44 Pelajar Karawang Diamankan Saat Hendak Ikut Aksi ke DPR

Jurnalis: Deni Aping
Kabar Baru, Karawang – Sebanyak 44 pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) asal Kabupaten Karawang diamankan aparat Polres Karawang saat hendak berangkat mengikuti aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI, Kamis (28/8).
Para pelajar tersebut dihentikan di kawasan Tanjungpura, Kelurahan Tanjungmekar, sebelum sempat bergabung dengan massa aksi di Jakarta. Mereka diketahui berasal dari sejumlah sekolah di Karawang.
Berdasarkan informasi, rombongan pelajar itu awalnya berjanji berkumpul di daerah Ciranggon, lalu bergerak bersama menuju Tanjungpura sebagai titik pemberangkatan ke Jakarta. Namun, rencana mereka lebih dulu terendus aparat. Polisi kemudian melakukan penyisiran dan menggagalkan keberangkatan tersebut.
“Iya benar, kami mengamankan 44 pelajar dan dibawa ke Mapolres Karawang untuk dimintai keterangan,” ujar Kasat Sabhara Polres Karawang, AKP Wahyu Kurniawan.
Fenomena pelajar yang terlibat dalam aksi protes belakangan ini menimbulkan perhatian serius. Pasalnya, isu yang diangkat bukanlah soal pendidikan, melainkan terkait kesejahteraan anggota DPR serta penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
Gelombang demonstrasi pada 28 Agustus dipicu oleh pernyataan seorang anggota DPR yang menyebut take home pay anggota dewan bisa mencapai Rp100 juta per bulan. Pernyataan itu memicu reaksi keras publik, termasuk di kalangan pelajar yang membandingkannya dengan kondisi ekonomi keluarga mereka.
Namun, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, segera memberikan klarifikasi. Menurutnya, angka Rp100 juta tersebut tidak lagi relevan karena sebelumnya digabung dengan tunjangan perumahan yang kini sudah dihapus.
“Kemarin itu disampaikan salah satu anggota dewan karena digabung dengan tunjangan perumahan. Kalau tunjangan perumahan sudah dihapus, ya tidak sebesar itu lagi,” kata Dasco.
Aksi 28 Agustus sejatinya lebih banyak digerakkan oleh kelompok buruh yang menolak UU Cipta Kerja sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Namun, fakta bahwa pelajar ikut turun ke jalan menandakan adanya keresahan yang lebih luas di masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda.
Pertanyaannya, apakah para pelajar benar-benar memahami substansi isu, atau sekadar ikut-ikutan euforia massa? Jika keterlibatan mereka lebih karena faktor emosional, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memperkuat pendidikan politik dan literasi kritis di sekolah.
Diamankannya 44 pelajar di Karawang bukan sekadar upaya pencegahan aksi, melainkan alarm bagi pemerintah pusat maupun daerah. Setidaknya ada tiga catatan penting yang muncul:
1. Meningkatnya ketidakpercayaan pelajar terhadap elit politik.
2. Kesenjangan kesejahteraan yang membuat isu gaji DPR mudah memicu kemarahan publik.
3. Minimnya ruang ekspresi di sekolah yang mendorong pelajar mencari wadah lain, meski sering dengan cara yang keliru.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin demonstrasi ke depan tidak hanya didominasi buruh dan mahasiswa, tetapi juga pelajar. (Vall)