Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

P2G Minta Presiden Membuat Perpres Standar Upah Minimum Guru Non ASN

Ilustrasi Merdeka Belajar. (Foto: Dokumen/Lintasjatim.com).

:

KABARBARU, JAKARTA – Dalam rangka Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2021, Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sebagai salah satu organisasi guru melakukan kajian evaluasi sekaligus rekomendasi kepada pemerintah mengenai guru.

Ada enam (6) evaluasi dan masukan P2G agar tata kelola guru Indonesia makin baik dan berkeadilan.

Jasa Backlink

Pertama, P2G mendesak Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai standar upah minimum nasional bagi guru Non ASN.

“Urgensi Perpres ini untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan guru bukan ASN yaitu guru honorer termasuk guru sekolah/madrasah swasta. Meskipun sudah ada guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagian dari ASN, namun belum mengakomodir keberadaan guru honorer yang hampir 1,5 juta orang,” ujar Satriwan Salim.

“Seleksi guru PPPK baru menampung 173 ribu guru honorer dari formasi yang dibuka 506 ribu secara nasional,” ungkap Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.

Satriwan menjelaskan, fakta di lapangan upah guru honorer dan guru sekolah/madrasah swasta menengah ke bawah sangat rendah, jauh di bawah UMP/UMK Buruh.

Berdasarkan laporan jaringan P2G di daerah contoh: UMK Buruh di Kab Karawang 4,7 juta, namun upah guru honorer SD Negeri di sana hanya 1,2 juta.

UMP/UMK Sumatera Barat 2,4 juta/bulan, upah guru honorer jenjang SD negeri di Kab. 50 Kota dan Kab. Tanah Datar, 500-800 ribu/bulan. Di Kab. Aceh Timur 500 ribu/bulan bahkan ada yang 400 ribu.

Di Kab. Ende, guru honorer di SMK negeri 700-800 ribu/bulan. Di Kab. Blitar 400 ribu untuk honorer baru, yang sudah lama 900 ribu, tergantung lama mengabdi.

Jadi rata-rata upah di bawah 1 juta/bulan, bahkan tak sampai 500 ribu. Sudahlah kecil, upah pun diberikan rapelan mengikuti keluarnya BOS.

Padahal mereka butuh makan dan pemenuhan kebutuhan pokok setiap hari. Upah bergantung kebijakan kepala sekolah dan jumlah murid atau rombongan belajar.

Nasib miris guru honorer dan guru sekolah/madrasah swasta pinggiran karena upahnya kalah jauh dari buruh, mana ada UMK buruh sebesar 400 ribu?, Sedangkan bagi guru honorer banyak sekali.

Pemerintah bisa melahirkan standar upah minimum bagi buruh sedangkan bagi guru tidak.

“Jika upah guru honorer dibiarkan begitu saja, ditentukan besarannya oleh kepala sekolah dan pemda dengan nominal semaunya, jelas melanggar UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 ayat 1 (a) berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial,” tegasnya.

Dalam dokumen “Status Guru” dari UNESCO dan ILO disebutkan juga hak guru mendapatkan jaminan sosial.

Seperti tertulis berikut: (Pasal 126) “Semua guru tidak peduli sekolah apapun jenisnya, mereka harus menikmati perlindungan berupa jaminan sosial yang sama.” Lalu Pasal 127 (i): “Guru harus dilindungi oleh tindakan perlindungan jaminan sosial, mengingat diperinci dalam standar minimum konvensi jaminan sosial organisasi buruh internasional. Berupa jaminan pengobatan, tunjangan sakit, tunjangan hari tua, tunjangan kecelakaan dalam pekerjaan, tunjangan keluarga, tunjangan melahirkan, tunjangan cacat, dan tunjangan ahli waris.”

“Regulasi upah layak bagi guru penting demi penghormatan profesi sehingga profesi guru punya harkat dan martabat di samping profesi lain. Juga mendorong anak-anak bangsa yang unggul dan berprestasi mau dan berminat menjadi guru,” ujarnya.

“Kenyataannya profesi guru tak dihargai, tak bermartabat, karena upahnya tidak manusiawi. Upah guru honorer selama ini sudah melanggar UU Guru dan Dosen serta aturan UNESCO dan ILO. Guru honorer minim apresiasi dan proteksi dari negara. Jadi itulah alasan urgensi dibuatnya Perpres,” lanjut Satriwan.

Kedua, perbaikan seleksi Guru PPPK. Mendikbudristek dan Menpan RB bersama pemda mestinya berkoordinasi, sinergisitas dibutuhkan agar mendorong pemda menambah jumlah formasi guru PPPK.

Sedapat mungkin disesuaikan angka kebutuhan riil di daerah, agar dapat mengakomodir semua guru honorer.

“Sebagai evaluasi, P2G menilai Mendikbudristek gagal meyakinkan pemda mengusulkan formasi guru PPPK secara maksimal. Pemda ternyata hanya mengajukan 506.252 formasi pada 2021, itu pun yang lulus 173.329 guru saja. Padahal janji Mas Nadiem menyediakan 1.002.616 formasi. Capaian masih jauh dari target,” terang Satriwan.

P2G meminta pemerintah pusat merekalkulasi dan membuat road map guru honorer lulus PPPK.

Bagaimana penempatan dan lama kontrak berdasarkan SK pemda, termasuk jenjang pembinaan dan pengembangan karir.

“Sebab keberadaan guru PPPK berpotensi menggeser keberadaan guru honorer lain yang ada di sekolah tersebut. Guru honorer lain bisa terbuang, tentu menjadi masalah baru,” terangnya.

“Termasuk seleksi guru PPPK tahap II dan III, yang dibuka bagi guru swasta dan umum. Diperlukan regulasi khusus mengatur, apakah guru swasta lolos PPPK akan ditempatkan di sekolah swasta atau negeri?, karena keduanya punya konsekuensi. Mengajar di sekolah swasta akan berdampak terhadap penghasilan ganda, dari negara sebagai ASN sekaligus dari yayasan swasta. Tentu menimbulkan kecemburuan sosial bagi guru swasta non PPPK maupun guru PPPK sekolah negeri,” lanjutnya.

Sebaliknya, jika guru PPPK dari sekolah swasta mengajar di sekolah negeri, keberadaan mereka akan menggeser guru honorer lain yang tak lulus PPPK.

Menjadi ketidakadilan baru bagi guru honorer lain. Ada potensi besar terjadinya konflik horizontal sesama guru di masyarakat.

Satriwan mengungkapkan, “seleksi PPPK tahap II dan III mendorong guru sekolah swasta kelas pinggiran, menjadi ASN PPPK. Jika motivasi menjadi PPPK makin besar, patut dikhawatirkan migrasi besar-besaran guru swasta,” ungkapnya.

“Kemdikbudristek, Kemenag, dan pemda perlu melakukan pemetaan secara komprehensif sebagai langkah antisipatif, dampak kekurangan guru sekolah swasta nanti. Inilah alasan mendesak dibuatnya regulasi khusus Pengelolaan Guru PPPK,” tuturnya.

P2G sangat menyesalkan 10 pemerintah daerah yang tidak membuka seleksi guru PPPK tahapan II. Bukti kegagalan Mendikbudristek meyakinkan pemda yang berakibat fatal. Pemda tersebut adalah: Jawa Timur, Surabaya, Kuningan, Cilacap, Rembang, Tebing Tinggi, Deli Serdang, Nias Utara, Bandung, dan Tasikmalaya.

“Minimnya daerah mengajukan formasi jelas mengecewakan guru honorer, akan memperkecil peluang menjadi PPPK, dan mematikan ikhtiar mereka memperbaiki nasib. Lagi-lagi guru honorer menjadi korban buruknya pengelolaan rekrutmen guru oleh pemerintah,” ujar Satriwan kecewa.

Ketiga, P2G mendorong Kemdikbudristek dan Kemenag membuat disain Sistem Tata Kelola Guru.

Disain Sistem Tata Kelola Guru berisi formulasi mengenai: 1) pola rekrutmen guru dan calon guru mulai di LPTK, pemda, dan sekolah; 2) peningkatan kompetensi; 3) distribusi; 4) perlindungan; 5) kesejahteraan; dan 6) pembinaan dan pengembangan karir guru.

Disampaikan Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G, pembinaan dan pengembangan karir guru selama ini tidak mengacu pada sistem meritokrasi, termasuk sekolah swasta yang pengelolaannya dilakukan tanpa dasar regulasi kepada yayasan.

Banyak guru sekolah sampai jenjang S2 bahkan S3, tapi tidak berdampak bagi karir mereka, tidak ada reward. Begitu juga tidak ada mekanisme peningkatan karir guru ASN dan swasta apalagi honorer yang berjenjang seperti dosen.

Karena minim penghargaan dan tertutupnya jenjang karir, para guru ASN memilih menempuh jalur birokrasi struktural di Pemda/Dinas Pendidikan mengisi jabatan struktural, seperti Kepala Seksi atau Kepala Bidang, padahal guru adalah jabatan fungsional.

“Lebih sedih lagi guru honorer tak punya kesempatan meningkatkan kompetensi dan mengembangkan karir. Guru swasta juga tidak memiliki jenjang karir yang signifikan. Contoh, ketika guru tetap yayasan sudah lama mengajar berhenti, lalu pindah ke sekolah swasta lain, mereka harus memulai status dan karir dari nol kembali, tidak menyesuaikan golongan/pangkat di sekolah sebelumnya, padahal mereka sudah punya portofolio dan pengalaman mengabdi,” papar Iman.

Menurut Iman, pola rekrutmen guru swasta yang sangat diskriminatif seperti itu lazim terjadi di sekolah swasta/madrasah seluruh Indonesia. Bukti negara gagal membangun pola pembinaan jenjang karir guru. Wajar saja guru ASN berprestasi memilih menyeberang menjadi birokrat struktural, tidak jadi guru lagi.

“Sebagai solusi P2G meminta pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sebaiknya pengaturan dan tata kelola guru dan dosen dipisah dalam UU berbeda. Sebab kebutuhan, rekrutmen, pembinaan karir, dan kondisi riilnya berbeda,” kata guru SMA ini.

Iman melanjutkan, pengelolaan guru membutuhkan sistem yang baru: Blue print atau grand design, agar guru mampu makin dijamin kesejahteraan, peningkatan kompetensi, pembinaan dan pengembangan karir, perlindungan, dan pola rekrutmen yang tertata.

Keempat, Pelatihan guru yang tak efektif berakibat learning loss.

P2G mengapresiasi semangat para guru mengikuti pelatihan online selama pandemi. Tujuan mulia guru agar Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berkualitas, efektif, dan bermakna bagi siswa.

“Tapi kenyataannya inflasi pelatihan guru belum berdampak signifikan terhadap kualitas PJJ, alhasil PJJ tidak efektif. Pelatihan guru selama pandemi hanya memindahkan pola mengajar offline yang di digitalisasi kan. Gaya dan metode pembelajaran sebelum pandemi tak berbeda dengan PJJ,” tegas Iman.

Iman menyesalkan, bukannya mengevaluasi PJJ dan merevitalisasi PJJ agar efektif, Kemendikbudristek malah mendorong Pembelajaran Tatap Muka (PTM) segera dilaksanakan dengan terburu-buru, meski kondisi pandemi belum pulih. Akibatnya banyak daerah sekolahnya menjadi klaster covid.

P2G mencatat sejak PTM terbatas dimulai 30 Agustus 2021 sampai akhir November ini, ada 21 daerah yang menghentikan PTM karena siswa dan guru positif covid-19 yaitu: Purbalingga, Jepara, Padang Panjang, Kab Mamasa, Kota Bekasi, Tabanan, Depok, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Jakarta, Grobogan, Pati, Salatiga, Gunung Kidul, Majalengka, Solo, Kota Bandung, Semarang, Bogor, Tasikmalaya, dan Indramayu.

“Artinya kita tidak punya waktu mengoptimalkan PJJ secara benar dan efektif. Sehingga yang terjadi siswa makin bosan dan mengasumsikan bahwa jawaban kegagalan PJJ adalah PTM. Padahal sistem PJJ yang sesungguhnya tidak pernah tercapai,” papar guru honorer ini.

Berdasarkan kondisi tersebut, P2G mendorong Kemendikbudristek dan Kemenag membuat formulasi atau grand design PJJ.

Ini penting karena dibutuhkan masa depan. Sebagai langkah antisipatif, jika Indonesia kembali menghadapi bencana alam atau katastrofe tahun-tahun mendatang yang tak bisa diprediksi.

“Grand design sistem pengelolaan pendidikan masa bencana penting disiapkan. Sehingga pemerintah sudah siap menghadapi ancaman katastrofe yang berpotensi mengganggu sistem pendidikan nasional dan kualitas sumber daya manusia,” pungkas Iman.

Tak seperti sekarang, karena belum memiliki formulasi tepat, sistem pendidikan merespon perubahan secara lambat dan langkah penanggulangan pun parsial dalam menghadapi dampak buruk pandemi terhadap pendidikan, sehingga melahirkan learning loss.

Kelima, pentingnya upaya upgrade kompetensi guru setelah mendapatkan sertifikat pendidik guru.

Selama ini kepemilikan Sertifikat Pendidik guru seolah-olah menjadi puncak prestasi guru.

Sedangkan upaya untuk meningkatkan kompetensi guru terbatas pada seminar, pelatihan, kompetisi dan lomba-lomba insidental. Bukan strategi yang komprehensif dan sistematis.

Sekretaris Nasional P2G, Afdhal mengutarakan bahwa guru yang mendapatkan Sertifikat Pendidik tidak menjamin punya kompetensi yang diharapkan. Terbukti nilai rata-rata Uji Kompetensi Guru (UKG) selalu rendah di bawah standar minimum. Pola Pendidikan Profesi Guru (PPG) juga tidak signifikan meningkatkan kompetensi.

“Hasil survei Bank Dunia 2020 tentang pengetahuan guru di bidang bahasa Indonesia (literasi), matematika, dan pedagogi hasilnya di bawah standar minimum. Dua aspek pertama hasilnya rendah, sedangkan aspek terakhir nilainya sangat rendah. Data memilukan dan mengkhawatirkan,” cetus Afdhal.

Hasil riset SMERU (2021) menunjukan bahwa guru PPG Prajabatan tidak jauh berbeda kualitasnya dengan guru non PPG, ditinjau dari aspek capaian hasil belajar siswa yang ternyata relatif sama. Hal ini menjadi bukti masalah tata kelola kompetensi dan pembinaan karir guru.

“Kampus LPTK sebagai penyelenggara PPG mesti dievaluasi secara holistik. Sebagai otokritik, belum ada inovasi pendidikan dan keguruan yang lahir dari sini. Sehingga penyelenggaraan PPG masih business as usual with more money, rendahnya kompetensi guru Indonesia tak lepas dari pengelolaan LPTK yang begitu-begitu saja selama ini,” beber Afdhal yang juga alumni LPTK.

Mendesak juga adalah Kemendikbudristek, Pemda, dan LPTK hendaknya membangun pemahaman guru mengenai hak-hak anak, sebagai antisipasi pencegahan potensi kekerasan termasuk kekerasan seksual di sekolah.

Baru-baru ini kita saksikan banyak peristiwa kekerasan kepada siswa di sekolah yang dilakukan guru dengan siswa sebagai korban, seperti kasus di Alor dan Bau-Bau.

“Guru mesti dibekali pemahaman utuh mengenai hak-hak anak dalam UU Perlindungan Anak. LPTK harus segera memasukkan konten Hak Anak dan Strategi Pencegahan-Penanggulangan Kekerasan di Sekolah dalam kurikulumnya, agar guru dan calon guru sudah dibekali pemahaman dan keterampilan sedari awal,” pinta Afdhal.

Meskipun sudah ada Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, tapi aturan ini masih menjadi macan kertas sebab mayoritas guru dan kepala sekolah termasuk dinas pendidikan tidak memahami bahkan tidak melaksanakan regulasi tersebut di sekolah.

Sebagai upaya agar kekerasan tidak lagi terjadi, sekolah mestinya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa bukan sebaliknya.

Keenam, P2G mengapresiasi slogan Merdeka Belajar yang menjadi spirit Kemdikbudristek mengelola pendidikan dan guru tanah air.

“Bagi P2G, spirit Merdeka Belajar bagi guru jangan hanya slogan atau aksesoris program yang diberikan saat pelatihan saja. Merdeka Belajar mensyaratkan Guru yang Merdeka. Merdeka atas kesejahteraan, perlindungan, dan pola pikir atau mindset gurunya,” lanjut Afdhal.

Menurut guru sosiologi ini, Merdeka Belajar menghasilkan Program Guru Penggerak (PGP). Kenyataannya PGP diskriminatif, sebab pelatihan metode daring sembilan bulan, tidak mengakomodasi guru daerah terluar, terdepan, dan tertinggal.

Basisnya tes selektif, tak semua guru dapat menjadi guru penggerak (GP). Label GP saja sudah bias, apalagi aturan Kemendikbudristek menyebut GP menjadi syarat wajib calon kepala sekolah.

“Keluhan para guru yang menjadi fasilitator, pendamping, dan asesor PGP yang P2G terima adalah mereka tidak bisa jadi kepala sekolah dan pengawas. Padahal mereka guru-guru berprestasi dan lulus seleksi. Kan Kemdikbud juga menetapkan mereka sebagai pendamping dan asesor PGP. Kebijakan PGP yang diskriminatif mematikan motivasi sekaligus menutup peluang guru berkualitas meningkatkan jenjang karirnya,” cetus Afdhal.

P2G meminta Kemendikbudristek mengubah aturan tersebut, agar lebih berkeadilan dan terasa inklusif bagi guru-guru bukan Guru Penggerak.

“Sebagai otokritik kepada guru, sejauh ini Merdeka Belajar baru sebatas slogan guru ketika webinar atau pelatihan. Namun mindset guru untuk bertumbuh, berkembang meningkatkan kompetensi masih rendah,” kata alumni UI ini.

Afdhal menegaskan, murid yang merdeka dan kemerdekaan belajar dapat tercapai apabila gurunya merdeka.

Merdeka mengelola kelas, kurikulum, dan pembelajaran yang otentik. Peran organisasi profesi guru harus dioptimalkan dan didengar aspirasinya.

Jangan hanya dimanfaatkan sebagai corong sosialisasi program kebijakan dari pemerintah.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store