Konflik Iran-Israel: Ini Bukan Soal Agama, Tapi Geopolitik, Ideologi, dan Harga Diri Bangsa

Jurnalis: Masudi
Kabarbaru,Opini- Beberapa hari terakhir, dunia kembali menyaksikan ketegangan di kawasan Timur Tengah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Iran kembali meluncurkan rudal ke pangkalan militer Amerika Serikat di Bahrain dan Kuwait. Serangan ini disebut sebagai respons atas pemboman fasilitas nuklir Iran oleh AS.
Saling serang ini menambah bara dalam konflik yang sejak lama tak terselesaikan: antara Iran dan Israel, antara poros Timur dan poros Barat, antara yang merasa memiliki kedaulatan dan yang mengklaim legitimasi kekuasaan global.
Namun yang perlu ditekankan dari awal adalah bahwa konflik ini bukan perang agama. Membingkai perang ini semata sebagai pertarungan antara Islam dan Yahudi, atau antara Sunni dan Syiah, adalah penyederhanaan yang keliru dan menyesatkan. Realitasnya jauh lebih kompleks: ini adalah konflik kepentingan geopolitik, perebutan pengaruh kawasan, dan adu kekuatan antar negara yang merasa paling berhak menentukan tatanan dunia.
Iran, sejak Revolusi 1979, membentuk identitas politik yang berdiri di atas semangat anti-hegemoni, melawan dominasi AS dan sekutunya di kawasan. Dalam konflik ini, yang dipertahankan Iran bukan hanya fasilitas militer atau nuklirnya, melainkan kedaulatannya sebagai negara.
Sebuah prinsip yang dalam hukum internasional diakui sebagai hak mutlak, termasuk melalui Pasal 51 Piagam PBB yang menjamin hak setiap negara untuk mempertahankan diri jika diserang. Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, yang secara terbuka ditujukan untuk kepentingan damai bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga provokasi terbuka yang mengancam kestabilan kawasan.
Apa yang kita lihat hari ini bukanlah insiden satu malam. Ini adalah akumulasi dari ketegangan puluhan tahun, hasil dari pola relasi internasional yang timpang, di mana negara-negara besar merasa berhak bertindak semaunya atas nama “keamanan global”, padahal yang dijaga sesungguhnya adalah kepentingan ekonomi, energi, dan dominasi ideologis. Timur Tengah hanya menjadi “panggung pertempuran” dari skenario kekuatan besar dunia.
Dalam kondisi seperti ini, Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip bebas aktif dalam politik luar negeri, seharusnya tidak hanya berdiri sebagai pengamat pasif. Dunia membutuhkan suara yang berpihak pada perdamaian dan keadilan. Dan suara itu tak hanya bisa datang dari pemerintah, tapi juga dari kita selaku anak muda, pelajar, dan mahasiswa yang mewakili akal sehat dan nurani bangsa.
Sebagai ketua organisasi pelajar dan mahasiswa Kalimantan Barat secara nasional, saya memandang konflik ini sebagai alarm besar, bahwa dunia belum baik-baik saja. Bahwa perdamaian tidak pernah bisa hadir di tengah dominasi satu kekuatan atas kekuatan lain. Bahwa kedaulatan bangsa bukan sekadar jargon, tapi soal bertahan atas tekanan, soal martabat yang dipertaruhkan.
Iran hari ini mungkin menjadi simbol dari bangsa yang tak mau tunduk, meski itu berarti harus berhadapan dengan sanksi, embargo, bahkan invasi.
Dari sini pula kita belajar bahwa kekuatan sebuah bangsa bukan sekadar terletak pada persenjataan dan militer yang canggih. Kekuatan sejati tumbuh dari semangat kebangsaan yang tak mudah dibeli, dari ideologi yang kokoh, dan dari keberanian untuk menyatakan sikap, bahkan ketika dunia membungkam. Kita tidak bisa mengabaikan bahwa banyak bangsa di dunia mampu bertahan karena rakyatnya memegang prinsip dan harga diri nasional yang tak bisa ditukar dengan kepentingan jangka pendek.
Di balik itu semua, perang bukanlah jawaban. Dunia telah cukup banyak kehilangan karena konflik. Anak-anak menjadi yatim, perempuan menjadi korban, peradaban runtuh, dan kemanusiaan dikubur bersama puing-puing gedung yang dibom. Perang hanya menguntungkan mereka yang menjual senjata dan memperdagangkan penderitaan. Maka dari itu, kita sebagai anak muda tidak boleh terjebak pada romantisme kekuatan militer, apalagi mengagungkan perang sebagai jalan keluar.
Kita perlu menegaskan bahwa pihak mana pun yang memicu konflik, yang melanggar hukum internasional, dan yang membenarkan agresi atas nama “kepentingan strategis”, harus dikritik. Baik itu AS, Israel, maupun Iran bila terbukti melakukan tindakan yang mencederai hukum kemanusiaan. Karena keberpihakan kita bukan pada negara, agama, atau ideologi tertentu, tetapi pada keadilan, pada prinsip kedaulatan, dan pada kemanusiaan.
Dalam situasi ini, Indonesia, terutama generasi mudanya harus mengambil sikap. Tidak cukup hanya dengan pernyataan netral. Dunia sedang bergerak menuju polarisasi baru, dan sikap diam akan membuat kita tertelan oleh arus kepentingan global. Justru dalam kondisi inilah, kita harus memperkuat posisi bangsa di mata dunia, bahwa Indonesia berdiri untuk perdamaian, bukan untuk blok kekuatan mana pun.
Sebagai pelajar dan mahasiswa, saya percaya bahwa masa depan dunia ada di tangan kita. Bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh mereka yang berkuasa, tetapi juga oleh mereka yang berani bersuara. Dalam konflik Iran dan Israel, suara itu harus mengarah pada penghentian agresi, penghormatan terhadap hukum internasional, dan pemulihan martabat kemanusiaan.
Ketika api perang dinyalakan oleh mereka yang merasa paling kuat, maka biarlah kita menjadi air yang memadamkan dengan pengetahuan, dengan keberanian bersikap, dan dengan semangat kebangsaan yang tak mudah digoyahkan.
Oleh: Muhammad Syaefiddin Suryanto S.H., M.H
Presiden KPMKB (Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Barat) Nasional