Mahasiswa Fakultas Hukum UTM Lakukan Penelitian Penerapan Restorative Justice di Luar persidangan
Jurnalis: Faisol Bin Ali
Kabar Baru, Bangkalan – Mahasiswa Magang Reguler Fakultas Hukum (FH) Universitas Trunojoyo Madura (UTM), melaksanakan pendampingan tersangka kasus kekerasan seksual yang di lakukan di Polrestabes Surabaya, Jumat (27/10/2023).
Kegiatan pendampinagan tersangka oleh David Hizkia Situmorang, Erlita Ravinda Bintari dan Arifin Yusuf di polrestabes surabaya, didampingi oleh lembaga bantuan Hukum (LBH) legundi, dilaksanakan pada pukul 10-00 sampai 11.45. Kegiatan ini dilaksanakan dengan upaya perdamaian antar korban dan pelaku tindak pidana dalam upaya peradilan yang berfokus pada pemulihan.
Lembaga Bantuan Hukum Surabaya sangat mendukung penerapan dengan restorative justice yang di terapkan sebagai upaya bentuk alternatif dalam peradilan pidan untuk memulihkan keadaan pada korban tindak pidana. Hal ini tentunya tidak menghilangkan atau melenceng dari perundang-undangan yang berlaku terkhusnya sistem peradilan pidana yang berlaku.
“Pada tahap upaya restorative justice ini kita sudah melihat secara langsung efektifitas proses pedamaian dengan konsep restorative justice dalam menyelesaikan perkara tersebut,” ujar 3 mahasiswa magang reguler FH UTM.
Pengacara tersangka pada pelaku tindak pidana kejahatan kesusilaan membenarkan bahwa pelaku melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap korban anak. Penyelesaian kasus ini berhasil diselesaikan dengan pendekatan restorative justice upaya perdamaian antara pelaku dan korban. Pertimbangan upaya restorative justice tersebut di selesaikan oleh pihak penyidik sebagai penegak hukum tahap 1 dengan pertimbangan sebagai berikut:
Menurut Pasal 1 Angka 27 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menyatakan, keadilan restoratif ini harus melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait. Hal ini bertujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak.
1. Tindak pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tindak pidana yang merupakan delik aduan baik bersifat absolut/relatif.
2. Ada keinginan dari pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban) untuk berdamai dan akibat dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan dampak yang luas/negatif terhadap kehidupan masyarakat.
3. Harus dilaksanakan kegiatan yang bersifat rekonsiliasi dengan mempertemukan pihak yang berperkara serta melibatkan pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat setempat.
4. Dalam menyelesaikan perkara perlu memperhatikan faktor niat, usia, kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan, hubungan keluarga/kekerabatan serta bukan merupakan perbuatan yang berulang (residivis).
5. Apabila perbuatan tersebut diawali dengan perjanjian/perikatan (mengarah ke perdata).
6. Pihak korban harus mencabut laporan/pengaduan.
7. Apabila terjadi ketidakpuasan para pihak yang berperkara setelah dilakukan di luar mekanisme pengadilan maka dilakukan penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku.
8. Apabila terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan maka harus dilaksanakan proses hukum sesuai peraturan/hukum yang berlaku.
“Dengan ini penerapan penyelesaian restorative justice ini tidak selalu berhasil di lakukan karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses yang menghambat. Seperti ketidak terimaan korban atas perlakuan tindakan yang dilakukan oleh tersangka terhadap korban serta ketidakmampuan tersangka dalam membayar kerugian materil maupun psikologis yang telah dilakukannya terhadap korban,” ungkap rusman, seorang pengacara LBH Legundi.