Pantasnya, “Al-Falah In Campus” Itu Diganti “Al-Falah In Ciputat” Saja
Jurnalis: Wafil M
KABARBARU, OPINI– Betul. Saya tak lagi bercanda ketika menulis judul tulisan ini. Saya resah dengan kondisi Al-Falah In Campus (AF-IC) hari ini. ‘Kok bisa-bisanya setiap chat dan postingan yang muncul di grup, hanya didominasi kader Ciputat SAJA?! Di mana kader wilayah lain? Keranjingan main medsos?!
Dalam setiap kegiatan juga sama kasusnya. Mulai dari kegiatan tahunan, bulanan, rutinan, atau bahkan kegiatan dadakan yang dilaksanakan di luar atau di dalam pondok pun, muka-muka kader Ciputat yang juga menjadi inisiator cum eksekutornya.
Bukan karena muak dengan muka-muka mereka. Tak ada yang salah dengan alumni yang ingin mengabdi terhadap tempat atau lembaga di mana mereka menimba ilmu dahulu. Tetapi suatu organisasi perjuangan, yang diikat oleh kesamaan lembaga dan dibentuk atas dasar keinginan untuk tetap menjalin hubungan dengan lembaga tersebut (sebagaimana dicantumkan dalam teks AD/ART oleh para founder), ‘kok rasanya aneh jika hanya didominasi oleh kader salah satu wilayah saja.
Kita tahu sama tahu bahwa kader Al-Falah yang saat ini duduk dalam bangku perkuliahan, jumlahnya seabrek. Mereka “berdiaspora” pada berbagai wilayah di Indonesia, bahkan di luar negeri pun juga ada. Tetapi mengapa wajah yang muncul ketika ada kegiatan AF-IC, baik yang berhubungan dengan pondok atau tidak, hanya itu-itu saja? Ciputat lagi, Ciputat lagi. Apa yang lain sudah merasa gagah sehingga tak perlu lagi peduli dengan lembaga?!
Inilah yang menjadi dasar dari usul saya, mengapa “Al-Falah In Campus” sebaiknya diganti “Al-Falah In Ciputat” saja. Sebab gairah kader di wilayah lain sudah redup, bahkan ada yang mati. Tak ada rasa keterikatan dengan lembaga; tak ada rasa ikatan sesama alumni; tak ada yang peduli dengan eksistensi AF-IC. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Toh, perubahan ini tak perlu mengubah akronim.
Kita harusnya miris melihat grup WhatsApp AF-IC (sebagai representasi eksistensi AF-IC kini), hanya ramai ketika ada kontestasi politik. Seakan tak ada urusan yang lebih penting dari sekadar politik. Seakan tak ada obrolan lain semisal, bagaimana membangun literasi Al-Falah yang hingga kini masih mandek. Masih begitu-begitu saja. Tak ada perkembangan.
Kader AF-IC yang masih terikat dengan pondok (artinya masih kuliah-pulang dari pondok) pun, terlihat melempem. Ketika ada kegiatan AF-IC yang dilaksanakan di pondok, mereka acuh. Melenggang saja seperti tak punya dosa. Mereka nampak tak merasa bahwa dirinya adalah bagian dari AF-IC juga.
Kondisi kader yang tempat kuliahnya berada di Madura, tak jauh berbeda dengan kader yang masih terikat dengan pondok atau lembaga. Padahal, merekalah yang seharusnya menjadi bagian dari AF-IC yang paling gencar dalam menginisiasi kegiatan di lembaga. Alasannya sederhana. Sebab merekalah yang paling dekat dengan lembaga, sehingga memiliki akses yang lebih mudah dan cepat.
Namun, situasinya memang masih jauh panggang dari api. Jangankan ikut terlibat dalam kegiatan atau agenda AF-IC, tahu siapa ketua umum AF-IC periode sekarang saja, saya tak yakin.
Tentu saja, ada satu-dua kader yang masih memperlihatkan kepedulian. Tetapi percayalah, jumlahnya bisa dihitung hanya dengan jari tangan. Tanpa mengikutsertakan jari kaki.
Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa kita harapkan dari AF-IC? Bukankah organisasi ini nampak hanya menjadi sebuah komunitas yang dihuni oleh alumni Al-Falah saja. Titik. Tak ada manfaat. Tak ada progresifitas. Persisnya, tidak ada apa-apanya.
Kadang, sebagai mahasiswa yang sering berinteraksi dengan mahasiswa alumni lembaga lain semisal Darul Ulum Banyuanyar, Mambaul Ulum Bata-Bata, atau Annuqayyah Guluk-Guluk, perasaan minder suka muncul. Organisasi alumni pondok mereka aktif. Kader di setiap wilayahnya memiliki gairah yang sama. Kegiatannya subur. Keterkaitan dengan sesama kader dan lembaga juga terjalin intim.
Sebagai bahan komparasi, pernah sekali saya ikut kawan dalam kegiatan pemilihan ketua umum nasional dari organisasi alumni pondok pesantren Darul Ulum, Banyuanyar. Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB), namanya. Seru betul. Suksesi kepemimpinannya meriah. Seluruh kader dari seluruh penjuru daerah datang guna memeriahkan acara tersebut. Waktu itu, tempatnya di Yogyakarta. Ketika saya bertanya mengenai agenda dari masing-masing koordinator wilayah, mereka menjawab dengan tegas beberapa kegiatan yang sudah, dan yang akan mereka kerjakan.
Keren. Bagaimana saya tidak iri melihat peristiwa begitu. Sementara organisasi alumni pondok di mana saya berteduh, masih astaghfirullah. Menurut saya masalah ini tak bisa dibilang wajar, mengingat umur AF-IC yang sudah tak lagi seumur jagung. Tahun ini, AF-IC sudah menginjak usianya yang ke sebelas. Bagaimana masih bisa dikatakan “organisasi bocah”?!
Namun lamunan sejenis ini harus segera musnah. Saya ingat orang bijak pernah berkata, “Tak baik membanding-bandingan nasib.” Jadi, mari terima saja kesialan ini, dan karenanya tulisan ini saya sudahi. Pesan terakhir: kiranya ketua umum AF-IC sudi membaca tulisan ini dan segera mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) guna merevisi nama “Al-Falah In Campus” menjadi “Al-Falah In Ciputat”. Begitu.
- Penulis adalah Ach. Jufri, dia merupakan kader AF-IC Wilayah Pamekasan.
- Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co