Catatan Kritis Septian Pribadi Terhadap Kurikulum Merdeka Selama Era Jokowi

Editor: Ahmad Arsyad
Kabarbaru, Opini – Di akhir kepemimpinan Nadiem Makarim di Kemendikbudristek, muncul kritikan tajam dari mantan orang nomor 2 di Republik Indonesia, yaitu Jussuf Kalla (JK).
Kritik yang bisa jadi menjadi pemicu bahwa di era kepemimpinan presiden baru, Pak Prabowo, akan terjadi perubahan model kurikulum lagi.
Indonesia sendiri sudah berganti sebanyak beberapa kali. Dimulai pada Orde Lama, yaitu Kurikulum Berbasis Rencana Pembelajaran (leer plan) yang digodok sejak 1947, dan diterapkan pada 1950-1964 (14 tahun). Kemudian muncul Kurikulum 1964 dan bertahan sampai 1968 (4 tahun).
Lalu Kurikulum 1964 digantikan oleh Kurikulum 1968 yang disebut-sebut sebagai kurikulum pelengkap dari kurikulum sebelum-sebelumnya.
Kurikulum 1968 bertahan sampai tahun 1975 (7 tahun). Dan di tahun yang sama, yakni 1975, muncul Kurikulum 1975 yang berorientasi pada efektivitas dan efisensi dalam dunia pendidikan.
Kurikulum 1975 bertahan hingga tahun 1984 (9 tahun), kemudian muncul Kurikulum 1984 yang diadaptasi dari Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).
Kurikulum ini kemudian digantikan/disempurnakan oleh Kurikulum 1994 (10 tahun).
Belum selesai, Kurikulum 1994 berubah lagi menjadi Kurikulum 2004 (10 tahun) atau yang dikenal Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tak berhenti, karena ada ketidak puasan pada KBK, muncul Kurikulum 2006 atau yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan bertahan hingga 2021 (15 tahun).
Baru hingga saat ini, Kurikulum Merdeka yang digodok sejak 2020 dan diterapkan dan dievaluasi secara bertahap sejak 2021. Dan resmi menjadi kurikulum Nasional pada tahun 2024.
Berganti Kurikulum Secara hitungan kasar, sejak Republik Indonesia berdiri, kita sudah berganti kurikulum sampai 8 kali.
Dan setiap kurikulum memiliki usia hidupnya selama 7-15 tahun (lihat tahun yang saya beri kurung di atas). Apakah pergantian kurikulum semacam itu hal yang normal?.
Menurut data tahun 2020, dari dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan bahwa negara-negara yang memiliki pendidikan maju memiliki siklus rutin kurikulum.
Sebut saja Singapura (siklus 6 tahunan), Kanada (Siklus 7 tahunan), Jepang (Siklus 10 tahunan), Finlandia (10 tahunan). Secara matematis siklus pergantian kurikulum yang pernah dilakukan oleh Indonesia berada di jalur yang benar. Yaitu kisaran pada siklus 7-15 tahun.
Perubahan kurikulum di Indonesia memiliki banyak sebab, tidak serta merta disebabkan oleh pergantian menteri, seperti yang dikeluhkan oleh banyak orang.
Ada pengaruh sosio-politik global, penguatan ideologi negara, kebijakan arah pembangunan pemerintah, hingga dinamika di masyarakat adalah faktor-faktor yang menyebabkan kurikulum berubah.
Saya tidak hendak membahas secara rinci perubahan kurikulum yang disebabkan oleh faktor-faktor di atas. Secara sederhana, kita tidak mungkin membuat kurikulum yang sekarang ini seperti kurikulum pasca penjajahan Belanda dan Jepang.
Pasca penjajahan, fokus kurikulum yang diterapkan adalah bagaimana menghapus pengaruh pendidikan Belanda dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti bernegara. Pun demikian pada tahun 1968, ada materi bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama dalam kurikulum Indonesia.
Kurikulum Merdeka mencoba menjawab tantangan sesuai zamannya. Di era yang dipenuhi tantangan global di era revolusi 4.0, penguasaan literasi, numerisasi, dan keterampilan digital menjadi tantangan terbarukan yang harus dijawab oleh pendidikan di Indonesia.
Pertahankan Kurikulum Merdeka
Secara siklus, Kurikulum Merdeka masih seumur jagung. Bahkan belum mencapai siklus minimal yaitu 6 tahun yang dimiliki oleh negara-negara maju macam Singapura.
Bahkan kurikulum ini jika dihitung sejak resmi menjadi kurikulum nasional, belum mencapai umur 1 tahun.
Kritik tajam JK terhadap Nadiem memanglah wajar. Kurikulum yang masih berumur setahun ini pasti memiliki kekurangan di sana-sini.
Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa kita telan mentah-mentah dalam kritik JK.
Pertama, kita tidak ingin ada pergantian kurikulum baru di era presiden yang baru. Di antara sebabnya selain belum mencapai siklus pergantian kurikulum, adalah upaya pengembangan bersama pada Kurikulum Merdeka.
Ibarat sebuah rumah yang baru selesai dibangun, ketika ada atap yang bocor di sana-sini, solusinya bukan merobohkan rumahnya. Tapi bagaimana upaya memperbaiki kebocoran itu. Sehingga rumah akan menjadi aman & nyaman untuk digunakan bersama.
Jika solusinya adalah dirobohkan, tentu akan menghabiskan banyak waktu dan biaya. Belum lagi akan membingungkan penduduk yang ada di dalam rumah tersebut. Dalam hal ini adalah anak didik di seluruh Indonesia.
Kedua, jika kritik JK adalah penghapusan Ujian Nasional (UN) menyebabkan tidak terserapnya tenaga kerja, ini tidak sepenuhnya benar. Tak ada korelasi secara langsung adanya UN dengan penyerapan tenaga kerja.
Hanya saja, UN memang memiliki dampak pada hidupnya sistem pasar kerja.
Saya menduga, maksud dari JK terkait serapan kerja adalah serapan kerja di sektor formal. Memang ada kemerosotan serapan tenaga kerja di sektor formal (sektor yang memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan berbadan hukum).
Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Februari tahun 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Selama periode 2009-2014, menyerap sebanyak 15,6 juta orang.
Jumlah ini mnurun menjadi 8,5 juta orang pada periode 2014-2019, dan kembali merosot pada periode 2019-2024, menjadi 2 juta orang.
Meski merosot di sektor formal, data lain menunjukkan tidak ada tren pengangguran naik.
Justru pengangguran turun. Kebanyakan mereka yang tidak terserap di sektor formal berlabuh ke sektor informal.
Data resmi dari BPS pada 6 Mei 2024, serapan pekerja informal cenderung meningkat.
Pada 2009-2014, jumlah pekerja informal turun 1,9 juta orang. Namun pada 2014-2019, pekerja informal naik 4,9 juta orang. Dan melambung tinggi pada 2019-2024, naik 8,4 jut orang.
Artinya, orientasi kerja generasi saat ini tidak terbatas pada sektor formal semata. Melainkan pada sektor informal. Dulu, pekerjaan yang diidam-idamkan banyak orang adalah PNS. Namun, justru pemahaman itu, di zaman sekarang terbalik.
Ketiga dan terakhir, JK meminta kita berkiblat pada India karena banyak melahirkan CEO perusahaan raksasa di Amerika dan Canada. Mungkin ada sedikit kesalahpahaman di sini. Saya mencoba menelusuri tentang orang India yang menjadi CEO di sana.
Rupanya, kebanyakan dari mereka yang sukses justru bukan karena semata pendidikan di India. Tapi karena kualitas pendidikan di mana mereka menetap.
Sebut saja Satya Nadella (CEO Microsoft), Parag Agrawal (mantan CEO Twitter/X), Rohit Kapoor (CEO OYO Hotels & Homes). Mereka memang menamatkan pendidikan di India namun kemudian melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat dan terserap kerja di sana.
Jadi begini, yang ingin saya sampaikan adalah, kritikan JK akan menjadi masukan berarti jika diterima dengan lebih teliti. Bahwa problem utama kita dalam urusan serapan kerja saat ini bukan soal kurikulumnya, tapi minimnya lapangan kerja.
Dan saya kira, kita perlu memberi waktu Kurikulum Merdeka untuk berkembang. Alih-alih harus diganti. Melihat upaya Kurikulum Merdeka adalah mewujudkan pembelajaran yang holistik dan kontekstual.
Patut diupayakan semaksimal mungkin untuk tahu sejauh mana kurikulum ini patut diperjuangkan di tahun-tahun mendatang.
Penulis adalah Septian Pribadi, esais yang juga Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Tebuireng Media Group.