Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Babak Baru Jabatan Kepala Desa, Akankah Efektif?

Penulis: Moh Kholilur Rahman, Mahasiswa S2 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Editor:

Kabar Baru, Opini- Sebelumnya telinga saya menjadi sedikit gatel dan berdengung-dengung saat mendengar isu perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode. Iya walaupun akhirnya dibantah oleh Presiden Jokowi lewat peryataan sikapnya, bahwa ia enggan menaiki kembali jabatan nomer satu di Indonesia itu, meski sebelumnya masih terkesan membuka kran dan soalah mengamini perpanjangan presiden tersebut.

Nah, uniknya sekarang perpanjangan masa jabatan pemerintah itu tidak berangkat dari pemerintah pusat (Presiden), tapi grassroots (akar rumput), yakni desa. Buktinya kemarin, pada tanggal 17 Januari 2023 ratusan Kepala Desa melakukan aksi demontrasi di depan Gedung DPR RI, dengan tuntutan perpanjangan masa jabatannya yang semula 6 tahun, menjadi 9 tahun dan itu diamini tuntutan tersebut oleh salah satu Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mohammad Toha. Sikap tersebut disampaikan saat ia menemui massa aksi di depan Gedung DPR RI.

Jasa Pembuatan Buku

Tapi, persepsi saya selalu mengantarkan pada antitesis yang cukup negatif. Pasalnya, sebelum aksi demonstrasi itu terjadi, Kemendes PDDT, Abdul Halim Iskandar sempat menggelontorkan pernyataan terhadap DPR RI meminta agar masa jabatan kepala desa jadi 9 tahun, dengan alasan memaksimalkan pembangunan. Apakah ini bagian dari gerakan Kemendes PDDT di akar rumput? Saya pun tidak tahu.

Potensi KKN Dikalangan Kepala Desa

Jika jabatan kepala desa diamini DPR RI menjadi 9 Tahun, berarti ia kalau menjabat tiga periode maka akan memegang tampuk kekuasaan selama 27 Tahun. Sebab potensi kepala desa terpilih tiga periode itu besar, lebih-lebih kekuatan politik kultural di desa sangat kuat. Jadi bukan suatu yang mustahil jika berkuasa dengan rentang waktu sepanjang itu.

Belum lagi potensi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Desa terbilang tinggi. Bayangkan, jika ia dapat bekuasa selama 27 Tahun, ini tak ada bedanya dengan masa Orde Baru (ORBA), bedanya hanya skala pemerintahannya saja, kalau dulu di tatanan pemerintah pusat (Presiden), tapi sekarang dalam skala kecil (kepala desa).

Kalau kita lihat catatan terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurang lebih 601 kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang melibatkan 686 kepala desa, dalam rengtang waktu dari 2012 hingga 2021, dari penggunaan dana desa (baca:Kompas.com). Makanya, ketua KPK Firli Bahuri tahun lalu menargetkan di tahun 2022 agar ada sampel 10 desa antikorupsi di 10 provinsi untuk menjadi barometer mengurangnya kasus korupsi.

Meski demikian, capaian dalam penanganan kasus korupsi dana desa sampai sekarang pun masih belum bisa dikatakan clear, selalu ada kasus-kasus susulan diberbagai daerah, seperti 4 Januari kemarin yang menimpa kepala desa di Kabupaten Bengkulu yang menelan uang dana desa sebanyak 500 juta hanya untuk kepentingan pribadinya. Jadi saya pikir pemerintah juga memerlukan pertimbangan yang matang untuk meniatkan dalam perpanjangan masa jabatan kepala desa.

Agar perpanjangan masa jabatan tersebut tidak dijadikan jembatan untuk melebarkan sayap kepentingan pribadinya (KKN) lewat dana desa, seperti yang telah banyak menimpa diberbagai desa di penjuru Indonesia. Bila yang seperti itu tidak menjadi bagian dari pertimbangan, iya harus siap dengan konsekuensi yang akan diterima rakyat desa, berupa ketidakpastian dan harapan-harapan dalam bayangan soal keberlanjutan pembangunan.

Wajah Demokrasi dan Pemerintahan Desa

Saya masih teringat betul perkataan Emha Ainun Nadjib, lebih akrab dipanggil Cak Nun dalam bukunya “Pemimpin yang Tuhan”, ia mengutarakan bagaimana demokrasi kita mengalami kemerosotan, menurutnya salah satu penyebabnya tatanan demokrasi tak maju-maju karena diakar rumput (Desa) masih tak lepas dari perilaku KKN. Sebab wajah demokrasi kita bisa melihat dari wajah desa, seperti mental dan kebiasaan pemimpin di negeri ini.

Nah, bukan alasan apabila kemudian perpanjangan kepala desa dianggap bagian dari menyelesaikan janji-janji kampanye dan meneruskan progam desa, saya pikir tidak cukup ideal. Pasalnya, tolok ukur kepemimpinan seharusnya dibatasi agar rakyat bisa menilai kinerjanya selama kepala desa menjabat, ia kalau proses kepemimpinannya baik, jika tidak, sembilan tahun itu cukup menyiksa. Dan harapan mencari kepala desa baru terabaikan, karena kelamaan menunggu. Jadi sama halnya juga akan menumpulkan regenerasi selanjutnya untuk membuka kesempatan dalam memimpin desa.

Jadi jangan sampai mindset ambisi kekuasaan itu tertanam sejak memerintah di desa, dengan memberlakukan masa jabatan tersebut. Karena bagaimana pun kebiasaan dan mental demokrasi kita pasti tidak beda jauh dengan pengalaman ditingkat pemerintahan terendah, yakni desa. Jabatan 6 tahun saja ambisi kekuasaan sudah cukup membuat calon kepala desa mabuk (makin gila jabatan), apalagi 9 Tahun. Tentu itu sangat tidak ideal dalam corak kepemimpinannya.

Alih-alih hanya karena alasan soal keberlanjutan pembangunan, justru bagi saya itu bukan opsi yang tepat. Ditambah proyeksi reformasi birokrasi ditingkat desa masih terbilang rendah, serta alokasi dana desa sebagian kurang tepat sasaran. Maka untuk memikirkan perpanjangan masa jabatan, alangkah baiknya persoalan birokrasi harus lebih dulu dipikirkan secara tuntas, agar tidak hanya masa jabatannya yang semakin bertambah, tapi kamajuan desa justru semakin rendah.

 

*) Penulis adalah Moh Kholilur Rahman, Mahasiswa S2 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store