Kedudukan Legal Opinion Jaksa Pengacara Negara dalam Penafsiran Hukum

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Opini – Legal opinion (LO/pertimbangan hukum) jaksa pengacara negara (JPN) dapat menjadi alternatif solusi bagi pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan konkrit seperti perbedaan penafsiran atas norma dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Premis diatas bukan tanpa dasar. Sebab, pemberian legal opinion oleh JPN telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-018/A/JA/07/2014 tentang standar operasional prosedur pada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Dalam beleid tersebut disebutkan tugas jaksa pengacara negara untuk memberikan pendapat hukum (legal opinion) dan pendampingan (legal assistance) di bidang perdata dan tata usaha negara atas dasar permintaan dari lembaga negara, instansi pemerintah di pusat dan daerah, BUMN/BUMD yang pelaksanaannya berdasarkan perintah Jamdatun, Kajati atau Kajari.
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, sering dijumpai fakta terjadinya kekeliruan penafsiran hukum oleh pejabat melalui surat edaran. Penafsiran hukum yang dimaksud yaitu perluasan atau pembentukan norma baru yang telah tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu contoh norma mengenai syarat usia untuk jabatan tertentu yang dicantumkan dalam peraturan pemerintah yang dibatalkan oleh surat edaran. Isinya tidak memperluas tetapi membentuk norma baru. Padahal ini bertentangan dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Surat edaran bukan peraturan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kita tahu, norma yang jelas dan terang sejatinya tidak perlu penafsiran lagi. Kecuali terhadap norma yang bersifat umum sehingga perlu dirinci. Ini salah satu kaidah dalam penafsiran hukum.
Prinsipnya penafsiran norma hanya dapat dilakukan oleh pembentuk UU. Jika regulasinya dalam bentuk UU maka yang berwenang DPR dan Presiden. Jika dalam bentuk peraturan pemerintah maka kewenangannya ada pada presiden dan seterusnya hingga kepala daerah dan DPRD.
Tetapi yang perlu diingat, hasil dari penafsiran itu harus dituangkan dalam jenis regulasi yang dikenal dalam UU No.12 Tahun 2011 secara berjenjang ke bawah. UU dijelaskan dengan PP. Jika dalam PP ada norma yang tidak jelas atau ada mandatory bisa dengan perpres atau permen. Demikian seterusnya hingga aturan paling teknis dalam bentuk Perda maupun Perbup/Perwal. Poinnya disini. Jadi tak bisa sembarangan mengeluarkan surat edaran.
Dalam UU Administrasi Pemerintahan memang dikenal istilah diskresi untuk mengatasi kekosongan atau kekaburan hukum. Tetapi diskresi ini sifatnya terbatas. Pertama diskresi tidak boleh membuat norma baru. Kedua, dapat membuat norma baru dengan syarat untuk mengatasi kegentingan atau kedaruratan menyangkut keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex).
Oleh karena itu, kedudukan legal opinion dari jaksa pengacara negara menjadi sangat penting bagi pemerintah daerah. Disamping telah memiliki payung hukum yang jelas, terkadang para pembentuk undang-undang juga sering lamban merespon dinamika kehidupan sosial yang memerlukan pengaturan hukum.
Keperluan atas legal opinion itu juga untuk memastikan kedudukan biroraksi sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan. Bukan sebagai pembentuk ataupun penafsir.
Legal opinion itu akan menyelamatkan birokrasi dari pelampauan kewenangan yang akan berpotensi menimbulkan persoalan hukum dikemudian hari. Sudah saatnya birokrasi dikembalikan pada jalan yang benar. Allahu A’lam.
*Penulis adalah Ahzam Habas, Pemerhati Kebijakan Publik