Status Quo Kepempimpinan Muhamad Mardiono di PPP

Jurnalis: Listiani Safitri
Kabar Baru, Opini – Meski di atas kertas konflik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dinyatakan selesai dengan keluarnya SK Menteri Hukum Nomor M.HH-15.AH.11.02 TAHUN 2025 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Masa Bakti 2025–2030.
SK Menkumham itu menetapkan H. Muhamad Mardiono sebagai Ketua Umum dan Agus Suparmanto sebagai Wakil Ketua Umum. Namun kenyataannya partai berlambang Ka’bah ini masih menyimpan persoalan mendalam.
Relasi PPP dan Penguasa
Sejak awal reformasi hingga hari ini, belum pernah ada partai politik yang secara tegas menempatkan dirinya sebagai partai oposisi.
Padahal sejumlah literatur menyebutkan bahwa demokrasi sulit dipertahankan tanpa oposisi politik signifikan. Demokrasi yang sehat membutuhkan pluralisme politik untuk mencegah penyimpangan kekuasaan.
Keyakinan bahwa kekuasaan absolut cenderung menyimpang, seperti didalilkan Lord Acton “absolute power corrupts absolutely”, masih relevan.
Dalam kasus PPP, terlihat sekali bahwa partai ini memang masih berharap ‘emong’ dari penguasa dan atau para pembantunya.
Bagaimana tidak, di tengah gejolak konflik Muktamar X di ancol antara faksi Mardiono dan Agus Suparmanto yang diwarnai dengan saling lempar kursi serta saling lempar pernyataan kasar oleh elite PPP saat itu.
Misalnya kata Gus Rommy yang menyebut klaim deklarasi Mardiono bukan hasil Muktamar melain “Ngamar”, cukup mewarnai tajamnya konflik di tubuh PPP.
Lalu, berselang beberapa hari, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas meneken SK kepengurusan Mardiono yang menurut sejumlah informasi, pengajuan atau pendaftaran dilakukan kubu Mardiono pada hari Minggu (weekend).
Padahal sebelum SK Menkum terbit, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan pemerintah RI tidak akan mengesahkan pengurus baru Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jika belum ada kesepakatan internal atas konflik yang terjadi.
“Dalam mengesahkan pengurus partai politik, satu-satunya pertimbangan pemerintah adalah pertimbangan hukum. Jika terjadi konflik internal, pemerintah tidak akan mengesahkan susunan pengurus baru,” kata Yusril saat itu.
Bahkan jauh sebelum Muktamar X PPP berlangsung, dua kubu itu saling mendekati elite republik ini yang punya dianggap punya relasi khusus dengan Presiden Prabowo Subianto.
Misalnya menurut informasi yang penulis himpun, kubu Agus Suparmanto meminta restu Presiden lewat Letjen TNI Glenny Kairupan, Wiranto dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Sementara kubu Mardiono meminta bantuan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Ahmad Dasco.
Meskipun afiliasi atau dorongan eksternal terhadap PPP dapat diartikan sebagai strategi agar lolos pada Pemilihan umum (Pemilu) 2029, ini justru menjadi indikator rapuhnya manejemen PPP dalam menangkap fenomena sistem kepartaian di Indonesia.
Bahkan, belakangan muncul isu bahwa PPP ini justru semakin digembosi dengan target kader PPP baik tingkat elit pusat hingga daerah diajak gabung dengan partai parlemen, wabil khusus partai pemenang Pilpres 2024 (Gerindra, red).
Misal salah satu kader PPP di Jember, Sampang mulai “rayu” untuk masuk ke Gerindra serta ada beberapa kader PPP mulai hijrah ke partai PAN.
Mampukah PPP ke Senayan?
Dari apa yang dialami PPP pada Pileg 2024 lalu dan dinamika Muktamar X PPP beberapa waktu lalu, dan partai ini memiliki Wakil Presiden Indonesia ke-9, Hamzah Haz, tentu menjadi bahan evaluasi sekaligus momentum konsolidasi bersar-besaran dan persiapan maksimal dalam meraih kursi di Senayan atau DPR pada Pileg 2029 mendatang.
Dengan demikian, dengan adanya struktur PPP yang baru itu, penting bagi partai warisan Nahdlatul Ulama (NU) ini mulai menyusun strategi kedepan.
Pertama, yang perlu dilakukan PPP yakni penguatan konsolidasi kepemimpinan dan kepengurusan.
Walaupun secara kasat mata pekerjaan ini butuh energi dan pengorbanan seluruh unsur Kepempimpinan PPP mulai dari unsur DPP, DPW, hingga Pimpinan Anak Cabang dan juga Badan Otonom PPP di seluruh Indonesia harus digerakkan.
Kedua, dengan tidak memiliki kursi di Senayan, PPP harus sejak dini melakukan rekrutmen kader dari semua level pemilih serta memperkuat basis Pesantren afiliasi PPP.
Serta memperjelas arah perjuangan partai dengan komitmen pemberantasan korupsi, isu kemanusiaan lainnya.
Yang ketiga, PPP juga harus mendekati tokoh yang memiliki finansial, karena kedepan cost politic semakin mahal. Artinya Pemilu dengan biaya politik yang tinggi itu mustahil bisa dihindarkan oleh para kader partai politik.
*Penulis adalah Kosim Rahman, Kader Muda PPP Jawa Timur.
Insight NTB
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
Indonesia Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







