Budidaya Rumput Laut di Sumenep Terancam Punah, Jumlah Petani Menyusut

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Sumenep – Budidaya rumput laut yang pernah menjadi penopang utama ekonomi masyarakat pesisir Sumenep, Jawa Timur, kini kian ditinggalkan.
Dari pekerjaan utama yang diwariskan turun-temurun, perlahan aktivitas ini tidak lagi menjadi andalan sebagian besar warga.
Masa Keemasan yang Hilang
Zainudin, warga Pulau Sepangkur, Kecamatan Sapeken, masih mengingat jelas masa kejayaan itu. Sejak awal 2000-an, rumput laut menjadi mata pencaharian utama hampir seluruh keluarga di kampungnya.
“Dulu, sejak 2003 sampai 2009, hampir setiap keluarga hidup dari rumput laut. Sekarang sudah tidak bisa lagi,” ujarnya kepada kabarbaru.co, Selasa (24/9).
Namun, lima tahun terakhir, hasil panen semakin tidak menentu. Penyakit yang menyerang tanaman dan cuaca ekstrem serta kesuburan membuat kerugian kerap terjadi.
“Tidak sampai total, tapi kerugiannya bisa 30 persen. Itu pun masih dipaksa-paksa supaya ada hasil,” lanjutnya.
Dari seratus petani rumput laut di Sepangkur, kini hanya tersisa sepuluh orang. Sisanya berhenti, terutama sejak pandemi Covid-19 melanda.
“Soal ancaman akan punah, bisa saja jika tidak ditangani oleh pemerintah,” tegasnya.
Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Di Pulau Gili Raja, Handoko, salah seorang petani, juga merasakan kondisi serupa.
“Panennya tidak bisa diharapkan, penyakit sering muncul, cuaca makin tidak menentu,” keluhnya.
Menurutnya, banyak warga akhirnya beralih pekerjaan. Ada yang berdagang, ada pula yang merantau ke kota-kota besar.
“Kalau tetap berharap dari rumput laut, keluarga bisa susah makan. Sekarang orang menganggap rumput laut hanya sampingan,” ujarnya.
Tradisi yang Berkurang
Di Pulau Raas, Ahmad mengatakan bahwa tradisi menanam rumput laut kini semakin berkurang.
“Dulu hampir setiap rumah ada yang menanam. Sekarang bisa dihitung dengan jari yang masih menekuni,” katanya.
Menurutnya, biaya produksi yang tinggi serta hasil yang terus menurun membuat banyak warga berhenti.
“Penyakit makin banyak, hasil makin sedikit. Orang akhirnya pindah jadi nelayan atau langsung ke kota,” jelas Ahmad.
Data Penurunan Petani
Data Dinas Perikanan Sumenep mencatat, jumlah petani rumput laut mengalami penurunan tajam. Pada 2022 tercatat 4.504 orang, turun menjadi 895 pada 2023, lalu naik sedikit menjadi 966 pada 2024. Hingga triwulan II 2025, jumlahnya tercatat hanya 640 orang.
“Rumput laut memang terancam. Kalau punah mungkin tidak, tapi potensinya ke arah sana ada,” kata Kepala Dinas Perikanan Sumenep, Agustiono Sulasno, melalui Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Edie Ferrydianto.
Ia menambahkan, banyak anak muda meninggalkan pekerjaan ini. “Sekarang mereka lebih tertarik bekerja di kota, cari pekerjaan yang tidak panas-panas di laut. Kalau berharap rumput laut sebagai penghasilan utama, kondisinya memang sudah sulit menutup kebutuhan,” ujarnya.
Tantangan Ke Depan
Aktivis Mohammad Mahshun Al Fuadi menilai, penurunan jumlah petani rumput laut menjadi alarm serius bagi keberlanjutan ekonomi masyarakat kepulauan.
“Kalau tidak ada intervensi kebijakan yang jelas, tradisi budidaya ini bisa terancam punah. Pemerintah perlu hadir dengan teknologi budidaya modern, penanganan penyakit, hingga stabilitas harga pasar. Kalau tidak, generasi muda pasti enggan melanjutkan,” tegasnya.