Pasal 282 RKUHP Tentang Kecurangan Advokat Resmi Ditiadakan
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI– Pasal 282 dalam draf RKUHP yang mengatur tentang kriminalitas perbuatan curang oleh advokat yang berbunyi, “Advokat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (Rp.500.000.000), apabila menjalankan pekerjaannya secara curang….” sebelumnya telah disosialisasikan pada bulan September lalu. Ini menjadi trobosan baru dalam hukum pidana positif di Indonesia. Karena belum diatur, baik di dalam UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana maupun dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang advokat.
Namun rumusan ini tidaklah dapat diterima di kalangan masyarakat tertentu. Terutama kelompok advokat itu sendiri. Mereka berpendapat rumusan pasal ini tidaklah adil karena tidak bersifat universal, tidak memenuhi asas kepastian hukum dan bersifat multitafsir. Pasal ini hanya merujuk dan mengarah kepada satu kelompok tertentu saja yaitu para advokat. Ini pun berpotensi melanggar pasal 5 dan 6 UU No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut mereka, aturan pasal ini menjatuhkan kredibilitas advokat sebagai profesi terhormat yang melakukan pekerjaan dengan cara yang sah dan tanpa adanya unsur melawan hukum sesuai dengan sumpah advokat yang diatur pada pasal 5 dan 6 undang-undang tentang advokat.
Organisasi-organisasi yang keberatan dan menuntut pencabutan rumusan pasal ini diantaranya; Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Ketua umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Otto Hasibuan menegaskan “Bahwa lebih lanjut, pasal ini terkesan diskriminatif, prejudice, dan tendensius. Karena ditunjukkan hanya kepada advokat saja”
Wakil ketua MPR, Arsul Sani juga berpendapat bahwa pencabutan rumusan pasal 282 dalam RKUHP dinilai tepat. Karena rumusan tersebut seharusnya tidak hanya merujuk kepada advokat saja tetapi juga harus diberlakukan rumusan untuk semua aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa maupun hakim. Karena semuanya adalah perangkat dari para penegak hukum. Ini adalah upaya menghindari terjadinya diskriminasi profesi.
Pada tanggal 16 November lalu pemerintah resmi mencabut rumusan pasal 282 dari draf RKUHP. Prof. Edwar Omar Sharif sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengatakan, “Dari hasil pembicaraan kita dengan tim perumus RKUHP, kita sudah mencabut pasal mengenai advokat curang dari RKUHP”, ujarnya saat menjadi kunci pembicara disebuah acara di Jakarta. Ini adalah hasil keputusan setelah pemerintah berbicara dengan tim perumus RKUHP, walaupun sebelumnya sempat terjadi perdebatan. Namun, beliau menambahkan perlu adanya pengaturan tentang kecurangan advokat maupun aparat penegak hukum. Tetapi, dalam ranah dan tempat yang sesuai, yang lebih tepat diatur di dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang advokat itu sendiri.
Ketua umum DPN PERADI-SAI menyambut baik keputusan pencabutan pasal kecurangan advokat dari RKUHP. Baginya ini adalah kabar gembira dan angin segar bagi para advokat karena terbebas dari kekangan menjalankan profesi. Sebelumnya PERADI-SAI sangat aktif mensosialisasikan bahayanya rumusan pasal ini bagi advokat, dan keputusan ini adalah keputusan yang sangat tepat. “Dengan dihapuskannya Pasal 282, advokat tidak lagi tersandera, dan/ gampang di kriminalisasi dalam menjalankan profesinya. Sekali lagi ini adalah sikap yang bijaksana dari pemerintah, menerima masukan-masukan kajian dari PERADI-SAI” katanya.
Seperti yang kita tahu, bahwa kecurangan dan kejahatan lainnya bisa terjadi dalam keprofesian manapun. Pencegahan memanglah perlu, tapi kita harus melihat bahwa unsur keadilan itu penting. Bagaimana mungkin satu profesi terkekang menjalankan keprofesiannya sedangkan kecurangan bisa saja datang dari bidang profesi lain yang ruang lingkupnya masih sama, yaitu aparat penegak hukum. Kita berharap, walaupun rumusan pasal ini dicabut para penegak hukum tetap profesional dalam menjalankan profesi di bidangnya masing-masing, sesuai kode etik dan peraturan yang berlaku.
- Penulis adalah Dhiya Octa Vianes,
Mahasiswi Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta - Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co