Gerak Kolaborasi Jelang Transisi Ibu Kota

Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI– Belakangan ini, isu tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) menuai respons pro dan kontra yang datang dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa segmentasi disorot mulai dari alokasi anggaran, persiapan infrastruktur, hingga pemberian nama “Nusantara” sebagai ibu kota negara baru tak luput dari perbincangan masyarakat. Terakhir, kritikan warganet perihal naskah akademik yang terkesan tidak maksimal dalam penyusunannya meramaikan jagat sosial media twitter.
Di tengah respons yang demikian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengetuk palu yang menandakan bahwa proyek besar pemindahan ibu kota negara akan segera terealisasi. Melalui sidang paripurna yang digelar pada hari selasa (18/01) lalu, DPR sepakat untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) sebagai sebuah UU. Dari sembilan fraksi yang menduduki parlemen, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak. Hal ini menandakan bahwa pemerintah dan DPR telah memiliki visi yang sama terhadap wacana pemindahan ibu kota negara.
Melihat Transisi Jakarta
Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh besar di Jakarta, penulis lebih tertarik untuk melihat bagaimana transisi Jakarta setelah melepas status ibu kota. Layaknya membangun infrastruktur, transisi ekosistem kehidupan di Jakarta tentu tidak mungkin berubah total dalam waktu yang singkat. Perlu proses panjang di dalamnya.
Tentu semua aspek harus diperhatikan secara komperhensif. Baik dari aspek budaya, ekonomi, hingga sosial-politik. Namun demikian, hemat penulis setidaknya ada tiga catatan yang harus diperhatikan sebagai langkah awal jelang transisi panjang setelah Jakarta melepas status ibukotanya. Ketiga catatan ini, bukan tidak mungkin juga akan mempengaruhi ekosistem kehidupan budaya dan ekonomi di Jakarta.
Catatan pertama, tentu soal konstitusi yang akan mengatur Jakarta dengan segala kehidupannya setelah melepas Jakarta sebagai ibukota. Diperlukan persiapan mendalam untuk menyesuaikan konstitusi dimulai dari level pusat hingga daerah. Di tingkat pusat, tentu fokusnya adalah merevisi UU No.29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demi terwujudnya payung konstitusi yang substantif dan komperhensif, pemerintah harus mempersiapkan dengan tidak terburu-buru. Artinya diperlukan kesiapan waktu yang matang. Dan tentunya harus mengakomodir masukan dari elemen-elemen seperti kelompok akademisi/peneliti, kelompok budayawan, kelompok ekonom, dan kelompok mahasiswa/kepemudaan.
Kedua, soal sistem birokrasi pemerintahan. Setelah melepas status sebagai daerah khusus ibu kota, hubungan antar pemerintah provinsi dan pemerintah kota pasti akan berbeda. Termasuk soal status administrasi bagi lima pemerintah kota di Jakarta.
Yang menarik, tidak pula menutup kemungkinan bahwa kedepan kepala daerah di tingkat kota akan dipilih melalui pesta demokrasi. Sementara hari ini, merujuk pada UU No.29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dalam pasal 19 menyebutkan bahwa Walikota diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta.
Poin ketiga soal nama Jakarta sebagai Provinsi. Ini juga menarik. Jika nama DKI sudah tidak bisa dipakai, usul yang terlintas adalah Provinsi Jakarta Raya. Dan bukan tidak mungkin, opsi pemekaran wilayah dengan memasukkan daerah penyangga sebagai bagian dari Provinsi Jakarta Raya dapat terwujud. Hal ini tentu menjadi alternatif atas permasalahan yang menyangkut tata kelola kota dan akses ruang hidup.
Kemudian pertanyaan muncul. Apakah Jakarta akan tetap menjadi pusat pembangun ekonomi nasional?
Bagi penulis, Jakarta tetaplah Jakarta dengan segala daya tariknya. Pemerintah provinsi harus melihat masa depan Jakarta dengan lanskap yang lebih luas. Tidak hanya sebagai pusat ekonomi, Jakarta berpeluang menjadi “Mercusuar Peradaban”.
Pemindahan ibu kota negara, harus dibersamai dengan semangat kemajuan. Jakarta akan memiliki kesempatan untuk membangun peradaban. Lepasnya status ibu kota tentu akan membuat pemerintah provinsi leluasa membangun peradaban Jakarta yang lepas dari kepentingan intervensi politik pemerintah pusat.
Peradaban yang dimaksud tentu adalah soal menyangkut segala aspek kehidupan masyarakatnya. Berbicara Jakarta hari ini, tidak hanya dengan ke Betawi-an nya saja sebagai pribumi, melainkan Jakarta dengan wajah multietnis nya. Dan dengan lepasnya status sebagai ibukota, adalah momentum Jakarta untuk membangun peradaban.
Gerak Kolaborasi
Sebagai kota dengan berbagai latar belakang dan berbagai kepentingan didalamnya, Jakarta tentu harus memiliki sebuah prinsip yang menjadi nafas bersama. Dan Gerak Kolaborasi, adalah prinsip yang tepat untuk dijadikan sebagai nafas bersama seluruh elemen di Jakarta.
Sinergi pemerintah pusat dan daerah menjadi vital. Keputusan dan masukan terbaik harus diakomodir.
Antar pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, antar pemerintah dengan masyarakat, seluruh elemen harus bergerak kolaboratif demi suksesnya transisi Jakarta setelah melepas status sebagai ibu kota.
Demi mewujudkan Jakarta yang semakin maju, sebagai ketua PC PMII Jakarta Timur, saya tegaskan untuk siap menjadi mitra sinergis dan kritis bagi pemerintah. Tidak lain, sebagai upaya kontribusi terhadap tanah kelahiran, kota Jakarta.
Karena bagi siapapun yang mencintai kota ini, Jakarta akan tetap menjadi tempat yang spesial dan istimewa, meski telah lepas status kekhususannya.
*) Penulis adalah Farhan Nugraha, Ketua PC PMII Jakarta Timur
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co