Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Perempuan Menggugat Negara yang Tidur di Atas Kuburan Orang Hilang

Penulis adalah Chalista Aiska Putri, Mahasiswi Universitas Negeri Makassar.

Editor:

Kabar Baru, Opini – Aku bukan aktivis, bukan akademisi, bukan orang yang tampil di layar debat politik. Aku hanya perempuan biasa, yang hidup dalam ritme dapur, kasur, dan layar ponsel yang lebih sering menampilkan hiburan daripada kebenaran.

Tapi dari sudut sunyi kamar inilah, aku menyusun potongan demi potongan luka negeri. Bukan karena aku pintar, tapi karena aku punya mata dan hati yang tak bisa menutup diri dari jerit yang tak pernah dijawab.

Jasa Pembuatan Buku

Negeri ini pandai membuat slogan, tapi gagap saat ditanya: siapa pembunuh Munir? Di mana Wiji Thukul? Siapa penembak di Semanggi? Mengapa jenazah di Kanjuruhan hanya dihitung, tapi tak dihargai? Ketika negara tidak hafal lukanya sendiri, maka sejarah bukan jalan untuk belajar, melainkan labirin pengulangan yang menyakitkan.

Aku menyusun narasi ini bukan karena tahu semuanya. Tapi karena aku muak menjadi penonton. Setiap luka yang didiamkan adalah api kecil yang dibiarkan menyala dalam diam. Dan kita, rakyat kecil, hidup dalam rumah-rumah rapuh yang bisa terbakar kapan saja oleh kebohongan yang dibiarkan menghitam.

Perempuan sepertiku yang katanya harus di rumah saja, bisa jadi saksi sejarah. Karena kami tahu bahwa keadilan tak turun dari langit, tapi harus terus dipanggil, bahkan dengan suara paling lirih sekalipun. Sebab sunyi, bila dikumpulkan, bisa menggema lebih keras dari megafon kekuasaan.

Dan inilah daftar luka yang tak pernah dibereskan: kisah-kisah yang lebih sering dibisukan daripada diselesaikan. Bukan dongeng kelam, tapi fakta-fakta yang bertebaran dan tak pernah dijemput oleh keberanian negara.

Aku menuliskannya satu per satu bukan karena aku hafal seluruh datanya, tapi karena aku mengingat perihnya. Karena sebagai perempuan biasa, aku percaya: ingatan adalah bentuk perlawanan paling setia saat keadilan tak pernah datang.

Misteri-misteri ini bukan tentang kehilangan jawaban, tapi tentang keberanian kita menuntutnya. Mari kita buka satu per satu. Bukan untuk mengutuk masa lalu, tapi agar kita tak terus-menerus hidup sebagai bangsa yang menumpuk luka di bawah karpet kemajuan.

Tragedi 1965: Sunyi yang Disengaja

Almarhum Kakekku pernah bercerita bahwa di tahun 1965, orang bisa dibunuh hanya karena membaca buku yang salah. Atau karena mengenal orang yang salah. Puluhan ribu ditangkap tanpa pengadilan, banyak di antaranya perempuan.

Mereka dilecehkan, disiksa, diberi cap “komunis” seperti kutukan yang diturunkan pada anak cucunya. Tapi tak pernah ada kebenaran yang diungkap penuh, hanya narasi tunggal yang diajarkan di sekolah: bahwa mereka layak dibantai.

Aku membaca buku-buku sejarah alternatif, sembunyi-sembunyi, seperti sedang melakukan dosa. Karena hingga hari ini, menyebut 1965 secara terbuka masih bisa membuatmu dikucilkan.

Negara menciptakan hantu, lalu membunuh manusia karena takut pada bayangannya sendiri. Hingga kini, siapa yang memerintah pembantaian itu? Siapa yang menyusun daftar hitam? Semuanya tenggelam dalam kata sakti: “demi menjaga stabilitas.”

Tragedi ini adalah luka nasional yang tak kunjung diobati. Sebagian dari para korban tak pernah diadili, tidak diberi kesempatan bicara, bahkan tak diberi nisan. Mereka menjadi catatan kaki dari sejarah yang ditulis oleh mereka yang menang. Dan kemenangan itu dibangun di atas kuburan massal yang disembunyikan.

Beberapa tahun lalu, kuburan massal ditemukan di berbagai daerah: Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara. Tapi tak ada penyelidikan resmi, tak ada rekonsiliasi sungguh-sungguh. Bahkan saat para penyintas minta maaf hanya agar bisa hidup tenang, negara tak pernah minta maaf kembali.

Aku, seorang perempuan biasa, merasa miris melihat bangsa yang begitu cepat memaafkan pelaku kekerasan, tapi begitu lambat memberi ruang bagi korban untuk bicara. Sementara itu, anak-anak mereka tumbuh dengan stigma. Ditolak bekerja, ditolak menikah, ditolak berwarganegara seutuhnya.

Narasi 1965 dikunci oleh propaganda film dan buku pelajaran. Tapi di balik itu, ada ribuan perempuan yang ditelanjangi dan disiksa di kamp tahanan. Perempuan-perempuan yang sampai hari ini namanya hanya disebut saat ada seminar kecil, bukan di forum-forum kenegaraan.

“Kita bukan tak tahu kebenaran. Kita hanya terlalu takut membukanya karena ia memanggil terlalu banyak hantu.” – Perempuan yang Menatap Hantu-Hantu Tak Diadili

Tragedi Tanjung Priok (1984)

Mereka datang ke masjid bukan untuk merancang makar, tapi untuk mengadu gelisah. Masjid itu, yang seharusnya menjadi rumah damai, berubah menjadi tempat penghabisan. Pada September 1984, di Tanjung Priok, suara takbir bersahutan dengan suara letusan senjata.

Mereka yang berkumpul bukan prajurit, bukan pemberontak bersenjata. Mereka hanya warga sipil, umat biasa yang mempertanyakan kebijakan negara soal pendaftaran takmir masjid. Sebuah keresahan wajar dalam negara demokrasi. Tapi di mata penguasa waktu itu, pertanyaan bisa dianggap ancaman.

Dan seperti biasa, negara lebih cepat mengangkat senjata daripada mendengar. Ketika peluru mulai ditembakkan, tidak ada ruang untuk klarifikasi, tidak ada jeda untuk damai. Puluhan orang roboh.

Sebagian tewas di tempat. Mayat-mayat dikabarkan dibuang ke laut, atau dikubur tanpa nama, tanpa doa. Mereka lenyap dari catatan, tapi tidak dari ingatan keluarga. Tidak ada prosesi pemakaman, tidak ada pelukan terakhir.

Hanya duka yang menggantung di udara, dan pertanyaan yang tak pernah dijawab: “Mengapa?”

Negara menyebut itu sebagai “kesalahan prosedur.” Tapi bagaimana mungkin sebuah kesalahan menelan begitu banyak nyawa dan tak membawa seorang pun ke pengadilan? Seiring waktu, upaya rekonsiliasi dijalankan, pengadilan HAM berat digelar dua dekade kemudian. Tapi hasilnya memalukan.

Para pelaku dibiarkan melenggang. Sebagian malah naik pangkat. Hukum menjadi alat cuci darah, bukan alat penghapus luka. Seolah nyawa warga hanya angka, dan angka bisa dihapus bila tak menguntungkan.

Komnas HAM telah menyatakan ada pelanggaran HAM berat. Para saksi bersaksi. Para korban yang selamat buka suara. Tapi Kejaksaan Agung menolak menyidik lebih dalam. Alasan mereka dingin dan kering: kurang bukti. Ironis.

Karena bukti tak pernah benar-benar dicari. Negara punya cara untuk tak melihat, dan cara itu bernama impunitas. Di negeri ini, peluru bisa lebih dipercaya daripada pengakuan rakyat.

Sebagai perempuan, aku sering bertanya-tanya, bagaimana jika ayahku ada di sana saat itu? Bagaimana jika ibuku sedang berdoa, atau adikku sedang bermain di halaman masjid itu? Aku mungkin tak bisa melakukan apa pun kecuali menangis diam-diam di pojok rumah, di sela siaran berita yang tak pernah menyebut nama korban.

Karena kami tahu, suara kami, suara perempuan biasa selalu dianggap terlalu lirih untuk menembus dinding kekuasaan.

Tapi suara lirih pun bisa menjadi nyaring jika tak berhenti diulang. Tragedi Tanjung Priok bukan sekadar sejarah kelam, ia adalah pengingat bahwa negara, sekuat apapun ia tampak, bisa menjadi sangat rapuh jika dibangun di atas kebohongan dan darah rakyat sendiri.

Ia adalah alarm bahwa kekuasaan tanpa kontrol bisa berubah menjadi mesin pembunuh yang tak mengenal ruang suci.

Dan yang lebih menyesakkan: hingga hari ini, luka itu belum benar-benar dirawat. Tidak ada permintaan maaf resmi dari negara yang benar-benar menyentuh hati korban. Tidak ada restitusi yang layak. Tidak ada pengakuan yang jujur. Seolah mereka yang mati tak pernah hidup.

Seolah yang bersalah adalah mereka yang mengadu, bukan mereka yang menembak. Seolah manusia yang berdoa di masjid itu lebih murah harganya dari bayonet yang dihunus oleh negara.

Karena itu, aku menulis ini. Bukan sebagai sejarawan. Bukan sebagai aktivis. Tapi sebagai seorang anak bangsa yang percaya bahwa tidak semua luka harus membusuk dalam diam.

Tragedi Tanjung Priok mungkin telah ditutup dalam dokumen negara, tapi ia masih hidup dalam dada orang-orang yang percaya bahwa keadilan bukan kemewahan. Ia adalah hak. Dan hak itu, suatu hari nanti, harus ditegakkan meski dunia terus pura-pura lupa.

Pembunuhan Marsinah (1993)

Marsinah adalah buruh. Perempuan. Bersuara. Dan itu cukup untuk membuatnya dibunuh. Tahun 1993, ia ditemukan tewas secara mengenaskan di hutan, tubuhnya penuh memar dan tanda penyiksaan berat.

Sebelumnya, ia menuntut keadilan atas PHK sepihak dan memperjuangkan hak-hak buruh di pabrik jam tempatnya bekerja. Dalam sistem yang anti-kritik dan otoriter, suara kecil seperti milik Marsinah dianggap terlalu nyaring untuk dibiarkan hidup.

Sebagai perempuan dan pekerja, aku melihat wajah Marsinah dalam cermin. Ia tidak jauh. Ia adalah kita yang bangun pagi, lembur malam, tetap miskin, dan dipaksa bersyukur. Ia adalah cermin dari bagaimana negara melihat buruh sebagai angka statistik, bukan manusia.

Ketika buruh bersuara, negara menjawab dengan teror. Ketika buruh berorganisasi, negara menuduh makar. Dan ketika buruh perempuan bicara, negara membunuhnya dengan cara paling kejam.

Kasus Marsinah sempat disidangkan. Tapi seperti banyak kasus lain di negeri ini, semua aktor kunci lolos. Yang dibawa ke pengadilan hanya pelaku kelas bawah yang tampak seperti boneka yang siap dikorbankan. Tidak ada pertanggungjawaban dari militer, meskipun semua jejak mengarah ke sana.

Negara memberikan drama pengadilan tanpa menjawab siapa dalangnya, dan itu menandakan satu hal: pembunuhan terhadap buruh perempuan dianggap sepele jika ia membahayakan kepentingan elite.

Setiap kali ada Hari Buruh, namanya dielu-elukan. Tapi itu hanya jadi bagian dari seremoni. Spanduk, slogan, panggung, dan pidato, semuanya menggunakannya sebagai simbol. Tapi simbol tidak cukup.

Marsinah butuh keadilan, bukan pengingat tahunan. Di negeri ini, simbol seringkali hanya pelarian dari rasa bersalah kolektif yang tak ditindak. Dan ketika simbol diromantisasi tanpa disertai tindakan, ia berubah menjadi bentuk perbudakan baru terhadap sejarah.

Aku bertanya dalam diam, jika hari ini aku bicara soal ketidakadilan tempatku bekerja, apakah nasibku akan seperti Marsinah? Apakah tubuhku juga akan ditemukan dalam kondisi yang tak bisa dikenali? Karena itulah kami, perempuan pekerja, belajar menahan suara.

Bukan karena takut salah, tapi karena tahu dunia ini sering kali lebih kejam terhadap perempuan yang berani.

Struktur patriarki dan kapitalisme di negeri ini tidak hanya menindas secara ekonomi, tapi juga secara biologis dan psikologis. Perempuan seperti Marsinah tidak hanya dibunuh karena menuntut hak, tapi karena berani keluar dari konstruksi yang ditetapkan: tunduk, diam, patuh.

Ketika ia menuntut kesetaraan dan upah layak, ia juga sedang meruntuhkan sistem yang selama ini dikendalikan oleh suara laki-laki dan modal.

Kisah Marsinah tidak selesai di tahun 1993. Ia hidup dalam setiap perempuan buruh yang takut bicara. Ia hadir di pabrik-pabrik outsourcing, di ruang gaji yang tak sepadan, di kontrak kerja yang penuh jebakan. Dan selama pelakunya belum diadili, negara ini masih punya utang yang tak akan lunas hanya dengan monumen dan bunga.

“Di negeri yang menolak mendengar perempuan buruh, kebenaran selalu dihitung berdasarkan keuntungan, bukan keberanian.” – Perempuan yang Disamakan dengan Angka Produksi

Tragedi Semanggi I dan II (1998–1999)

Di ruang kamarku yang sempit, aku memutar ulang potongan berita tahun 1998 dan 1999 di saluran YouTube. Mahasiswa berlarian, suara tembakan terdengar samar. Kamera berguncang.

Seorang reporter berteriak histeris, “Mereka menembak!” Lalu layar berganti: peti jenazah, ibu yang menangis, spanduk bertuliskan “Reformasi Dikorbankan.” Semanggi bukan sekadar jembatan, tapi saksi bisu dari sebuah negeri yang gagal menjaga anak-anaknya sendiri.

Dan yang lebih menyakitkan: ia menjadi pengingat bahwa perjuangan kadang dibayar dengan peluru, bukan perubahan.

Tragedi Semanggi I dan II mencerminkan betapa ringkihnya komitmen negara terhadap demokrasi yang digadang-gadang. Dua tragedi, dua gelombang darah, dan tak satu pun yang tuntas. Mahasiswa ditembak karena meminta kebebasan sipil dan supremasi sipil atas militer.

Mereka menolak dwifungsi ABRI, menolak militerisme yang mencengkeram sistem pemerintahan. Tapi jawaban negara adalah timah panas. Dan hingga kini, peluru itu belum pernah benar-benar diarahkan pada meja pengadilan.

Komnas HAM sempat menyelidiki, mengumpulkan bukti, mewawancarai saksi. Tapi hasilnya tak pernah dibuka di ruang yang paling penting: parlemen. Mereka yang duduk di kursi empuk Senayan tampak terlalu nyaman untuk mengungkit luka lama.

Dan yang lebih menyakitkan lagi, beberapa nama yang diduga bertanggung jawab atas tragedi ini justru terus melaju dalam karier politik dan militer mereka. Tak tersentuh. Tak tergoyahkan.

Aku hanya perempuan biasa. Tapi ketika nanti aku punya anak, dan ia kelak menjadi mahasiswa yang kritis, yang turun ke jalan menuntut keadilan, apa jaminan bahwa ia akan kembali dalam keadaan utuh? Apa yang bisa kupegang dari sebuah demokrasi yang tidak bisa menjamin keselamatan anak-anaknya sendiri? Demokrasi tanpa keadilan hanya panggung kosong.

Yang berbicara hanyalah mereka yang punya mikrofon, yang mati adalah mereka yang berteriak tanpa pengeras suara.

Negeri ini pandai membuat monumen, tapi pelupa dalam mempertahankan ingatan. Nama-nama korban Semanggi tercatat di batu peringatan, di bunga tabur setiap bulan Mei, di poster-poster aksi mahasiswa.

Tapi tak pernah diperjuangkan dalam ruang sidang. Jika keadilan hanya berhenti pada prasasti, maka hukum tak lebih dari ukiran indah tapi mati. Dan bila pengadilan hanya diisi oleh formalitas, maka keadilan bukan lagi tujuan, melainkan hiasan.

Yang paling menyakitkan adalah melihat bagaimana generasi muda negeri ini diwarisi trauma, tapi bukan pengetahuan.

Sejarah reformasi diringkas dalam buku teks yang steril, seolah peluru tidak pernah ditembakkan, dan seolah darah mahasiswa tidak pernah mengalir di jalan-jalan ibukota. Ini bukan sekadar pelupaan, tapi pengkhianatan terhadap ingatan kolektif bangsa.

Lebih dari dua dekade telah berlalu, tapi nyala lilin untuk para korban tetap tak menemukan jawab. Ini bukan soal masa lalu. Ini soal keberanian hari ini untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.

Negara seharusnya berdiri di pihak mereka yang ditembak, bukan di balik tameng pelaku. Karena jika tidak, maka apa bedanya negara dengan rezim yang dulu mereka lawan?

“Negara yang membiarkan darah anak mudanya mengering di aspal, adalah negara yang memilih kekuasaan di atas nurani.” – Perempuan yang Menulis dari Tepian Mayat Demokrasi

Aktivis yang Hilang: Wiji Thukul dan Kawan-kawan

Namanya masih digumamkan dalam puisi: Wiji Thukul. Seorang penyair jalanan yang tak bersenjata, kecuali kata-kata yang menyala. Tapi justru dari nyalanya itulah kekuasaan merasa terancam.

Di negeri ini, kekuatan syair lebih ditakuti ketimbang deru senapan; karena puisi yang merangsang kesadaran rakyat dianggap lebih berbahaya daripada peluru yang membungkam tubuh.

Wiji Thukul menghilang menjelang reformasi 1998, seperti juga Herman Hendrawan, Petrus Bimo, dan para aktivis lainnya. Mereka tak pernah kembali. Mereka bukan sekadar korban penculikan. Mereka adalah simbol dari ketakutan negara terhadap rakyat yang berpikir.

Negara yang seharusnya menjamin hak hidup dan berekspresi, justru menjadi pelaku utama pembungkaman. Data Komnas HAM telah menyatakan bahwa kasus penghilangan paksa para aktivis reformasi merupakan pelanggaran HAM berat.

Namun hingga hari ini, laporan-laporan itu tak lebih dari tumpukan dokumen di rak lembaga negara. Tidak ada pengadilan. Tidak ada pertanggungjawaban. Bahkan pengakuan pun dihindari. Dalam administrasi kenegaraan, mereka tidak ada. Tapi dalam batin rakyat yang sadar, mereka tidak pernah absen.

Menonton teater kecil berjudul “Nyanyian yang Hilang” di YouTube, aku seperti dihantam kenyataan kedua kalinya.

Teater itu bukan sekadar pertunjukan, melainkan bentuk ingatan yang dipaksakan bertahan di tengah upaya pelupaan sistemik. Anak-anak muda dalam naskah itu yang memerankan Wiji dan kawan-kawan berbicara dalam bahasa luka, bahasa sejarah yang belum selesai.

Karya seni semacam ini menjadi kanal alternatif yang merawat kesadaran kritis, saat negara memilih untuk menutup mata. Ia menghidupkan kembali suara yang coba dibungkam, dan mengingatkan bahwa hilangnya para aktivis bukan bagian dari masa lalu, melainkan utang sejarah yang belum dibayar.

Kita hidup dalam negara yang gemar menyanyikan lagu kebangsaan, tapi memaksa para penyairnya bungkam. Yang mengabadikan pahlawan di buku pelajaran, tapi mengubur hidup-hidup mereka yang memperjuangkan nurani.

Ketika negara bisa tidur nyenyak sementara warganya tak pernah pulang, maka pertanyaan etis harus diajukan: sejauh mana legitimasi kekuasaan dibangun di atas hilangnya nyawa dan kebenaran? Dalam etika politik, kekuasaan tanpa pertanggungjawaban bukan hanya cacat moral, tetapi juga ancaman bagi demokrasi itu sendiri.

Seorang filsuf Jerman, Walter Benjamin, pernah berkata bahwa “setiap dokumen kebudayaan juga merupakan dokumen barbarisme.” Artinya, di balik setiap kemajuan suatu bangsa, ada jejak kekerasan yang sering disembunyikan.

Hilangnya Wiji Thukul dan kawan-kawan bukan hanya tentang orang yang dicuri hidupnya, tetapi tentang sistem yang membiarkan pelaku merasa tak perlu bertanggung jawab. Pelanggaran HAM berat yang tak pernah dituntaskan adalah cermin dari negara yang masih memelihara impunitas.

Ketika anak dan istri para aktivis yang hilang menua dalam ketidakpastian, publik perlahan melupakan. Lupa yang dibentuk oleh kelelahan, distraksi media, dan strategi diam yang terencana.

Di tengah euforia pembangunan dan narasi stabilitas, negara justru menghapus jejak luka demi menjaga citra. Tapi tanpa kejujuran sejarah, tak akan pernah ada keadilan. Dan tanpa keadilan, kita hanya hidup di tengah demokrasi semu yang memilih ingatan mana yang boleh diingat, dan suara mana yang layak didengarkan.

Sebagai perempuan biasa, aku hanya bisa bertanya dengan getir: bagaimana negara bisa bangga merayakan hari kemerdekaan, sementara masih ada warga yang tak pernah ditemukan? Bagaimana bisa kita menyebut negeri ini “merdeka”, jika kebenaran masih dikurung di lemari arsip, dan para penyairnya tak diberi ruang bicara? Kebenaran bukan sekadar fakta, tapi keberanian untuk menatap masa lalu tanpa takut pada bayangan sendiri.

Dan bangsa yang takut pada kebenaran, adalah bangsa yang sedang membunuh masa depannya sendiri.

“Negara ini bukan tidak tahu siapa yang menculik, tapi terlalu takut jika pengakuan akan membuka pintu kebenaran yang tak bisa dikunci lagi.” –  Perempuan yang Menggugat Para Penjaga Rahasia Berdarah

Pembunuhan Munir Said Thalib (2004)

Munir Said Thalib bukan sekadar nama. Ia adalah simbol keberanian sipil dalam menghadapi otoritas yang terlalu lama terbiasa bekerja dalam gelap. Ia adalah suara bagi mereka yang hilang paksa, disiksa tanpa proses, dan dibungkam oleh negara.

Ketika Munir dibunuh dengan racun arsenik dalam penerbangannya ke Belanda pada tahun 2004, itu bukan hanya kejahatan terhadap individu, tapi juga terhadap cita-cita keadilan.

Pembunuhan ini menciptakan preseden bahwa bahkan di ruang udara internasional yang seharusnya netral dan steril, negara bisa tetap melanjutkan pembunuhan politiknya, membungkusnya sebagai “insiden individu.”

Namun, logika publik tidak bisa terus-menerus dibodohi. Kasus Munir terlalu rapi untuk disebut sebagai tindakan satu orang. Pollycarpus memang dihukum, tetapi dari berbagai penyelidikan, termasuk Tim Pencari Fakta independen, muncul kesimpulan bahwa pembunuhan ini memiliki jejak kuat keterlibatan institusi negara, khususnya badan intelijen.

Fakta bahwa Munir sempat diikuti, bahwa jadwal penerbangannya bisa diakses oleh individu tertentu, dan bahwa prosedur standar diabaikan, mengindikasikan sebuah operasi yang terencana dan terstruktur.

Namun hingga kini, pengadilan tidak pernah menyentuh otak intelektualnya. Hukum berhenti di batas yang nyaman bagi kekuasaan.

Inilah yang membuat kita harus bicara bukan hanya tentang Munir sebagai korban, tapi Munir sebagai titik krusial dalam sejarah kegagalan sistem hukum Indonesia. Sebab jika hukum tunduk pada kekuasaan, maka keadilan berubah menjadi sandiwara. Seperti yang dikatakan Munir sendiri: “Hukum itu tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.”

Ironisnya, setelah kematiannya, justru kata-katanya makin terbukti. Setiap peringatan kematian Munir menjadi peringatan kolektif bagi demokrasi yang terus disabotase oleh elite negara sendiri.

Sebagai warga biasa, khususnya sebagai perempuan yang bukan bagian dari lingkaran kekuasaan atau aktivisme, saya merasa getir. Sebab jika pejuang sekuat Munir bisa dibunuh sedemikian sunyi, bagaimana dengan rakyat biasa yang mencoba bersuara? Jika kebenaran bisa diracuni, dan kebenaran itu tidak dibela secara terang, maka siapa pun bisa jadi korban berikutnya.

Munir menjadi lambang bahwa keadilan bisa dibunuh dengan sistematis, dan pembunuhnya bisa tetap berdasi, mengisi layar televisi, dan berbicara tentang “moral kebangsaan.”

Kasus Munir adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia berat yang seharusnya tidak bisa kedaluwarsa. Tapi negara lebih sering bernegosiasi dengan lupa daripada berkomitmen pada ingatan.

Pemerintah dari satu rezim ke rezim lain mewarisi ketakutan terhadap kebenaran yang bisa membuka borok institusional. Maka kasus Munir bukan hanya soal siapa yang meracik racun, tapi juga tentang siapa yang mengizinkan racun itu menjadi bagian dari sistem.

Dalam dunia hukum internasional, pembunuhan terhadap aktivis hak asasi manusia dianggap sebagai ancaman terhadap peradaban demokratis. Amnesty International, Human Rights Watch, dan lembaga-lembaga HAM global lainnya telah lama mendesak pengusutan tuntas terhadap kasus ini.

Namun tekanan itu selalu dibalas dengan birokrasi yang lamban dan bahasa diplomatik yang hampa. Indonesia mempermalukan prinsipnya sendiri ketika tidak bisa memastikan keadilan bagi warganya yang dibunuh karena memperjuangkan konstitusi itu sendiri.

Karena itu, selama kasus Munir belum menemukan ujung keadilan yang sejati, kita tidak sedang bicara tentang sejarah masa lalu, tapi tentang ancaman hari ini. Negara yang gagal mengusut pembunuh Munir adalah negara yang membiarkan ruang publik terus beracun oleh ketakutan.

Dan seperti kata bijak yang sering disitir: “Keberanian terbesar adalah tetap hidup untuk melawan ketidakadilan.” Munir mungkin telah tiada, tetapi pertanyaan tentang keadilan tidak bisa dikebumikan. Ia akan terus menggema, sampai bangsa ini memutuskan untuk tidak lagi takut pada kebenaran.

“Keadilan di negeri ini seperti kereta api yang mogok di tengah rel: semua tahu arahnya, tapi tak satu pun berani mendorong.” – Perempuan yang Berteriak di Depan Lokomotif yang Dibiarkan Berkarat

Kasus Salim Kancil (2015)

Salim Kancil bukan nama besar. Ia bukan tokoh nasional, bukan pemimpin partai, bukan orang yang sering muncul di layar kaca. Ia hanyalah seorang petani dari Lumajang yang mencintai desanya dan tanah tempat ia menanam harapan.

Tapi cinta itulah yang membunuhnya. Ketika tambang pasir ilegal menggerus kampungnya, Salim memilih melawan. Ia tahu risikonya. Tapi ia percaya, bahwa diam berarti setuju. Dan bagi orang kecil yang hidupnya bergantung pada alam, kehilangan tanah berarti kehilangan masa depan.

Pembunuhan Salim bukan pembunuhan spontan. Ia adalah hasil dari sistem yang lama dibiarkan busuk: hubungan gelap antara pengusaha tambang, aparat penegak hukum, dan pejabat daerah. Kekuasaan dan modal bersatu dalam kesepakatan sunyi yang melahirkan kekerasan terhadap warga yang bersuara.

Tubuh Salim diseret, disiksa, dan dibunuh secara brutal di tengah siang bolong, disaksikan banyak orang. Ini bukan sekadar pembunuhan, ini adalah eksekusi terhadap suara rakyat yang dianggap berbahaya karena jujur.

Setelah kematiannya, beberapa pelaku dihukum. Tapi hukum tidak menjangkau struktur kekuasaan yang menjadi mesin dari semua kekejaman itu. Para dalang, penyandang dana, dan pejabat yang memberi restu tetap aman di balik kantor ber-AC, berdalih bahwa mereka tidak tahu.

Negara datang terlambat, seperti biasa lebih cepat memadamkan reaksi publik daripada memutus akar kejahatan. Salim pun berubah dari manusia menjadi simbol. Namanya diperingati, tetapi tanah yang ia perjuangkan masih digerus. Maka kematiannya tak pernah benar-benar ditebus.

Sebagai perempuan, aku membayangkan bagaimana jika Salim adalah ayahku. Yang pulang dari sawah dengan tubuh penuh luka karena menolak tambang. Dan aku harus tetap tinggal di rumah yang kini dikelilingi truk-truk pasir, suara mesin pengeruk, dan udara yang tak lagi bersih.

Apa yang bisa kulakukan? Menangis di balik tirai jendela? Menunggu media melirik, lalu pergi? Perempuan seperti aku tahu, bahwa hukum tidak hidup dari pasal-pasal, tetapi dari siapa yang punya suara dan siapa yang punya perlindungan. Dan kami, warga desa, punya sangat sedikit dari keduanya.

Yang lebih menyakitkan, kasus ini perlahan hilang dari radar media. Hari-hari berlalu, dan tambang terus berjalan. Pemerintah daerah menyebut aktivitas itu sebagai bagian dari “pengembangan wilayah.” Mereka menyamakan tanah rakyat dengan proyek, menyamakan alam dengan angka-angka pendapatan.

Padahal mereka lupa, pembangunan yang tumbuh di atas darah rakyat bukan kemajuan, tapi kekejaman yang disulap menjadi statistik.

Kematian Salim Kancil seharusnya menjadi titik balik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Di banyak tempat lain di Indonesia, Kendeng, Wadas, Rembang, Papua, banyak Salim-Salim baru bermunculan.

Mereka bukan kriminal, bukan radikal. Mereka hanya ingin menjaga tanah, sungai, dan gunung yang menjadi sumber hidup komunitasnya.

Tapi ketika mereka bersuara, yang datang bukan perlindungan, melainkan intimidasi. Jika mereka mati, siapa yang akan tahu? Siapa yang akan mencatat nama mereka, selain keluarga yang tertinggal?

Kasus Salim menunjukkan bahwa di negeri ini, orang yang peduli pada alam bisa dianggap musuh pembangunan. Negara yang seharusnya menjadi penyeimbang antara rakyat dan modal, justru sering memilih berdiri di sisi yang menguntungkan secara ekonomi.

Hukum kehilangan arah ketika berhadapan dengan uang. Dan keadilan menjadi mewah bagi mereka yang tidak punya koneksi politik.

Maka kita patut bertanya: “Apa makna ‘alam Indonesia’ jika yang menjaganya justru dikubur oleh pengusaha?” Selama tanah lebih dihargai karena hasil tambangnya daripada karena kehidupan yang tumbuh di atasnya, maka tragedi seperti Salim akan terus berulang.

Dan kita, jika memilih diam, adalah bagian dari sistem yang membiarkannya terjadi.

Tragedi Wasior dan Wamena (2001–2003)

Di atas tanah Papua, suara burung cendrawasih kalah nyaring oleh deru helikopter militer. Di Wasior (2001) dan Wamena (2003), kekerasan bukan sekadar insiden, tapi bagian dari pola.

Aparat keamanan yang seharusnya menjaga warga datang dengan senjata, membakar rumah, menangkap sembarang orang, dan menyisakan trauma massal. Puluhan warga sipil tewas, ratusan lainnya ditahan dan disiksa.

Semua itu terjadi bukan karena perang, tapi karena Papua terus dicurigai sebagai musuh di dalam negeri.

Narasi resmi pemerintah menyebut kejadian itu sebagai “penertiban” atau “operasi keamanan.” Tapi siapa yang benar-benar ditertibkan?

Laporan dari KontraS dan Amnesty International mencatat bahwa korban sebagian besar adalah warga sipil tak bersenjata: petani, guru, anak-anak sekolah, bahkan tokoh agama.

Mereka dipukul, ditelanjangi, dipaksa mengaku terlibat separatisme. Padahal mereka hanya ingin hidup damai di tanah mereka sendiri. Sejak kapan ingin hidup damai menjadi tindakan kriminal?

Tragedi Wasior dan Wamena menelanjangi wajah kolonialisme dalam negeri. Kita, yang menyebut diri bangsa merdeka, masih menindas bagian dari diri kita sendiri. Ketika warga Papua dibantai atas nama stabilitas, maka yang dipertahankan bukan kesatuan, tapi ilusi kekuasaan.

Ini bukan sekadar pelanggaran HAM. Ini peristiwa sistemik yang mengoyak nilai kemanusiaan dan memperlihatkan bagaimana negara bisa berubah menjadi mesin pemusnah ketika takut kehilangan kendali.

Pemerintah memang sempat memberikan “kompensasi” kepada beberapa korban. Tapi uang bukanlah keadilan. Ia tidak menghidupkan yang mati, tidak menghapus trauma, dan tidak mengadili pelaku.

Yang lebih tragis, para aparat yang diduga terlibat tidak hanya bebas, tapi beberapa justru diberi penghargaan atau promosi jabatan. Bukannya ada pengadilan HAM yang transparan dan menyeluruh, yang ada justru pembungkaman lebih dalam: media dibatasi, aktivis dituduh makar, dan korban diminta melupakan.

Sebagai perempuan biasa, aku tidak punya kekuasaan untuk mengubah sistem. Tapi aku punya empati. Saat melihat gambar anak-anak Papua menggambar rumah terbakar dan ibu mereka ditembak, aku tahu ini bukan sekadar konflik politik atau urusan keamanan nasional.

Ini tragedi manusia. Dan tragedi manusia adalah urusan semua orang. Tak perlu menjadi aktivis untuk mengutuk ketidakadilan. Cukup menjadi manusia.

Laporan demi laporan telah dirilis. Komnas HAM, LSM internasional, dan organisasi keagamaan sudah berbicara. Tapi negara tetap tuli. Yang diubah hanyalah istilah dari “operasi militer” menjadi “pengamanan daerah.”

Sementara di lapangan, warga Papua tetap hidup dalam bayang-bayang. Sekolah penuh ketakutan, rumah ibadah dijaga tentara, dan setiap kerumunan dianggap potensi pemberontakan. Papua menjadi tempat di mana kehidupan sipil terus-menerus diintervensi dengan pendekatan militeristik.

Dan ironi paling getir adalah ini: Papua disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia, namun diperlakukan seolah bukan bagian dari keluarga bangsa.

Jika memang Papua adalah saudara, mengapa yang mereka dapatkan adalah curiga, bukan cinta? Jika tanah mereka adalah tanah kita, mengapa kita membiarkan tubuh-tubuh mereka dibungkam tanpa nama dan tanpa keadilan?

“Kalau tanah Papua adalah bagian dari Indonesia, kenapa mereka diperlakukan seperti bukan manusia?” Pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan slogan, tetapi dengan keberanian negara untuk melihat luka, mengaku salah, dan bertindak.

Karena selama keadilan belum tegak di Papua, Indonesia belum sepenuhnya Merdeka dan sejarah akan terus menuntut kita untuk jujur.

Tragedi Kanjuruhan (2022)

Hari itu seharusnya menjadi malam yang penuh sorak. Stadion Kanjuruhan bersinar terang, ribuan suporter datang dengan jersey dan harapan. Anak-anak digendong ayahnya, ibu-ibu membawa bekal kecil, dan remaja bernyanyi dengan dada membuncah.

Tapi sorak-sorai itu berubah menjadi jerit, menjadi desah nafas terakhir yang tertahan gas air mata. Dalam sekejap, tribun menjadi liang kematian.

Sebanyak 135 jiwa terenggut, bukan karena bencana alam, bukan karena perang, tapi karena negara gagal melindungi rakyatnya dalam sebuah pertandingan sepak bola.

Aku hanya menonton dari layar kaca. Tapi nyeri itu nyata. Ketika aku melihat seorang ibu menggendong anaknya yang kaku dan biru. Ketika tubuh-tubuh diseret di lorong sempit yang semestinya jadi jalur evakuasi.

Ketika gas air mata ditembakkan ke tribun tertutup, padahal itu adalah pelanggaran keras terhadap protokol FIFA. Tapi di negeri ini, apa artinya protokol jika nyawa rakyat selalu kalah penting dibanding ego aparat dan gengsi lembaga?

Pengadilan memang digelar. Tapi seperti biasa, hanya beberapa nama kecil yang dijadikan tameng. Polisi bawahan, petugas pintu stadion, panitia lapangan. Sedangkan yang berdiri di pucuk komando? Bebas.

Kapolda dilindungi, menteri olahraga tak tersentuh, Presiden hanya menyampaikan duka dengan nada birokratis. Tidak ada rasa malu di wajah negara, seolah-olah tragedi ini hanyalah cacat kecil dalam kalender, bukan darah yang mengalir di jalan pulang para suporter.

Aku membayangkan: bagaimana jika keluargaku ada di sana? Ia memohon izin untuk nonton bola. Lalu yang pulang bukan soraknya, tapi jasadnya. Apa cukup hanya dengan karangan bunga dan permintaan maaf? Tidak.

Yang kami butuhkan adalah keadilan, bukan basa-basi politik. Tapi di negeri ini, keadilan terlalu sering ditukar dengan perdamaian palsu, diselimuti waktu hingga luka itu dipaksa kering meski nanahnya belum berhenti mengalir.

Tragedi Kanjuruhan membuka satu kenyataan pahit: bahkan di ruang hiburan, kami tidak aman. Stadion, tempat di mana tawa dan semangat harusnya berkumpul, bisa berubah jadi kuburan massal dalam hitungan menit.

Dan saat rakyat bertanya, negara lebih sibuk menyusun narasi pengalihan daripada mendengar suara duka. Bahkan investigasi tak lepas dari tekanan, rekaman hilang, saksi dibungkam, dan kita semua diajak percaya bahwa ini hanyalah “kesalahan prosedur.”

Sebagai rakyat biasa, kami tak meminta banyak. Bukan stadion baru. Bukan patung peringatan. Yang kami minta hanyalah pengakuan bahwa nyawa kami bernilai, bahwa suara kami pantas didengar, dan bahwa tidak ada aparat yang lebih sakti daripada konstitusi.

Tapi sepertinya itu terlalu mahal di negeri ini, tempat di mana hidup rakyat bisa diukur dari pos anggaran dan perhatian publik yang cepat lupa.

Kanjuruhan menjadi bukti bahwa kekerasan bisa hadir dalam bentuk yang paling terang, paling bising, dan paling terlihat, namun tetap tidak dianggap kejahatan.

Seakan-akan sorak ribuan orang bisa menutupi dentuman maut, dan tribun yang kosong bisa dijadikan dalih untuk membersihkan jejak. Hukum berdiri di tengah lapangan, tapi tak berani meniup peluit pelanggaran.

Maka kami hanya bisa berkata: “Keadilan di negeri ini terlalu sering seperti tribun kosong: hanya gemanya yang terdengar.” Tidak ada langkah kaki menuju penyelesaian, hanya gema-gema janji yang memantul tanpa arah.

Dan selama negara lebih sibuk menjaga citra daripada merawat luka, maka tragedi seperti Kanjuruhan bukan yang terakhir, melainkan peringatan yang tak didengar.

Kasus Rempang (2023)

Rempang, sebuah pulau kecil yang dulu jarang terdengar, tiba-tiba menjadi sorotan karena satu hal: tanahnya diinginkan, warganya dianggap penghalang. Pemerintah datang membawa rencana besar: “Rempang Eco-City,” proyek ambisius hasil kolaborasi dengan investor asing.

Di atas kertas, ia menjanjikan kemajuan, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Tapi di tanah yang sama, yang terjadi justru pemaksaan, kekerasan, dan pemutusan akar kehidupan ribuan keluarga. Di manakah letak “eco” dan “city” jika anak-anak dikejar gas air mata di sekolah mereka?

Ibu-ibu di Rempang memeluk anak mereka yang gemetar. Rumah-rumah dijaga aparat, suara mesin alat berat menggantikan suara ombak. Anak-anak tak lagi belajar tentang laut, melainkan tentang cara berlari dari intimidasi.

Pemerintah bilang, ini demi masa depan. Tapi masa depan siapa? Mereka yang tinggal di gedung kaca? Atau warga pesisir yang sejak kecil menggantungkan hidup pada laut dan tanahnya? Di mata kekuasaan, tampaknya rumah kami tak lebih dari titik koordinat di peta proyek.

Aku menyaksikan video seorang anak yang tak bisa bicara selama berhari-hari setelah sekolahnya diserbu. Matanya kosong, tubuhnya mengejang jika mendengar suara keras. Aku bayangkan itu adikku.

Dan aku tahu, sebagai orang biasa, tak ada yang bisa kulakukan kecuali memeluk dan berdoa. Karena negara tak melihat kami sebagai manusia. Kami hanyalah “penduduk terdampak” dalam dokumen-dokumen investasi.

Kami adalah statistik yang bisa digeser demi rencana yang sudah diteken di meja makan pejabat.

Di media sosial, pemerintah berupaya keras menjual citra: spanduk “Rempang Eco-City” dipoles dengan istilah modern, video promosi dibuat dengan drone dan musik optimistis.

Tapi tidak ada satu pun video yang memperlihatkan bagaimana laut itu menjadi bagian dari ritual warga, bagaimana hutan itu menjadi tempat ziarah, bagaimana rumah yang ingin digusur itu adalah warisan tujuh generasi.

Investor menyebutnya lahan kosong. Kami menyebutnya rumah. Tapi siapa yang didengar oleh negara?

Ketika warga menolak dan memeluk tanahnya, aparat datang dengan dalih “mengamankan situasi.” Beberapa ditangkap. Sebagian dikriminalisasi. Media menyebutnya “kericuhan,” padahal itu adalah bentuk terakhir dari perlawanan orang-orang yang tidak punya kuasa.

Di negeri ini, tangis warga bisa dikalahkan oleh proposal proyek. Dan kemajuan lebih sering dibela daripada kemanusiaan.

Aku bertanya dalam hati: jika negara ini dibangun atas nama rakyat, mengapa ia lebih sibuk melayani investor daripada mendengarkan jerit bayi yang tak bisa menyusu karena ibunya trauma? Apakah republik ini masih milik kami? Atau sudah dijual lembar demi lembar kepada pemodal, sampai tak ada lagi ruang untuk kami berdiri tanpa izin?

Rempang bukan sekadar konflik agraria. Ia adalah cermin retak dari arah pembangunan kita. Ketika tanah adat bisa diubah jadi kawasan industri dengan satu tandatangan, ketika nilai hidup warga kalah dari nilai investasi, maka kita sedang menggali lubang untuk masa depan yang rapuh.

Pembangunan yang membakar akar akan tumbuh tanpa jiwa. Dan jiwa itulah yang sedang dicabut dari Rempang.

“Apa guna negara jika ia hanya menjamin hak hidup investor, tapi tidak menjamin air susu anak kami?” Sebuah negara seharusnya berdiri di tengah, bukan membela satu sisi.

Tapi Rempang membuktikan: ketika uang bicara, nyawa bisa dibungkam. Maka satu-satunya harapan kami tinggal pada ingatan rakyat agar tragedi ini tak terkubur dalam nama proyek yang terlalu mewah untuk menampung air mata.

Misteri 2024–2025: Luka Terbaru yang Tak Dituntaskan

Tahun-tahun ini, negeri ini tampak sibuk menepuk-nepuk bahunya sendiri. Jalan tol baru dibuka, konser musisi dunia ramai disambut, debat capres disiarkan ke seluruh penjuru, dan teknologi disebut-sebut sebagai wajah masa depan. Tapi di balik gegap gempita itu, ada deretan nama yang perlahan memudar dari ingatan publik.

Aktivis lingkungan yang hilang di Kalimantan karena menolak tambang nikel, wartawan perempuan yang diintimidasi karena membongkar korupsi di lingkar kekuasaan, remaja Papua yang ditembak karena salah sasaran, semuanya tercecer di tepi sejarah, tak sempat masuk ke dalam pasal hukum.

Kita hidup di era di mana penderitaan hanya perlu trending selama dua hari, lalu hilang ditelan gelombang konten baru. Semua tragedi tampak sementara, semua luka menjadi cerita yang tidak selesai. Negara tidak membantah, tapi juga tidak hadir. Ia hanya memberi kita diam.

Dan diam itu, perlahan, menjelma menjadi bentuk kekerasan paling halus. Kekerasan yang tidak berdarah, tapi menghapus nama, memudarkan bukti, dan membiarkan pelaku tetap duduk di ruang kekuasaan tanpa rasa bersalah.

Pada 2025, satu kejadian mengguncang nurani yang masih tersisa: seorang guru honorer dibunuh di ruang kelas karena menegur anak pejabat.

Video CCTV sempat beredar, netizen geram, tapi seperti pola yang sudah terlalu sering kita lihat, video itu menghilang, pemberitaan diredam, keluarga diberi “uang damai,” dan kasus pun dikubur.

Tidak ada pengadilan, tidak ada penyelesaian. Hanya ada sunyi yang dipelihara agar semua tampak normal. Di negeri ini, ingatan bisa dibeli, dan kebenaran bisa ditutup dengan cek bersampul rapi.

Tragedi demi tragedi berjalan beriringan dengan rutinitas pemerintahan. Rapat-rapat terus digelar, pidato tentang kemajuan terus diperdengarkan, tapi tidak satu pun menyebut luka rakyat.

Negara begitu rajin merawat citra, tapi malas merawat keadilan. Kita diberi ilusi bahwa sistem sedang bekerja, tapi hasilnya tak pernah bisa kita lihat. Yang terlihat hanya nama-nama korban yang menjadi angka, dan angka yang menjadi statistik.

Sebagai perempuan biasa, aku hanya bisa membaca semua ini dari layar ponsel, di sela waktu mengaduk kopi atau berbaring scrool social media. Tapi dalam hati, aku menyimpan amarah yang tak selesai.

Aku bertanya: sampai kapan kita hidup dalam negara yang begitu rajin menutup luka, tapi tak pernah benar-benar mengobatinya? Sampai kapan kita akan mencatat nama demi nama korban, tanpa pernah bisa menuliskan satu kata penting: selesai?

Negeri ini tampaknya telah membentuk pola. Pola di mana korban selalu lebih banyak daripada pelaku yang dihukum. Di mana pelanggaran selalu diikuti dengan pengalihan isu. Di mana rakyat yang bersuara dianggap mengganggu stabilitas.

Dan dalam pola ini, kita diajari diam. Diajari lupa. Diajari untuk menganggap ketidakadilan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Tapi kita tidak seharusnya terbiasa. Tidak seharusnya tenang saat ketidakadilan berdiri tepat di depan pintu rumah. Ketika seorang guru dibunuh dan negara memilih diam, ketika seorang anak Papua ditembak dan hanya diberi maaf dari mikrofon, kita tahu bahwa luka ini bukan hanya luka korban, tapi luka bangsa yang sedang kehilangan akal sehat dan hati nuraninya.

Kita terlalu terbiasa menyaksikan ketidakadilan hingga lupa bahwa yang tidak adil seharusnya dilawan, bukan diterima. Mungkin kita hanya rakyat kecil. Tapi selama masih ada yang menulis, masih ada yang mencatat, masih ada yang bertanya, maka kekuasaan belum bisa memonopoli kebenaran. Karena sejarah bukan hanya milik mereka yang berkuasa. Ia juga milik kita yang menolak lupa.

Negeri yang Tak Hafal Lukanya

Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tahu bahwa negeri ini menyimpan terlalu banyak rahasia. Terlalu banyak nama yang hilang dalam diam.

Terlalu banyak kebenaran yang dibungkus dalam eufemisme seperti “isu sensitif,” “stabilitas nasional,” atau “kepentingan pembangunan.” Padahal semua itu hanya cara lain untuk berkata: “kami tidak peduli.”

Sebagai perempuan biasa, aku menulis ini bukan untuk menjadi pahlawan. Aku hanya ingin mencatat. Agar kelak, ketika anak-anakku bertanya, aku bisa menjawab: “Ibu tidak diam.” Karena dalam sejarah, yang diam sama bersalahnya dengan yang menindas. Dan aku tak ingin menjadi bagian dari kejahatan itu.

Negeri ini tidak kekurangan korban. Yang kurang hanyalah keberanian untuk membela mereka setelah mereka mati. Kita terlalu sering memuja pahlawan yang gugur, tapi mengabaikan perjuangan mereka saat masih bernyawa. Kita terlalu pandai berduka, tapi terlalu malas untuk bertindak.

Aku tahu tulisan ini tak akan mengubah dunia. Tapi mungkin, ia bisa menjadi nyala kecil di antara gelap yang dibuat sistematis. Karena dalam dunia yang penuh tipu daya, mengingat adalah bentuk perlawanan. Dan menuliskan luka adalah cara untuk menolak mati pelan-pelan.

Maka aku meminta, bukan sebagai aktivis, bukan sebagai akademisi, tapi sebagai manusia biasa, agar negara berhenti berpura-pura lupa. Sudah terlalu lama kita dikubur dalam propaganda, dibungkam oleh eufemisme birokrasi, dan disesatkan oleh narasi tunggal yang nyaman bagi penguasa tapi menyakitkan bagi korban.

Keadilan tidak akan datang dari undang-undang jika undang-undang ditulis oleh tangan-tangan yang takut pada sejarahnya sendiri.

Aku menuntut kepada para pejabat, para pemegang kendali, para pembuat kebijakan: jangan hanya membangun gedung, bangun pula keberanian untuk membuka arsip kebenaran.

Jangan hanya merayakan kemerdekaan dengan parade, rayakan dengan kejujuran. Jangan hanya membentuk komisi baru, bentuk juga keberanian moral untuk mengakui kesalahan negara

Sejarah tidak akan menunggu kita untuk nyaman. Sejarah menagih keberanian, dan keadilan bukan soal waktu, tapi soal pilihan. Maka pilihlah untuk berpihak pada yang selama ini diabaikan. Telinga penguasa harus belajar mendengar tanpa seleksi. Dan mata hukum harus belajar melihat tanpa takut.

*Penulis adalah Chalista Aiska Putri, Mahasiswi Universitas Negeri Makassar.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store