Makan Bergizi Gratis sebagai Pilar Ketahanan Pangan Nasional di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Ketahanan pangan merupakan salah satu aspek fundamental dalam pembangunan suatu negara, sebab pangan merupakan kebutuhan dasar setiap orang. Di Indonesia, ketahanan pangan menghadapi berbagai tantangan, seperti ketergantungan pada impor pangan, ketimpangan distribusi pangan, dan masalah malnutrisi pada sebagian besar masyarakat. Oleh sebab itu, program ketahanan pangan yang terintegrasi dan menyeluruh sangat diperlukan untuk memastikan ketersediaan pangan yang cukup, bergizi, dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Salah satu program yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia melibatkan beberapa kebijakan penting yang saling mendukung, antara lain penyediaan makanan bergizi gratis, kolaborasi lintas kementerian, penghapusan utang bank bagi petani dan UMKM, serta pengurangan pembangunan infrastruktur yang secara tidak langsung berkaitan dengan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan di Indonesia telah menjadi topik penting yang sering digaungkan sejak lama, baik pada era pemerintahan sebelumnya maupun di bawah kepemimpinan berbagai presiden, tetapi implimentasinya masih jauh api dari panggang. Barulah pada era pemerintahan Prabowo-Gibran implementasi ketahanan pangan mulai menunjukkan titik terang. Salah satu langkah konkretnya adalah peluncuran program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang bertujuan untuk menyediakan akses pangan bergizi bagi masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan. Selain itu, MBG juga dirancang untuk menyasar kelompok sasaran seperti siswa dan ibu hamil. Hal ini bertujuan untuk mendukung pembentukan generasi yang sehat serta sebagai upaya mitigasi terhadap masalah stunting pada ibu hamil.
Kebutuhan gizi yang cukup dan sehat merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta mencegah berbagai masalah kesehatan serius, seperti stunting, gizi buruk, dan penyakit tidak menular. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar 21,6%, yang menunjukkan bahwa sekitar satu dari lima anak di bawah usia lima tahun masih mengalami pertumbuhan yang terhambat akibat kekurangan gizi. Selain itu, data dari Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa sekitar 28% ibu hamil di Indonesia mengalami kekurangan gizi, yang berisiko menyebabkan komplikasi kesehatan baik bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan.
Dengan memberikan makanan bergizi secara gratis, pemerintah berupaya tidak hanya mengurangi angka kemiskinan, tetapi juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Akses terhadap pangan yang bergizi dan sehat akan berkontribusi pada pembentukan generasi yang lebih sehat, cerdas, dan produktif. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi pangan yang tidak merata, mengingat bahwa masih banyak daerah terpencil dan sulit dijangkau yang menghadapi tantangan besar dalam memperoleh pangan yang memadai dan bergizi.
Ketersediaan pangan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan menjadi isu yang sangat krusial bagi pemerintah, mengingat tantangan besar dalam memastikan akses pangan yang memadai dan merata di seluruh wilayah. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 7,5 juta orang di Indonesia diperkirakan masih mengalami kekurangan pangan pada tahun 2024. Masalah ini terutama terjadi di wilayah-wilayah luar Jawa, di mana keterbatasan infrastruktur distribusi dan faktor geografis menghambat pemerataan pasokan pangan yang bergizi. Oleh sebab itu, dengan adanya program MBG, diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang terhambat dalam mengakses kebutuhan pangan yang sehat, terutama di daerah-daerah yang selama ini kurang terjangkau oleh sistem distribusi pangan yang ada.
Sebagaimana telah disampaikan, pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan tantangan besar bagi pemerintah Indonesia saat ini. Menurut Kepala Badan Gizi Nasional, Prof. Dadan, untuk menjalankan program MBG secara efektif, pemerintah memerlukan anggaran yang cukup besar. Diketahui bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk mendukung program ini selama satu tahun diperkirakan mencapai 420 triliun. Anggaran tersebut mencakup biaya penyediaan dan distribusi pangan bergizi bagi masyarakat.
Ketersediaan anggaran untuk program MBG menjadi tantangan tersendiri karena alokasi anggaran yang sering kali terbagi antara pembangunan infrastruktur non-pangan dan kebutuhan dasar seperti ketahanan pangan. Oleh karena itu, program ketahanan pangan harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang langsung mendukung sektor pangan, seperti pengembangan sistem irigasi, gudang penyimpanan pangan, serta jaringan distribusi pangan yang efisien. Infrastruktur yang tepat akan memastikan bahwa hasil pertanian dapat tersimpan dengan baik dan didistribusikan ke seluruh wilayah tanpa hambatan, sehingga mengurangi pemborosan dan memastikan ketersediaan pangan yang merata. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur yang tidak berkaitan langsung dengan sektor pangan dapat dikurangi agar anggaran yang terbatas dapat dialihkan untuk mendukung program ketahanan pangan yang lebih vital.
Implementasi program MBG sebagai salah satu program prioritas pemerintah saat ini tidak hanya bergantung pada ketersediaan anggaran semata, tetapi juga memerlukan kolaborasi lintas kementerian. Dukungan dari berbagai kementerian yang terkait, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial, sangat penting untuk memastikan keberhasilan program tersebut. Kolaborasi tersebut diperlukan untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada, mulai dari penyediaan bahan pangan yang berkualitas hingga distribusi yang efisien kepada masyarakat yang membutuhkan. Tanpa koordinasi yang baik antar lembaga pemerintah, pencapaian tujuan program MBG akan sulit tercapai, mengingat kompleksitas masalah ketahanan pangan yang melibatkan berbagai sektor.
Misalnya, Kementerian Pertanian dapat didorong untuk meningkatkan produksi pangan lokal seperti beras, melalui inovasi teknologi pertanian dan penyuluhan kepada petani. Pemerintah juga harus memastikan bahwa harga pangan tetap stabil dan terjangkau melalui pengawasan distribusi yang ketat dan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Kementerian Keuangan memiliki peran penting dalam menyediakan anggaran yang memadai untuk mendukung kebijakan pertanian dan ketahanan pangan, serta mengelola alokasi anggaran yang efisien agar program-program MBG dapat berjalan dengan optimal. Kementerian Sosial juga berperan dalam memastikan distribusi pangan yang tepat sasaran, terutama bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan, melalui program-program bantuan sosial yang dapat mengakses pangan bergizi dengan mudah. Kementerian Kesehatan memainkan peran kunci dalam memastikan bahwa pangan yang didistribusikan tidak hanya cukup, tetapi juga bergizi. Kementerian ini bertanggung jawab untuk menyusun pedoman gizi yang tepat, melakukan sosialisasi kepada masyarakat, serta memonitor dampak kesehatan dari program MBG.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah adalah langkah strategis untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pangan yang bergizi, khususnya bagi kelompok rentan, dan diharapkan dapat mengurangi masalah malnutrisi serta stunting. Namun, keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada ketersediaan anggaran yang besar, tetapi juga pada kolaborasi lintas kementerian yang efektif. Secara keseluruhan, implementasi program MBG yang berhasil akan berdampak positif pada kualitas hidup masyarakat Indonesia, dengan memastikan ketersediaan pangan yang cukup, bergizi, dan terjangkau. Oleh karena itu, komitmen dan koordinasi antara berbagai sektor serta alokasi anggaran yang tepat sangat diperlukan agar MBG sebagai pilar ketahanan pangan dapat tercapai, khususnya dalam menciptakan generasi yang sehat dan produktif.
*) Penulis adalah Ainia Fany Nur Khofifah, Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya.