Ratusan Bangunan Dibongkar, Warga Terkejut Tanpa Kompensasi

Jurnalis: Deni Aping
Kabar Baru, Purwakarta – Pemerintah Kabupaten Purwakarta bersama Perum Jasa Tirta II (PJT II) mulai menertibkan ratusan bangunan liar yang berdiri di sepanjang sepadan Irigasi Suplesi Kamojing, Kelurahan Tegalmunjul, Kecamatan Purwakarta, Rabu (11/6).
Penertiban dilakukan berdasarkan nota kesepahaman antara Pemkab dan PJT II. Sebanyak 417 bangunan di sepanjang saluran irigasi sepanjang 4 kilometer, dari BSG 16 hingga BSK 7, menjadi sasaran. Namun, warga mengaku kaget dengan langkah yang dinilai mendadak dan tanpa solusi pengganti.
“Saya tinggal di sini sejak 2007, bahkan punya sertifikat. Sekarang disebut tanah negara, tapi tidak ada ganti rugi. Saya bingung mau pindah ke mana,” ujar Iis (54), salah satu warga terdampak.
Warga: Tidak ada solusi yang dihadirkan

Iis menambahkan, ia dan sejumlah warga sempat menghadiri audiensi di DPRD Purwakarta sehari sebelumnya, namun tidak dihadiri Bupati maupun Sekda. “Kami belum tahu harus bagaimana. Anak saya masih sekolah,” ujarnya.
Warga lain, Nonoh, menyatakan dirinya menyewa lahan dari PJT II selama 13 tahun, membayar Rp500 ribu per tahun. “Pembongkaran ini mendadak. Kami manusia, bukan hewan. Tanpa persiapan, kami harus pindah ke mana?” katanya.
Pemkab: Lahan negara tidak bisa diklaim
Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein (Om Zein) menegaskan, penertiban ini bagian dari upaya mengembalikan fungsi kawasan sungai dan irigasi.
“Purwakarta punya kekayaan alam. Kita ingin kembalikan ke fungsi semula. Bangunan liar di pinggir sungai akan ditertibkan,” ujarnya.
Menurutnya, bangunan di atas tanah negara tidak berhak mendapat kompensasi. “Tidak ada istilah ganti rugi. Negara hanya mengambil kembali haknya,” tegasnya. Ia mengklaim Pemkab telah dua kali mengirimkan surat pemberitahuan kepada warga.
PJT II: Tidak ada hak kepemilikan
Manajer Operasi dan Pemeliharaan Wilayah II PJT II, Sugeng Riyanto, menegaskan lahan tersebut merupakan aset negara yang dikelola PJT II. “Mereka tidak memiliki hak atas lahan. Jadi, tak ada kompensasi,” ujarnya.
Sugeng menjelaskan, sebagian warga memang membayar melalui Surat Perjanjian Pengamanan Lahan (SPPL), namun itu bukan bukti kepemilikan. “SPPL hanya untuk pemanfaatan, bukan hak milik. Nilainya sekitar Rp500 ribu per tahun, tergantung luas dan fungsi bangunan.”
PJT II juga telah berkoordinasi dengan BPN Purwakarta terkait bangunan permanen yang memiliki sertifikat.
Catatan Redaksi
Penertiban aset negara memang perlu, namun seyogianya dibarengi pendekatan sosial yang lebih bijak. Warga yang telah puluhan tahun bermukim dan berkontribusi pada kehidupan lokal patut mendapat perhatian dan solusi transisi yang lebih manusiawi.