PB HMI Soroti Krisis Agraria di Lampung, Desak Audit Menyeluruh

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Jakarta – Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menyoroti eskalasi konflik agraria di Provinsi Lampung yang dinilai belum mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Kritik ini mengemuka menyusul keputusan Komisi II DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 15–16 Juli 2025, yang hanya menginstruksikan pengukuran ulang lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Sinar Graha Cipta (SGC).
Padahal, persoalan ketimpangan data lahan dan konflik agraria di Lampung jauh lebih kompleks.
Fungsionaris PB HMI, Ramanda Ansori, menilai langkah DPR terkesan parsial.
“Kebijakan ini justru menutup ruang penyelesaian konflik agraria lain yang sedang memuncak,” tegas Ramanda dalam keterangannya, Selasa (22/7).
Ia merujuk pada sejumlah kasus yang belum tertangani, melibatkan korporasi seperti PT Bumi Waras, PT BNIL, PT AKG, PTPN I Regional 7, hingga grup besar seperti Sinarmas, Gajah Tunggal, Wilmar, dan Great Giant Pineapple (GGP).
Selain itu, pihaknya juga memaparkan sejumlah kasus yang memerlukan audit mendesak:
1. PTPN I Regional 7 Unit Way Berulu: Selisih 178 hektare antara data HGU dan verifikasi lapangan.
2. PT Bumi Madu Mandiri (BMM): Diduga menguasai 4.600 hektare lahan eks-PTPN di Way Kanan tanpa dasar hukum jelas.
3. Kawasan Register 42, 44, dan 46: Konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat akibat ketidakjelasan batas dan status hukum.
4. PT Jalaku: Sengketa lahan dengan warga dan TNI AL di Lampung Utara.
“Beberapa kawasan Register seperti Register 42 di Way Kanan yang dikelola PT Inhutani V dan mitranya PT Paramitra Mulia Langgeng, serta Register 44 dan 46 yang terlibat dengan PT Budi Lampung Sejahtera dan PT Pemuka Sakti Manis Indah (PSMI), turut menjadi perhatian,” tambahnya.
Lebih jauh, Ramanda menegaskan, sistem pertanahan nasional masih rentan penyimpangan struktural. Untuk itu, pihaknya mendesak:
– Pengukuran ulang menyeluruh atas seluruh lahan HGU korporasi besar.
– Transparansi data HGU, meliputi pemegang hak, batas wilayah, masa berlaku, dan kontribusi ekonomi.
– Audit sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat.
– Peran aktif pemerintah daerah dalam menata agraria secara adil.
“Pemerintah harus berani membongkar ketimpangan struktural ini. Masyarakat kecil jangan terus menjadi korban,” pungkasnya.