Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Deflasi: Ancaman atau Peluang Bagi Ekonomi Nasional?

Harry Yulianto, akademisi STIE YPUP Makassar..

Editor:

Kabar Baru, Opini – Deflasi sebagai fenomena ekonomi yang ditandai dengan penurunan harga barang dan jasa secara umum, sering kali menimbulkan perdebatan di kalangan ekonom. Ada yang menganggapnya sebagai ancaman serius bagi stabilitas ekonomi, sementara yang lain melihatnya sebagai peluang untuk mendorong daya beli masyarakat. Konsepsi mengenai deflasi dapat dipahami lebih mendalam dengan mengacu pada pemikiran dari beberapa tokoh ekonomi besar.

Salah satu pandangan yang berpengaruh dalam filsafat ekonomi mengenai deflasi berasal dari John Maynard Keynes, yang dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) berpendapat bahwa deflasi dapat menyebabkan kontraksi ekonomi yang parah. Keynes menekankan bahwa penurunan harga dapat mengakibatkan penurunan permintaan, yang dapat menurunkan produksi dan lapangan kerja. Fenomena tersebut dapat memicu “spiral deflasi”, di mana perekonomian terjebak pada lingkaran penurunan yang terus menerus.

Jasa Pembuatan Buku

Di sisi lain, ekonom dari mazhab Austria seperti Friedrich Hayek yang dalam bukunya Prices and Production (1931) memiliki pandangan yang berbeda. Hayek berargumen bahwa deflasi bisa menjadi mekanisme korektif alami dalam perekonomian, memungkinkan penyesuaian harga terhadap kesalahan alokasi sumber daya yang terjadi selama periode inflasi atau ekspansi kredit berlebihan. Menurut Hayek, daripada menganggap sebagai ancaman, deflasi dapat memberikan kesempatan untuk “menyembuhkan” ekonomi yang telah mengalami distorsi harga.

Fenomena deflasi di Indonesia

Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut, yang merupakan salah satu periode deflasi terpanjang sejak krisis finansial Asia pada tahun 1999. Tingkat deflasi bulanan yang bervariasi, mulai dari: 0,03% di Mei, 0,08% di Juni, 0,18% di Juli, hingga 0,12% di September 2024​. Meskipun tingkat inflasi tahunan masih berada di level 1,84% pada September 2024, namun angka inflasi tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya, sedangkan tekanan deflasi yang menunjukkan angka yang semakin besar.

Fenomena deflasi di Indonesia selama periode Mei hingga September 2024 menunjukkan dinamika ekonomi yang kompleks, di mana penurunan permintaan domestik, membanjirnya produk impor murah, dan stabilitas harga pangan dapat menjadi indikasi faktor pemicunya. Meskipun pemerintah optimis bahwa deflasi tidak menandakan kondisi ekonomi yang buruk, namun penurunan daya beli maupun ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan perlu segera diatasi untuk mencegah dampak lebih lanjut terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dampak deflasi beruntun

Pada jangka pendek, deflasi dapat menurunkan konsumsi masyarakat. Ketika harga barang dan jasa terus turun, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga akan turun lebih lanjut. Hal tersebut dapat mengurangi permintaan secara keseluruhan, sehingga mempengaruhi produksi. Ketika permintaan barang dan jasa melemah, produsen akan menurunkan produksi, yang berdampak terhadap penurunan aktivitas ekonomi secara keseluruhan​.

Seiring dengan menurunnya permintaan barang dan jasa, perusahaan akan mengurangi biaya produksi, termasuk dengan menurunkan jumlah tenaga kerja. Penurunan pendapatan rumah tangga dan kenaikan tingkat pengangguran akan memperburuk siklus deflasi, karena semakin sedikit uang yang beredar di perekonomian, sehingga dapat memperlemah daya beli​ masyarakat.

Selain itu, deflasi juga berdampak terhadap peningkatan beban utang, terutama bagi mereka yang memiliki utang dalam mata uang tetap. Ketika harga-harga barang dan jasa turun, nilai riil utang meningkat, karena nilai uang yang dibayar kembali menjadi lebih besar. Hal tersebut dapat menambah tekanan pada sektor bisnis dan rumah tangga yang sudah terjebak dalam deflasi.

Jika deflasi terus berlanjut dalam jangka panjang, maka ada risiko besar bagi perekonomian untuk terjebak pada resesi berkepanjangan. Menurut teori ekonomi Keynesian, deflasi yang berkelanjutan dapat menciptakan “spiral deflasi,” di mana penurunan harga terus mendorong penurunan konsumsi dan investasi, sehingga menyebabkan perekonomian akan kehilangan momentum untuk tumbuh kembali​.

Deflasi yang berkepanjangan berdampak terhadap penurunan tingkat investasi. Ketika harga barang dan jasa terus menurun, perusahaan akan ragu untuk berinvestasi dalam produksi baru atau ekspansi bisnis, karena prospek keuntungan di masa depan tampak lebih rendah. Hal tersebut tentunya akan memperlambat akumulasi modal, yang menjadi determinan penting untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang​.

Dalam jangka panjang, deflasi dapat memicu ketidakstabilan sosial. Ketika daya beli masyarakat menurun dan pengangguran meningkat, maka tekanan ekonomi dapat memicu ketidakpuasan sosial, yang berpotensi menimbulkan kerusuhan atau konflik. Pemerintah mungkin akan mengadopsi kebijakan moneter dan fiskal yang drastis untuk memulihkan perekonomian​ nasional.

Belajar dari negara lain

Jepang sebagai salah satu negara yang mengalami deflasi beruntun, terutama sejak awal 1990-an hingga awal 2000-an, dikenal sebagai “The Lost Decade.” Deflasi tersebut disebabkan oleh ledakan gelembung aset pada akhir 1980-an yang menyebabkan stagnasi ekonomi, menurunkan harga, dan meningkatkan pengangguran.

Negara Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat lambat selama lebih dari satu dekade. Penurunan harga barang dan jasa menyebabkan konsumen dan perusahaan menunda pembelian dan investasi dengan harapan harga akan turun lebih lanjut. Akibatnya, permintaan agregat menurun, sehingga mengakibatkan penurunan produksi dan aktivitas ekonomi yang stagnan.

Deflasi di Jepang meningkatkan nilai riil utang, baik untuk perusahaan maupun rumah tangga. Dengan harga yang turun, maka beban utang yang dimiliki dalam mata uang tetap meningkat secara riil. Hal tersebut membuat utang lebih sulit dibayar kembali, yang kemudian menyebabkan gelombang kebangkrutan perusahaan dan sektor perbankan mengalami krisis kredit​.

Penurunan permintaan barang dan jasa berdampak terhadap produksi, sehingga banyak perusahaan yang memangkas jumlah pekerja. Meskipun Jepang terkenal dengan stabilitas tenaga kerja, namun deflasi menyebabkan peningkatan pengangguran, terutama di sektor-sektor yang terdampak langsung oleh penurunan permintaan.

Deflasi membuat perusahaan enggan berinvestasi dalam kapasitas produksi baru karena prospek keuntungan masa depan tampak tidak menarik. Selain itu, sektor perbankan di Jepang menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman, karena risiko kredit yang meningkat sebagai akibat penurunan harga aset dan meningkatnya beban utang.

Sektor perbankan Jepang mengalami krisis akibat banyaknya kredit macet yang terjadi selama deflasi. Nilai aset yang dijadikan jaminan pinjaman menurun drastis, sehingga bank-bank terpaksa menanggung kerugian besar. Krisis perbankan memperburuk permasalahan ekonomi karena aliran kredit ke sektor bisnis semakin terbatas.

Untuk mengatasi deflasi, Bank of Japan (BOJ) menerapkan kebijakan moneter yang sangat longgar, termasuk menurunkan suku bunga hingga mendekati nol (zero interest rate policy). Namun, meskipun kebijakan tersebut dirancang untuk menstimuli perekonomian, namun deflasi tetap berlanjut karena masyarakat dan perusahaan lebih memilih menyimpan uang daripada membelanjakannya atau menginvestasikannya.

Deflasi di Jepang berdampak signifikan terhadap perekonomian, sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang melambat, krisis perbankan, peningkatan pengangguran, serta peningkatan beban utang. Upaya pemerintah Jepang untuk mengatasi deflasi melalui kebijakan moneter longgar dan stimulus fiskal memerlukan waktu lama untuk menghasilkan dampak positif yang signifikan, namun masalah deflasi terus berlanjut selama beberapa dekade.

Deflasi sebagai ancaman

Deflasi sering dianggap sebagai ancaman serius bagi perekonomian nasional karena dapat memicu serangkaian dampak negatif yang memperlambat pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, deflasi yang terjadi beruntun dapat mengindikasikan beberapa potensi ancaman, seperti: penurunan daya beli masyarakat, pengangguran dan penurunan produksi, peningkatan beban utang, serta efek terhadap investasi.

Deflasi mengindikasikan adanya penurunan harga barang dan jasa, tetapi bukan berarti masyarakat menikmati harga yang lebih murah. Sebaliknya, deflasi sering kali disebabkan oleh lemahnya daya beli konsumen. Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari 5%, banyak kelompok masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah, yang masih belum memulihkan pendapatannya sejak pandemi Covid-19​. Daya beli yang lemah akan menekan permintaan pada ekonomi, sehingga bisa menyebabkan stagnasi.

Ketika permintaan terhadap barang dan jasa menurun, produsen terpaksa menurunkan produksi. Hal tersebut dapat menyebabkan pengurangan tenaga kerja dan peningkatan angka pengangguran. Dengan menurunnya produksi, maka perekonomian bergerak lebih lambat, dan tanpa adanya permintaan yang kuat, sehingga pemulihan ekonomi akan sulit dicapai.

Pada kondisi deflasi, nilai riil utang meningkat, baik rumah tangga maupun perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang tetap harus membayar kembali utang dengan nilai yang lebih tinggi, karena deflasi meningkatkan daya beli mata uang. Beban utang yang lebih tinggi dapat memperburuk krisis ekonomi, terutama di kalangan pelaku bisnis yang terpaksa mengurangi investasi untuk membayar utang.

Deflasi juga dapat menurunkan insentif untuk berinvestasi. Ketika harga-harga terus menurun, perusahaan dan konsumen akan lebih memilih untuk menunda investasi atau konsumsi, menunggu harga turun lebih jauh. Sikap tersebut akan menambah ketidakpastian ekonomi, sehingga menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi nasional dan melemahnya dinamika pasar​.

Menurut pandangan Keynes, deflasi dapat merusak kemampuan ekonomi untuk pulih karena rumah tangga dan bisnis menunda konsumsi dan investasi dengan harapan harga akan terus turun. Keynes menekankan pentingnya peran pemerintah dan kebijakan moneter untuk mengatasi deflasi. Pada situasi di mana sektor swasta tidak mampu mendorong permintaan agregat, intervensi pemerintah melalui pengeluaran publik dan kebijakan moneter ekspansif sangat dibutuhkan. Keynes menganjurkan agar pemerintah harus bertindak dengan meningkatkan pengeluaran untuk proyek-proyek publik atau mengurangi pajak untuk mendorong konsumsi dan investasi​.

Deflasi di Indonesia pada tahun 2024 dapat menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional, menurunkan daya beli, meningkatkan pengangguran, dan memperburuk beban utang. Pendekatan Keynesian menunjukkan bahwa tanpa intervensi pemerintah yang kuat, maka deflasi bisa menjadi siklus yang sulit dihentikan dan berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi nasional jangka panjang.

Deflasi sebagai peluang

Meskipun sering dianggap sebagai ancaman, deflasi juga dapat memberikan beberapa peluang bagi perekonomian, khususnya di Indonesia, apabila dihadapi dengan kebijakan yang tepat. Beberapa peluang yang kemungkinan muncul, antara lain: meningkatkan daya beli konsumen, mengurangi tekanan inflasi, serta efisiensi dalam produksi dan distribusi.

Salah satu dampak positif dari deflasi yakni penurunan harga barang dan jasa, yang dapat meningkatkan daya beli konsumen. Bagi konsumen, terutama dari kelas menengah dan bawah, harga yang lebih rendah memberikan kesempatan untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok dengan harga lebih murah. Hal ini dapat mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga dalam jangka pendek, jika masyarakat memiliki cukup kepercayaan pada stabilitas ekonomi​.

Deflasi juga memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk menstabilkan ekonomi dengan mengurangi tekanan inflasi yang berlebihan. Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia berfokus pada pengendalian inflasi agar tetap pada level yang dapat diterima. Dengan adanya deflasi, pemerintah dapat lebih fleksibel dalam menetapkan kebijakan moneter dan fiskal yang berorientasi pada pertumbuhan jangka panjang.

Deflasi yang dipicu oleh peningkatan efisiensi dalam produksi dan distribusi, seperti penurunan harga komoditas pangan atau barang impor, dapat memberikan manfaat bagi industri dalam negeri. Penurunan biaya produksi memungkinkan produsen untuk mengalokasikan lebih banyak sumber daya ke inovasi dan pengembangan bisnis, yang pada akhirnya bisa memperkuat daya saing global Indonesia.

Menurut Hayek, deflasi bukanlah ancaman yang harus selalu dihindari, tetapi bisa menjadi mekanisme alami untuk mengoreksi distorsi yang disebabkan oleh kebijakan moneter yang berlebihan, seperti ekspansi kredit yang tidak sehat. Hayek berargumen bahwa harga-harga yang turun sebagai hasil dari proses penyesuaian pasar yang sehat, di mana penurunan harga membantu mengembalikan keseimbangan antara penawaran dan permintaan.

Dalam pandangan Hayek, selama proses deflasi tidak disertai dengan kebijakan moneter yang merusak, maka penurunan harga dapat mengarah pada peningkatan daya beli yang mendorong efisiensi dan inovasi di sektor ekonomi. Gangguan ekonomi yang diakibatkan oleh inflasi buatan atau ekspansi kredit yang tidak realistis memerlukan “pembersihan” alami dalam bentuk penurunan harga. Hayek melihat deflasi sebagai peluang bagi perekonomian untuk kembali pada jalur yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Deflasi bisa menjadi peluang bagi ekonomi Indonesia jika dikelola dengan hati-hati. Dengan mengoptimalkan penurunan harga untuk meningkatkan konsumsi dan investasi, serta menjaga stabilitas daya beli, Indonesia dapat memanfaatkan deflasi sebagai momentum untuk melakukan efisiensi dalam produksi dan distribusi. Argumen Hayek mendukung pandangan bahwa deflasi bisa menjadi mekanisme korektif yang sehat dalam perekonomian, asalkan disertai dengan kebijakan yang tepat untuk mencegah stagnasi ekonomi yang berkelanjutan.

Langkah strategis pemerintahan mendatang

Pada konteks deflasi yang terjadi beruntun di Indonesia, langkah strategis pemerintahan Prabowo, sesuai dengan visi dan misinya di bidang ekonomi, perlu berfokus terhadap beberapa poin utama, yakni: memperkuat daya beli masyarakat, mendorong investasi dalam sektor produktif, meningkatkan kemandirian ekonomi, kebijakan moneter yang proaktif, pengembangan sektor pertanian dan pangan, serta stimulus ekonomi berbasis infrastruktur dan teknologi.

Prabowo dalam kampanyenya menekankan pentingnya meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat, terutama dengan memperkuat daya beli masyarakat. Untuk menangani deflasi, pemerintah dapat: meningkatkan pendapatan masyarakat kelas menengah dan bawah melalui penciptaan lapangan kerja baru dan subsidi langsung kepada masyarakat yang terdampak ekonomi, serta memperkuat program bantuan sosial untuk memastikan bahwa kelompok masyarakat rentan tetap memiliki daya beli yang cukup untuk mendorong permintaan agregat.

Salah satu strategi kunci yang diusung Prabowo yakni mendorong peningkatan investasi, terutama di sektor-sektor strategis seperti pertanian, energi, dan manufaktur. Dalam menghadapi deflasi, pemerintah dapat: memberikan insentif pajak bagi investor lokal dan asing yang berinvestasi dalam sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja, serta membangun infrastruktur yang mendukung produksi dan distribusi, sehingga menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi ekonomi.

Prabowo juga menekankan pentingnya kemandirian ekonomi dengan mengurangi ketergantungan pada impor. Langkah tersebut sangat relevan dalam menangani deflasi yang dipicu oleh banjirnya produk impor murah​. Beberapa langkah yang bisa diambil seperti: mendorong substitusi impor dengan produk lokal melalui insentif bagi produsen dalam negeri dan penguatan program hilirisasi, serta mengendalikan impor barang murah dengan kebijakan proteksi tertentu untuk melindungi industri dalam negeri dari kelebihan pasokan barang asing yang bisa menekan harga lokal.

Pada konteks kebijakan moneter, pemerintahan Prabowo perlu berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas harga. Langkah strategis yang bisa diambil termasuk: menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong kredit dan konsumsi, serta meningkatkan akses pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sektor yang menjadi fokus Prabowo untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

Dalam misinya, Prabowo mengutamakan revitalisasi sektor pertanian dan pangan untuk mencapai swasembada. Deflasi yang dipicu oleh penurunan harga pangan dapat diatasi dengan: meningkatkan produksi pangan dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada harga pangan global, maupun memperbaiki rantai distribusi pangan, sehingga petani bisa mendapatkan harga yang adil dan tidak terjebak dalam penurunan harga yang merugikan mereka.

Pemerintahan Prabowo kemungkinan besar akan berfokus pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi untuk memperkuat ekonomi jangka panjang. Dalam menghadapi deflasi, ini bisa berarti: pembangunan infrastruktur yang dapat menciptakan lapangan kerja, menstimuli permintaan, dan meningkatkan efisiensi ekonomi, serta melakukan transformasi digital ekonomi, terutama bagi UMKM, agar bisa terintegrasi dalam pasar global dan tidak terpengaruh langsung oleh fluktuasi harga domestik.

Langkah-langkah strategis pemerintahan Prabowo dalam menangani deflasi beruntun perlu berfokus pada peningkatan daya beli, investasi, penguatan kemandirian ekonomi, serta kebijakan moneter yang proaktif. Pendekatan tersebut sesuai dengan visi Prabowo dalam menciptakan kemandirian ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

*) Penulis adalah Harry Yulianto, akademisi STIE YPUP Makassar.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store