Biar Gak Cuma Jaga Nama, PMII Harus Berani Melangkah Lebih Nyata

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini— Saya nulis gagasan ini bukan karena ngerasa paling pinter atau paling senior di PMII. Tapi saya percaya, semua kader punya hak dan tanggung jawab buat mikir, nyumbang ide, bahkan kritik, selama tujuannya baik: tentu buat kebaikan organisasi kita sendiri. Dunia sekarang nggak lagi statis, semua berubah cepet. Kalau kita cuma sibuk nostalgia dengan masa lalu atau sekadar jaga eksistensi, ya bisa-bisa tinggal nama doang.
Saya pengen ngajak kita semua mulai mikir hal-hal yang kadang gak sempat dibahas pas forum resmi. Kita udah sering ngomong soal ideologi, kaderisasi, atau nasionalisme. Tapi gimana kalau kita ngobrol juga soal teknologi, literasi finansial, manajemen yang gesit, dan cara kerja yang lebih efisien? Biar PMII secara general ini bukan cuma kuat secara nilai, tapi juga relevan secara cara kerja dan dampaknya nyata.
Teknologi Jangan Cuma Buat Bikin Twibbon
Ngomongin teknologi, rasanya kita masih suka gagap. Bikin twibbon atau promosi agenda lewat IG story itu bagus, tapi nggak cukup. Kita perlu lebih dari itu. Dunia lagi bahas kecerdasan buatan, energi terbarukan, sampai solusi digital buat problem sosial. Masa kita masih sibuk nyari-nyari charger LCD infocus yang ilang?
Kenapa PMII nggak bikin komunitas teknologi? Bayangin kalau kader dari jurusan teknik, IT, statistik, komunikasi, dan desain duduk bareng, saling lempar ide, dan ngerjain proyek bareng. Mungkin kita bisa bikin aplikasi advokasi berbasis data, atau alat bantu untuk desa-desa terpencil. Inovasi itu bisa dimulai dari realitas lokal yang kita pahami.
Yang penting, kita berani nyoba. Gak apa-apa gagal, asal jangan takut mencoba. Ruang buat eksperimen ini penting banget, karena dari situ bisa lahir banyak hal yang sebelumnya gak kebayang. PMII harus mulai dorong itu: budaya riset, eksperimen, dan eksplorasi teknologi.
Melek Finansial Itu Keren, Biar Hidup Gak Numpang Proposal Terus
Literasi keuangan tuh sebenarnya hal dasar, tapi sering banget dilupain. Padahal penting, lho. Gimana caranya ngatur uang pribadi, ngerti cara nabung yang bener, sampai tahu konsep investasi sederhana. Ini semua bisa ngebantu kader supaya hidupnya gak selalu keteteran. Kita butuh kader yang tangguh secara ideologis dan juga stabil secara finansial.
Organisasi juga butuh literasi keuangan. Jangan tiap kali mau ngadain acara harus ngemis-ngemis proposal sana-sini. Bukan berarti kita anti proposal ya, tapi kita juga harus mulai mikir gimana cara organisasi bisa mandiri. Mungkin dari usaha bareng, jualan produk kader, ngadain pelatihan, atau yang lebih kontemporer bekerja sama seperti menggunakan platform tiktok afiliat, yang penting bisa hasilin dana. Peluangnya banyak banget, tinggal mau atau enggak.
Kalau kita bisa mandiri, keputusan organisasi pun jadi lebih berdaulat. Kita gak perlu takut tekanan dari luar. Kita bisa tentuin arah gerak sesuai nilai-nilai kita sendiri. Dan itu mahal banget nilainya.
Manajemen Organisasi Itu Nggak Harus Ribet, Tapi Harus Jelas
Banyak kader PMII semangatnya luar biasa, tapi bingung waktu udah dapet amanah. Gak tahu harus mulai dari mana, program kerja kayaknya ruwet, dan komunikasi antar jenjang kadang nggak nyambung. Ini masalah manajemen. Dan, manajemen yang baik itu bukan soal bikin SOP yang njlimet, tapi gimana biar kerja kita jelas, gampang dipahami, dan bisa dilanjutkan siapa pun.
Visi dan misi organisasi harus bisa diterjemahin ke aksi yang konkret. Bukan cuma jadi pajangan di banner musyawarah. Pengurus rayon sampai PB perlu dikasih alat bantu yang memudahkan mereka kerja. Mungkin bisa mulai dari kalender kegiatan digital, form evaluasi sederhana, atau bahkan grup koordinasi lintas wilayah.
Jangan lupa juga, regenerasi harus dipikirkan sejak awal. Jangan tunggu masa jabatan habis baru mikir siapa pengganti. Manajemen kader itu kunci. Kita harus bisa pastikan, setiap kader yang masuk sistem bisa naik kelas—bukan cuma secara jenjang formal, tapi juga kapasitas dan karakter.
Pemimpin Bukan Cuma Pandai Orasi, Tapi Tahu Arah
Pemimpin dalam PMII itu gak cukup cuma bisa orasi atau ngisi sambutan. Kita butuh pemimpin yang bisa baca zaman, ngerti perubahan, dan berani ambil keputusan taktis meski gak populer. Tapi tentu saja, tetap berpijak pada nilai Aswaja, NDP, AD/ART dan nilai-norma lainnya.
Banyak masalah di masyarakat yang gak bisa selesai hanya dengan statement. Kita butuh pemimpin yang ngerti data, paham konteks, dan mau terjun langsung. Bukan sekadar duduk di belakang meja atau muncul pas ada kamera.
Saya yakin banyak kader PMII yang punya potensi jadi pemimpin hebat. Tapi potensi itu harus diasah. Maka kaderisasi kita harus serius. Bukan cuma soal ikut jenjang, tapi bener-bener jadi ruang latihan berpikir, merumuskan strategi, dan belajar bikin keputusan dalam tekanan. Itu yang akan membentuk pemimpin sejati.
Digitalisasi Jangan Cuma Slogan, Tapi Jadi Budaya
Digitalisasi itu udah kebutuhan dasar. Apalagi buat organisasi sebesar PMII yang punya jaringan dari Sabang sampai Merauke. Tapi sering kali kita masih sibuk ngurus absen manual, bikin laporan pake kertas, atau cari data kader lewat chat pribadi.
Coba bayangin kalau semua administrasi kita udah digital. Database kader bisa diakses gampang, laporan kegiatan tinggal upload di sistem, dan evaluasi program bisa dibaca semua tingkatan. Ini gak cuma bikin kerjaan efisien, tapi juga bikin organisasi kita lebih transparan dan profesional.
Kita gak usah langsung bikin aplikasi canggih. Mulai dari yang sederhana: pakai Google Form buat evaluasi, bikin Google Drive rayon-cabang, atau bikin dashboard keuangan transparan. Yang penting konsisten dan terus ditingkatkan.
Kita Harus Mulai Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Saya sering liat organisasi mahasiswa terlalu sibuk jaga eksklusivitas. Takut banget kalau ada kerja bareng dianggap “lepas ideologi”. Padahal, justru dari kolaborasi itulah kita bisa belajar banyak hal dan memperluas pengaruh.
PMII harus jadi ruang terbuka. Kolaborasi bukan berarti kehilangan identitas, tapi memperkuat dampak. Kita bisa kerja bareng komunitas lingkungan, kelompok literasi, startup sosial, atau bahkan pemerintah lokal—selama nilainya sejalan.
Kita butuh itu, karena tantangan zaman ini terlalu besar kalau dihadapi sendirian. Ekonomi digital, perubahan iklim, kekerasan berbasis gender, sampai intoleransi. Kita harus rangkul banyak pihak, sambil tetap jaga nilai-nilai dasar kita.
Evaluasi Bukan Buat Cari Kambing Hitam
Budaya evaluasi di PMII kadang masih dianggap formalitas. Di akhir periode, bikin laporan tebel, terus disimpan di lemari. Padahal, evaluasi itu penting banget buat tumbuh. Kita harus biasakan nanya: “Apa yang berhasil? Apa yang gagal? Kenapa bisa gitu?”
Evaluasi yang jujur dan terbuka bisa jadi bahan bakar perubahan. Kita belajar dari pengalaman, bukan nyalahin orang. Bahkan kegiatan yang gagal pun bisa jadi referensi penting buat generasi selanjutnya.
Dan satu hal penting: evaluasi juga harus menyenangkan. Jangan sampai jadi ajang saling sindir atau nyari kambing hitam. Bikin suasana yang cair, reflektif, dan penuh semangat belajar bareng.
PMII Itu Punya Ruh, Jangan Hilangkan Itu
PMII bukan cuma organisasi mahasiswa biasa. Kita punya sejarah, punya tradisi, dan punya nilai yang khas: Aswaja dan nasionalisme. Ini bukan sekadar simbol, tapi ruh yang membedakan kita dari yang lain. Di tengah arus pragmatisme organisasi hari ini, PMII harus jadi benteng nilai.
Islam Nusantara itu jalan tengah yang ramah dan penuh toleransi. Nasionalisme kita bukan tempelan, tapi lahir dari pengalaman sejarah panjang. Dua hal ini gak boleh lepas, karena di situlah kekuatan kita sebagai kader perubahan.
Kalau kita lupa ruh itu, PMII bisa kehilangan arah. Bisa jadi organisasi yang sibuk tapi hampa. Maka menjaga nilai—di tengah inovasi dan perubahan zaman—adalah kunci agar PMII tetap relevan dan kuat.
Mulai dari Langkah Kecil, Biar Gak Cuma Jadi Wacana
Saya nulis ini sambil ngopi, mikir, dan kadang merasa juga: apa iya kita bisa berubah? Tapi saya percaya, perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil yang dikerjakan serius. Kita gak butuh revolusi besar-besaran. Kita cuma butuh konsistensi dan keberanian buat mulai.
PMII punya semua modal: kader-kader cerdas, jaringan luas, nilai luhur, dan sejarah panjang. Tinggal sekarang, kita berani gak buat melangkah lebih jauh? Saya yakin, kalau kita mulai dari sekarang—dengan jujur, kolaboratif, dan penuh semangat—kita gak cuma jaga nama. Kita akan jadi bagian penting dari masa depan Indonesia.
Penulis adalah Kholisatul Hasanah, Kopri PMII Jawa Timur.