Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Masyarakat Tuntut TPL Ditutup, Kemerdekaan Bukan untuk Kapitalis Tapi untuk Rakyat

Aksi Demo Masyarakat Adat Kawasan Danau Toba, Serukan Tutup PT TPL (Dok. Istimewa).

Jurnalis:

Kabar Baru, Medan — Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat adat di kawasan Danau Toba kembali menyuarakan tuntutan tegas terhadap operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL). Di tengah persiapan perayaan nasional, mereka memilih turun ke lapangan, bukan untuk berpesta, melainkan untuk menyuarakan perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai perampasan ruang hidup.

PT TPL, perusahaan yang bergerak di bidang hutan tanaman industri, kembali disorot karena diduga menjadi penyebab konflik agraria yang berkepanjangan dengan masyarakat adat di wilayah tersebut. Sorotan ini bukan hanya datang dari masyarakat setempat, tetapi juga dari kalangan akademisi dan pegiat lingkungan hidup.

Jasa Pembuatan Buku

Salah satu suara kritis disampaikan oleh akademisi dan aktivis lingkungan, Ruben Cornelius Siagian. Ia menjadi salah satu penulis jurnal ilmiah terbaru berjudul “The Urgency of the Indigenous Peoples Bill: Developing a Legal Framework for the Protection of Environmental Activists in Indonesia” yang terbit di jurnal nasional terakreditasi. Dalam wawancara dengan Kabar Baru, Ruben menyebut bahwa kasus TPL mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya dari dominasi korporasi.

“Ini bukan semata konflik lahan, melainkan krisis konstitusional. Ketika tanah adat yang telah diakui negara masih dikuasai oleh kepentingan modal besar, maka yang dipertaruhkan adalah wibawa negara itu sendiri,” ujar Ruben.

Dalam kajiannya bersama akademisi dari beberapa universitas, termasuk Universitas Warmadewa dan Universitas Islam Indragiri, disebutkan bahwa akar konflik lingkungan di berbagai daerah, termasuk di Danau Toba, terletak pada belum adanya perlindungan hukum yang kuat bagi masyarakat adat dan aktivis lingkungan. Penelitian itu juga merekomendasikan agar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MHA) segera disahkan

TPL disebut sebagai contoh nyata bagaimana negara gagal mencegah konflik struktural akibat tumpang tindih perizinan, lemahnya penegakan hukum, dan kecenderungan keberpihakan pada korporasi. Kajian tersebut juga menyoroti bahwa negara memiliki instrumen hukum yang memadai untuk mencabut izin perusahaan, mulai dari UUD 1945, UU Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, hingga Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang mengakui keberadaan hutan adat.

Namun menurut Ruben, yang kurang bukan hukum, melainkan keberanian politik.

“Kita punya cukup aturan. Yang kita tidak punya adalah keberpihakan yang jelas kepada rakyat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ruben menyampaikan bahwa keberadaan TPL selama lebih dari 30 tahun telah meninggalkan jejak konflik panjang. Puluhan komunitas adat mengaku kehilangan wilayahnya akibat ekspansi perusahaan. Hutan adat yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi lahan monokultur tanaman eukaliptus yang rentan terhadap bencana ekologis.

Laporan dari lapangan juga mengindikasikan adanya intimidasi dan tindakan represif terhadap warga yang menolak keberadaan perusahaan. Bahkan, perempuan dan anak-anak turut menjadi korban dalam proses penggusuran dan kriminalisasi.

Ironisnya, meskipun pemerintah pusat telah menetapkan beberapa wilayah hutan adat sebagai zona yang tidak boleh dimasuki korporasi, TPL dilaporkan masih beroperasi di wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi penegakan hukum dan integritas kebijakan publik.

Seruan untuk menghentikan operasi TPL kini semakin meluas. Dukungan datang dari berbagai pihak, mulai dari lembaga keagamaan, komunitas adat, organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga lembaga negara seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI. Dalam laporan Ombudsman tahun 2023 dan 2024, operasi TPL bahkan diidentifikasi berpotensi menimbulkan maladministrasi dan konflik berkepanjangan.

Ruben mengingatkan bahwa momen peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi waktu refleksi, bukan sekadar seremoni. Ia menegaskan bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat dirasakan apabila rakyat memiliki kedaulatan atas tanah dan lingkungannya.

“Kalau rakyat yang mempertahankan haknya dianggap melanggar hukum, tapi perusahaan yang merusak justru dilindungi, maka jelas bahwa kemerdekaan itu belum merata,” pungkasnya.

Dengan makin kuatnya gelombang penolakan, tuntutan untuk menutup TPL terus disuarakan. Masyarakat adat berharap, kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia menjadi momentum untuk mengembalikan kedaulatan atas tanah dan alam kepada rakyat.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store