Deklarasi Anies Baswedan 10 November Batal, Sinyal Bahwa Deal-Deal Politiknya Belum Selesai
Jurnalis: Veronika Dian Anggarapeni
Kabar Baru, Jakarta – Koalisi pendukung Anies Baswedan yang terdiri dari NasDem, Demokrat, dan PKS batal mendeklarasikan pasangan capres dan cawapres di 10 November 2022. Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, menilai bahwa ada beberapa penyebab deklarasi koalisi perubahan ini gagal pada momentum hari pahlawan.
Pertama, NasDem sudah diuntungkan karena telah mendeklarasikan Anies lebih awal, sedangkan Demokrat dan PKS harus berebut kursi cawapres. Demokrat ingin usung AHY, sebaliknya PKS ingin duetkan Anies dengan Aher.
Kesepakatan ini bisa terlaksana lebih cepat jika salah satu partai mengalah atau menerima tawaran lain sebagai pemimpin koalisi, serta jumlah kursi menteri yang lebih besar jika Koalisi Perubahan menang.
Kedua, Koalisi Perubahan ini sedang mencari momentum yang tepat untuk melakukan deklarasi. Dengan belum munculnya capres dari PDI-P dan KIB, koalisi perubahan tentu menyimpan nama cawapres untuk dikeluarkan pada saat yang tepat, sehingga tetap menjadi bahan percakapan pada momentum punyaknya.
Ketiga, penentuaan nama cawapres tentu juga berhubungan dengan basis wilayah. Dari nama-nama yang muncul sebagai Cawapres, seperti Ridwan Kamil, Aher, Khofifah, Cak Imin, dan AHY berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga ini menyulitkan capres mencari figur cawapres yang tepat.
“Koalisi pendukung Anies masih mencari titik temu, terutama penentuaan kursi cawapres. Paling tidak harus ada yang mengalah. Mungkin saja dengan adanya jaminan sebagai pemimpin koalisi atau jatah menteri yang lebih besar. Ya, deal-dealnya pasti berada di ranah itu”, ucap Arifki.
Koalisi perubahan ini lebih sibuk ke dalam menemukan titik temu diantara ketiga partai, terutama antara Demokrat dan PKS. Jika pontensi PKS dan Demokrat pindah ke partai lain tentu ini langkah yang sulit.
Ini tidak hanya menjauhkan pemilihnya dari harapan terhadap figur yang diusung, hal lainnya juga berdampak pada lemah daya tawar PKS dan Demokrat di partai lain karena datangnya belakangan.
Koalisi Perubahan ini sulit untuk retak, dilihat dari sisi kenyamanan PKS dan Demokrat tidak punya pilihan lain kecuali mendukung Anies sebagai capres. Dibalik dari berbagai kepentingan kedua partai ini untuk mendapatkan efek ekor jas Pemilu 2024, kedua partai itu tentu mempertimbangkan capres yang diusung partainya.
Dampak elektoral dan keinginan untuk memenangkan Pilpres tentu lebih besar dari berbagai tawaran lain yang cendrung berpotensi merusak koalisi.
“Demokrat dan PKS ini udah puasa kekuasan di dua pemerintahan Jokowi. Tidak mungkin, dalam situasi politik yang masih Zuhur. PKS dan Demokrat sudah tergoda untuk membatalkan rencana besarnya di tahun 2024. Jika bergabung dengan koalisi lainnya, PKS dan Demokrat hanya jadi Makmum Masbuk dalam koalisi politik, meskipun belum punya capres dan cawapres, koalisi lain sudah membangun hubungan emosional sejak lama,” tutup Arifki.