Marwah KPK Runtuh, Ralat Penetapan Tersangka Rusak Rasa Keadilan Publik
Jurnalis: Wafil M
Kabar Baru, Jakarta- Proses hukum yang menimpa Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) dan Letkol Afri Budi Cahyanto (ABC) terkait dugaan suap proyek di Basarnas telah menimbulkan polemik. Keberatan dari pihak TNI terhadap penetapan status tersangka mereka seharusnya diakui, namun pendekatan intimidasi institusi yang digunakan tidaklah tepat. Argumen bahwa anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum adalah usang dan hanya bertujuan melindungi oknum-oknum anggota yang terlibat masalah hukum. Bila TNI tidak setuju dengan langkah KPK, pendekatan yang seharusnya diambil adalah melalui jalur praperadilan.
Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 tentang TNI dengan tegas menyatakan bahwa yurisdiksi peradilan militer hanya berlaku untuk tindak pidana militer. Adapun untuk tindak pidana umum, anggota TNI juga tunduk pada peradilan umum. Pasal 42 UU 30/2002 tentang KPK juga menegaskan bahwa KPK berwenang menangani dugaan tindak pidana korupsi, baik oleh seseorang yang tunduk pada peradilan umum maupun militer. Oleh karena itu, tidak ada tafsiran lain yang dapat dipahami selain bahwa KPK memiliki hak untuk menetapkan status tersangka atas HA dan ABC.
Norma-norma yang terkandung dalam UU 31/1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur subyek hukum peradilan militer seharusnya dinyatakan batal demi hukum karena sudah ada klarifikasi dari UU TNI dan UU KPK yang menegaskan sebaliknya. Jika seorang anggota TNI melakukan tindak pidana umum, maka dia harus tunduk pada peradilan umum tanpa terkecuali. Ketidaksamaan di muka hukum dan hak istimewa hukum bagi anggota TNI harus segera diakhiri. Hingga saat ini, Presiden dan DPR belum berhasil menuntaskan reformasi UU Peradilan Militer, dan hal ini menjadi masalah yang harus diatasi.
Tindakan KPK dalam melakukan klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan status tersangka terhadap anggota TNI menunjukkan kelemahan dalam menjaga dan menjalankan fungsinya sebagai lembaga independen. KPK seakan-akan tunduk pada intimidasi dari institusi TNI, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip kesetaraan di muka hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh Konstitusi. Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa supremasi TNI masih sangat kuat, karena meskipun tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, korps TNI tetap akan membela anggotanya dan KPK melepaskannya.
Ketidakadilan dalam penegakan hukum yang terjadi harus segera diakhiri. Presiden dan DPR harus bertindak tegas untuk tidak membiarkan konflik norma dalam berbagai UU terus menjadi instrumen ketidakadilan yang melembaga. Penegakan hukum harus berjalan sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan dalam UU, tanpa memandang status sosial atau jabatan seseorang. Semua harus tunduk pada hukum yang berlaku dan tidak ada lagi ruang bagi hak istimewa atau perlakuan khusus.
Penetapan status tersangka atas HA dan ABC oleh KPK terkait dugaan suap proyek di Basarnas harus diakui sebagai langkah yang sesuai dengan hukum yang berlaku. TNI tidak boleh menggunakan intimidasi institusi sebagai bentuk protes terhadap proses hukum ini. Sebagai bagian dari reformasi, konflik norma dalam UU terkait peradilan militer harus diakhiri, dan norma hukum yang mengatur bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus tunduk pada peradilan umum harus ditegakkan.
KPK sebagai lembaga independen harus mampu menjaga integritasnya dan tidak boleh tunduk pada tekanan dari pihak manapun, termasuk dari TNI. Ketidakadilan dalam penegakan hukum harus segera diberantas, dan seluruh warga negara, tanpa terkecuali, harus tunduk pada hukum yang berlaku. Semua pihak, termasuk Presiden dan DPR, harus bersama-sama berjuang untuk menciptakan sistem hukum yang adil dan setara bagi seluruh rakyat Indonesia. Hanya dengan begitu, keadilan sejati dapat terwujud dan ketidakadilan dapat dihapuskan dari sistem hukum negara ini.