Mereka yang Berada di Garda Depan Pariwisata Pulau Samosir Indonesia

Jurnalis: Nurhaliza Ramadhani
Kabar Baru, Sumut – Mereka yang Berada di Garda Depan Pariwisata Pulau Samosir
Jika Pulau Samosir diibaratkan sebagai sebuah buku cerita yang menggambarkan pesona bak tanah surga, maka siapakah para penutur kisah hamparan tanah indah ini?
Tentunya para penduduk lokal Pulau Samosir itu sendiri. Dengan caranya masing-masing, para pelaku pariwisata ini menyampaikan kisah-kisah indah, memperkenalkan ciri khas budaya, memberikan pengalaman tak terlupakan bagi para wisatawan.
Tradisi yang juga diteruskan kepada anak cucu agar mata rantai ini tak terputus.
Merekalah yang membubuhkan tambahan warna dan aroma sehingga kita dapat menikmati penuh pesona alam dan sejarah Pulau Samosir. Penasaran? Yuk kita berkenalan dengan beberapa pejuang pariwisata ini.
1) Noel Sidabutar dari Desa Wisata
Pak Noel Sidabutar adalah salah satu keturunan Raja Sidabutar yang berprofesi sebagai pemandu wisata di bagian tempat pemakaman para Raja Sidabutar.
Beliau dapat menyampaikan lengkap mulai dari sejarah sampai cerita-cerita setiap raja di Desa Wisata Tomok Parsaoran.
Menurut pria yang sudah menjadi pemandu wisata belasan tahun ini, kalau bukan kita sebagai orang Batak Samosir, siapa lagi yang membagikan cerita dari leluhur.
“Anak-anak saya sendiri juga sudah bisa menjelaskan tentang raja-raja Sidabutar kalau diberi pertanyaan,” tuturnya.
Meski tidak mengarahkan keturunannya harus menjadi pemandu wisata, ia ingin generasi setelahnya mengetahui asal-usul leluhur dan dapat menjelaskannya. Apalagi, mengingat desa mereka menjadi destinasi banyak wisatawan.
Salut, atas upaya Pak Noel menjaga keberlanjutan kisah sejarah yang memang harus dijaga.
2) Bagus Simatupang dari Desa Wisata Siallagan
Pernah terbayang bagaimana cara Raja Batak Kuno memberikan peradilan bagi warga yang melanggar? Jika belum, pasti akan terkesima mendengar cerita mengenai ‘Batu Parsidangan’ di Desa Wisata Siallagan dari Pak Bagus Simatupang.
Memang desa wisata ini bukan tanah kelahirannya, melainkan desa dari keluarga istrinya. Akan tetapi, beliau mengetahui semua cerita secara rinci.
Selama mengunjungi Desa Wisata Siallagan, Pak Bagus banyak menjelaskan berbagai filosofi rumah adat Batak, cerita Batu Parsidangan, alat musik khas Batak, tempat pemakaman keluarga Siallagan, sampai memimpin para wisatawan untuk Manortor (menari Tor Tor) bersama boneka kayu Sigale-gale.
Cara menjelaskannya seperti tengah mendongeng, sehingga wisatawan terpikat tanpa rasa bosan. Pak Bagus tak segan melayani setiap pertanyaan, bahkan menjelaskannya sambil memperagakan dengan sangat antusias.
Seperti ketika beliau menuturkan bagaimana cara persidangan Raja Batak di Desa Wisata Siallagan itu berlangsung.
“Jadi seperti ini proses peradilan itu. Dengan tongkat yang saya pegang ini, Raja mencoba menghilangkan ilmu atau efek jimat dari terdakwa,” papar Pak Bagus sampai memperagakan bagaimana Hulubalang membawa pelaku kejahatan yang hendak dihukum mati.
3) Riris Hasibuan dari Desa Wisata Simanindo
Kawasan Desa Wisata Simanindo dihuni dan dikelola oleh keturunan keluarga Raja Batak Samosir bernama Opung Panualang Sidauruk. Salah satunya adalah Bu Riris Hasibuan, yang merupakan istri dari Raja Humpul Sidauruk, cucu Opung Panualang Sidauruk.
“Sebelum pandemi, tempat ini ramai sekali dengan wisatawan dalam maupun luar negeri. Biasanya bule, tapi kalau sekarang, kita harus menerima tetapi tetap berusaha menghadapi
Dampak dari pandemi ini,” terang Bu Riris ketika berbincang dengan kami. Beliau mengatakan bahwa dua tahun belakangan ini memang bukanlah tahun yang mudah.
Selama pandemi, pengunjung yang datang ke Desa Wisata Simanindo tak banyak jumlahnya, termasuk wisatawan mancanegara yang tak lagi datang.
Akan tetapi, tantangan itu tidak membuat Bu Riris berhenti mengembangkan Desa Wisata Simanindo. Dengan melakukan pembersihan dan protokol kesehatan yang dihimbau pemerintah, Bu Riris kembali memperkenalkan Desa Wisata keluarganya ini.
Awalnya melalui mulut ke mulut para keluarga, sanak saudara, dan teman-teman. Akhirnya, ada beberapa kenalan yang kembali mengunjungi, bahkan menginap di Desa Wisata Simanindo. “Perlahan-lahan, kita bangkit. Karena yang terkena dampaknya kan memang semua sektor pariwisata,” ucapnya optimistis.
4) Pesta Sitanggang dari Desa Wisata Hutatinggi
“Saya sehabis mengajar di sekolah, biasanya ke sini untuk memantau Desa Wisata Hutatinggi ini,” ujar Bu Pesta Sitanggang, seorang guru PPKN SMA sekaligus pengelola homestay, yang juga keturunan pemilik Desa Wisata Hutatinggi bermarga Sitanggang.
Ketika kami datang ke Desa Wisata Hutatinggi yang merupakan 50 Desa Terbaik dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia tahun 2021, beliau menyambut dengan ramah dan bersahabat.
Kami diajak masuk ke rumah adat Batak yang juga dijadikan homestay. “Paket yang kami tawarkan juga menarik karena selain homestay, ada berbagai aktivitas.
Kalau ada yang ingin makan masakan khas Batak, bahkan sampai masak sendiri, kami siapkan,” terangnya seraya menambahkan bahwa selama pandemi, mereka sangat ketat dengan protokol kesehatan.
Bu Pesta mengakui bahwa pandemi memang membuat operasional homestay sempat tersendat. Apalagi, para wisatawan asing terhalang untuk mengunjungi Indonesia. Karena itu ia berharap, situasi semakin membaik agar homestay ramai kembali.
Setelah berbincang di dalam rumah, Bu Pesta mengajak kami mencicipi beberapa kuliner khas setempat, yaitu keju kerbau atau keju Batak, arsik ikan mas, dan ikan goreng andaliman. Wah, sedap semuanya.
5) Sonta Situmorang dari Desa Wisata
Rasanya tak bakal bosan kita melihat jemari Bu Sonta begitu mahir, lentik, cekatan menenun kain. Mimik wajahnya dapat dikatakan serius, tetapi beliau tetap menyahut ramah jika diajak berbincang.
Hal yang dibicarakan seputar jenis-jenis kain ulos dan sejarahnya. Hangat dan bangga beliau menjelaskan budaya dari kampung halamannya ini, Kampung Ulos Hutaraja di Desa Wisata Lumban Suhi Suhi Toruan.
“Kalau pola kainnya salah, harus ulang lagi,” Bu Sonta menunjuk kain yang tengah ditenun. Wanita berusia 70 tahun ini menekankan, untuk menghasilkan kain ulos yang cantik memang dibutuhkan pengorbanan.
Salah satunya adalah jika ternyata pola kainnya salah dan harus diulang. “Tak seperti menulis di kertas yang kalau salah bisa langsung dicoret atau kertasnya dibuang lalu cari kertas baru! Dalam menenun, kalau salah, harus tetap melanjutkan menenun kain yang sama. Jadi, terpaksa harus diulang,” jelasnya.
Mengenai proses pembuatan kain ulos sendiri, Bu Sonta bercerita memerlukan waktu bisa sampai tiga bulan. “Ini jadinya, kira-kira sampai berbulan-bulan. Jadi, tak bisa orang datang langsung minta dibikinkan kain tertentu. Harus pesan dulu.
Kecuali mau beli yang sudah dibuat,” kata Ibu Sonta. Memang perlu kesabaran untuk membuat kain ulos. Wajar pula jika harganya tak murah.
Profesi sebagai penenun mengantarkannya bertemu presiden dan ibu negara. Kala itu, Bu Sonta sangat terharu, was-was, tak menyangka bakal menerima kedatangan orang nomor satu di negeri ini, sekaligus mengenakan kain ulos hasil buah karya tangannya sendiri.
6) Sofia Manurung dari Desa Wisata Tuktuk
tempat wisata di tangerang
Restoran “Sekapur Sirih” adalah destinasi wisata kuliner yang harus kita sambangi tanpa keraguan, karena masakan Batak Samosir yang dihidangkan di sana otentik dan halal.
Rekomendasi dari restoran yang dikelola sepasang suami istri ini yaitu: naniura, arsik ikan mas, dan sayur ubi tumbuknya.
“Nanti bumbu masakannya pakai ini,” tutur Bu Sofia Manurung menjelaskan hidangan. Wanita yang bercelemek kain Ulos ini selama menyiapkan hidangan tampak bolak-balik dari dapur ke meja para pelanggannya.
Menariknya, rupanya Bu Sofia menanam sendiri bahan sayur maupun bumbu yang diperlukan. Dia memetik daun dan rempah dari pekarangan restoran untuk melengkapi bahan masakan khas Batak warisan opungnya. Bahkan, ikannya pun berasal dari kolamnya sendiri.
Tak heran bila seluruhnya segar dan sedap, karena masakan yang disajikan sarat oleh rasa cinta.
Layanan terbaik penuh keikhlasan para pejuang pariwisata Pulau Samosir dalam menjamu pelancong yang datang, pasti akan membuat semakin banyak orang terpikat.
Bagi mereka, melestarikan budaya seolah sudah menjadi panggilan hati, karena tanah tempat tinggal digariskan menjadi desa wisata. Segala kebaikan dan keikhlasan hati mereka, niscaya mendapatkan balasan baik dari Tuhan. Sekali lagi, Horas! Horas! Horas!