menunjukkan 52,29% responden menyatakan kondisi ekonomi mereka parah, 69,80% merasa penerapan hukum tidak adil, dan 62,11% umat Islam merasa dalam kondisi terzalimi. Kondisi deprivasi dan rasa ketidakadilan ini menciptakan lahan subur bagi frustrasi dan perasaan terpinggirkan,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti peran dunia pendidikan dan regulasi. Temuan survei yang menyebut 56,16% guru PNS tidak setuju non-Muslim mendirikan sekolah berbasis agama di lingkungan mereka dianggap sangat mengkhawatirkan. Disisi regulasi, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah disebut sebagai salah satu sumber utama konflik karena persyaratan administratif yang ketat bagi kelompok minoritas.
Sebagai solusi, pemerintah telah menjadikan Moderasi Beragama sebagai kebijakan arus utama yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 dan diperkuat oleh Perpres Nomor 58 Tahun 2023. Kebijakan ini bertumpu pada empat pilar: Komitmen Kebangsaan, Toleransi, Anti-Kekerasan, dan sikap Akomodatif terhadap Budaya.
Menutup paparannya, Didi Darmadi memberikan empat rekomendasi strategis yang terintegrasi: Reformasi Regulasi, dengan meningkatkan status PBM Pendirian Rumah Ibadah menjadi Peraturan Presiden dan menghapus syarat dukungan warga yang diskriminatif.
Pendidikan dan Kontra-Narasi: Mengintegrasikan pendidikan multikultural secara wajib dan mengembangkan literasi digital kritis secara nasional.
Sinergi Multi-Pihak: Mengaktifkan kolaborasi FKUB dengan berbagai kelompok strategis dan membangun sistem peringatan dini berbasis komunitas.
Penegakan Hukum: Menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu dan memberikan perlindungan aktif bagi kelompok minoritas.
“Kita menghadapi ancaman nyata yang merusak persatuan. Kuncinya adalah sinergi, keteladanan, dan konsistensi penegakan hukum untuk membangun Kalimantan Barat yang aman, damai, dan harmonis dalam bingkai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” pungkasnya.