Menyoal Sikap dan Kebijakan Pemerintah Pasca Aksi Tolak RUU Kesehatan
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Penolakan pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) yang mengancam hak berdemokrasi, hak sehat rakyat, hak kesejahteraan dan perlindungan profesi kesehatan tempo lalu diperjuangkan oleh seluruh tenaga kesehatan di Indonesia. Aksi penolakan tersebut diberbagai titik daerah terutama yang menjadi central demonstrasi yaitu di Jakarta, termasuk juga di daerah-daerah lainnya. Hal tersebut dilakukan atas dasar profesi kesehatan.
Aksi itu merupakan bentuk protes kepada sikap pemerintah dan DPR yang memaksakan pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) kental terhadap kepentingan kapitalis di sektor kesehatan, mengorbankan hak rakyat, dan mengorbankan hak profesi kesehatan. Tiada lain hanya bertujuan untuk menyadarkan semua pihak bahwa masa depan kesehatan jangan sampai di politisir dan diserahkan kepada pengelolaan asing.
Tenaga kesehatan telah menjadi sejarah panjang yang tak akan terlupakan, dimana pada tahun 2019 hingga 2022 kemaren, tenaga kesehatan menjadi garda terdepan dalam menyikapi persoalan wabah Covid 19. Ribuan bahkan jutaan tenaga kesehatan Indonesia yang telah gugur akibat wabah tersebut.
Penolakan RUU Kesehatan (Omnibus Law) dilakukan oleh lima organisasi profesi kesehatan yaitu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PGDI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), menuai pertanyaan besar teruntuk anggota dewan baik DPRD maupun DPR-RI sebagai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Aksi tolak RUU Kesehatan (Omnibus Law) dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan yang tidak sedang dinas agar pelayanan kesehatan disetiap faskes tetap berjalan dengan baik. Namun, jika kebijakan dari pemerintah berkaitan dengan RUU Kesehatan tetap melumpuhkan bahkan mengamputasi terhadap peran dan fungsi organisasi profesi (OP) maka mungkin saja seluruh tenaga kesehatan di Indonesia akan melakukan aksi susulan yaitu mogok kerja.
Bentuk tuntutan seluruh tenaga kesehatan terhadap pihak terkait meliputi stop pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law), jaga kedaulatan kesehatan rakyat dan bangsa dari oligarki atau kapitalis, monopoli, dan liberalisasi, perlindungan dan kepastian hukum bagi profesi kesehatan dalam tataran implementasi, serta penguatan eksistensi dan kewenangan organisasi profesi kesehatan.
Perawat ada sebelum republik ini lahir, baru saja menikmati regulasi UU nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan dan sudah banyak lahir aturan pelaksanaannya sebagai dampaknya rakyat yang dilayani semakin baik dengan standart kualitas asuhan yang diberikan, hubungan lintas profesi semakin mesra berjalan sesuai garis masing-masing. Namun, disisi lain pemerintah abai, upah perawat tidak diperhatikan dengan nilai dibawah UMP, bahkan puluhan ribu honorer masih belum bergeser statusnya. Bukan dipikirkan, malah justru memikirkan bisnis kesehatan atas nama investasi.
RUU Kesehatan (Omnibus Law) disinyalir atas nama investasi tapi sesungguhnya akan berubah menjadi invasi. DPR RI seluruhnya terisi oleh wakil partai politik, maka kami berharap dalam membahas dan mengesahkan RUU Kesehatan (Omnibus Law) agar menggunakan hati nurani, bukan sekedar ambisi titipan pihak tertentu.
*) Penulis adalah Imam Ghazali, Akademisi Keperawatan di STIKES BHAKTI MULIA KEDIRI