Saya Rela Jual Diri Demi Bayar UKT
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Cerpen- Memilih kampus bukanlah seperti proses lahir ke dunia ini, yang mana kita tak bisa memilih akan lahir di mana, dari rahim siapa dan kaya atau miskin orang tua kita. Ketatapan kita lahir ke dunia ini merupakan hak otoritas Tuhan yang sama sekali kita tidak punya daya untuk menolaknya.
Tapi tidak dengan memilih kampus, apa lagi seperti saya seorang perempuan yang lahir dari keluarga miskin desa. Orang miskin seperti saya hanya bisa berharap masuk ke kampus negeri yang kabarnya di sana biaya kuliah ditanggung pemerintah.
Betapa saya saat mendengar kabar tersebut di ujung desa nun jauh di pelosok bahagia sumringah luar biasa, senang bukan main. Seperti telah mendapatkan angin segar berupa harapan untuk melanjutkan belajar saya di pergutuan tinggi.
Segala upaya saya lakukan, belajar mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk kampus yang saya harapkan. Meskipun bagi saya uang 250.000 untuk biaya pendaftaran sangatlah besar, saya masih ingat betul Ibu saya yang sudah tua renta keliling kampung mencari pinjaman untuk biaya tes.
Melihat semangat yang berkobar dari wajah Ibu tentu saya tak mau membuatnya kecewa, saya harus lulus tes masuk kampus negeri. Toh nanti jikalau saya keterima biayanya lebih murah musabab disubsidi oleh pemerintah.
“Nak Zara, yang penting kamu keterima dulu ya di kampus yang kamu inginkan, syukur-syukur keterima di jursan Ekonomi Syariah yang benar-benar kamu sukai. Soal biaya nak, kamu ndak perlu pikir biarlah Ibu yang akan berusaha.”
Menurut saya perkataan Ibu ini mengiris hati, di sisi lain membuat saya semakin giat belajar agar keterima di kampus yang saya harapkan dengan jurusan yang sangat saya dambakan sejak dulu di bangku sekolah. Bagaimana saya tidak sedih melihat seorang Ibu tua renta yang sudah lama ditinggal meninggal dunia sama Bapak dan harus membiayai kuliah putri tunggalnya ini.
Awal semester yang penuh tantangan
Setelah dinyatakan lulus di progam studi Ekonomi Syariah saya bingung harus bahagia atau justru bersedih. Seminggu setelah pengumuman kelulusan selanjutnya disusul pengumuman biaya kuliah atau yang biasa dikenal di kampus-kampus negeri dengan nama Uang Kuliah Tungga (UKT).
Yang katanya sistem UKT tersebut merupakan sistem jitu dalam menentukan biaya kuliah berdasarkan penghasilan orang tua. Saya benar-benar heran, Ibu saya janda anak satu, hanya bekerja sebagai buruh tani di desa dan harus menanggung biaya yang sangat besar, dengan kelompok UKT 5 sebesar enam juta delapan ratus.
“Ibu tenang saja, biayaku kuliahku kan cuman empat ratus ribu, aku bisa sambil kerja di Jogja, Bu.” Saya tahu berbohong adalah dosa besar apa lagi kepada seorang Ibu. Tapi aku lebih memilih berdosa jika harus melihat Ibu keliling kampung mencari pinjaman hanya untuk biaya kuliahku.
Ibu hanya aku bebankan biaya ongkos dari kampung ke Jogja, dan untuk biaya kosan pada bulan pertama. Setelahnya saya hutang kepada salah satu senior yang sangat baik kepada saya, bahkan uang kuliahku dan segala biaya kebutuhan di Jogja dia yang memberi pinjaman. Terhitung lebih dari sepuluh juta hutangku kepada Kak Fikri seniorku di kampus.
Aku benar-benar bingung bagaimana caranya membayar hutangku ini, segala cara untuk mendapatkan kerjaan sudah saya lakukan. Mungkin ada puluhan warung kopi yang kukirimkan surat lamaran kerja, namun dari mereka tak ada satupun yang menerinya dengan alasan sudah penuh.
Ready say….
650 1x crot max 1 jam
Wajib kondom
No anal
TB 159
BB 50
Bra 45
Umur 19
Stay di hotel sri ayu
Jam dua siang saya chek in tanpa sepengetahuan siapa pun termasuk Bela teman dekatku di kampus. Jujur gemetar bukan main badan saya masuk hotel ini, terus terang tempat semacam ini adalah tempat yang sangat asing bagi saya. Di kampung saya dan Ibu tidur hanya beralasan tikar yang terbuat dari rakitan daun kelapa buatan almarhum Bapak dengan satu buah bantal yang sudah lapuk dan keras.
Baju ini, ah baju apaan ini, saya tak nyaman memakai baju ini, jujur aku tak tahu apa nama baju yang malam ini aku pakai, yang jelas serba terbuka, celana pendek di atas lutut, dan baju yang hanya menutupi bagian dada sampai bagian pusar. Aku membelinya di toko online seminggu yang lalu, dengan sisa uang hutangku sama Kak Fikri.
Tepat seminggu yang lalu Kak Fikri menagih hutangnya kepada saya, saya tak bisa mengelak selain mengusahakan uang itu ada dalam kurun waktu dua minggu.
“Zara, aku minta tolong ya usahain sesuai janjimu ini, gak apa-apa separuh aja dulu Zara, aku paham kok keadaan kamu. Mungkin klo lagi gak kepepet gak bakal aku nagih. Adikku di kampung butuh uang untuk bayar uang tahunan di pondoknya Zara. Aku minta tolong ya, Zara.”
Sebenarnya tagihan ini datangnya bukan pertama kali, namun Kak Fikri memaklumi keadaan saya ketika saya yang belum bisa membayar. Keadaan ini benar-benar membuat saya bingung dan semakin merasa tertekan, semalam suntuk saya memikirkan jalan keluarnya, namun tak kunjung dapat.
Akhirnya saya memutuskan ambil jalan pintas ini dengan menjual diri. Saya mulai belajar cara membuka jasa jual diri yang pada dasarnya saya tidak paham apa-apa. Saya menginstal aplikasi hijau yang biasa dipakai oleh perempuan-perempuan putus asa seperti saya ini.
Saya pelajari cara mereka berkomunikasi dan melakukan penawaran kepada pelanggannya, dengan cara saya pura-pura menjadi sebagai pembeli terlebih dahulu. Dari sanalah saya paham apa yang mestinya saya lakukan.
Jujur, keputusan ini benar-benar keputusan yang teramat berat. Saat pertama kali menerima orderan siang tadi yang tergambar adalah wajah Ibu dan Bapak yang sudah membesarkan saya sampai detik ini. Tapi akhirnya tetap saja rasanya kalah dengan tekanan yang saat ini saya alami.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 lima belas menit lagi orderan pertama datang, dadaku semakin terguncang jantungku berdetak kencang, aku tak tahu harus bagaimana benar-benar bingung.
Tiba-tiba ada bunyi ketokan pintu, aku membukanya dengan wajah berpura-pura berseri-berseri senyuman nafsu dan tatapan tajam penuh hasrat dari laki-laki yang umurnya tak jauh beda dengan saya ini menyapa dengan sebuah kecupan yang tiba-tiba mendarat dibibirku.
Shock bukan main, kaget, dadaku bergetar kencang. Kecupan laki-laki ini adalah kecupan bibir pertama kali selama hidupku. Ia tak banyak bicara hanya menanyakan, apakah saya sudah lama di sini, aku jawab tidak.
Selanjutnya ia mulai meraba pahaku, saya reflek menangkis tangannya. Tapi tetap saja tangannya menjalar ke bagian payudaraku. Aku pasrah, aku benar-benar pasrah atas apa yang laki-laki ini lakukan, aku terpaksa menikmatinya.
Dalam keadaan telanjang laki-laki ini menyosor hampir ke semua bagian tubuhku. Akhirnya saya merasakan sesuatu hinggap di antara kedua belah pahaku, aku tahu apa itu. Aku tak bisa menahan untuk tidak mendesah, sesuatu itu perlahan mulai sangat terasa, semakin terasa, hingga aku rasakan berulang kali kehadirannya di bagian antara kedua belah pahaku.
Puting payudaraku dihisapnya berkali-kali, geli dan nikmat tak bisa didustakan. Tangan kanan laki-laki ini memainkan jarinya divaginaku, sedang tangan kirinya meremas payudaraku.
Laki-laki ini benar-benar menikmati keperawananku, desahannya menyibak keheningan malam. Dalam hati ada sesal menyeruak dan bergemuruh di dada. Sepulangnya laki-laki itu, badan saya masih dalam keadaan telanjang, saya tutupi dengan selimut. Saya menangis merintih menyesali apa yang telah terjadi, namun saya harus melakukan pekerjaan ini berulang kali demi melunasi hutang saya kepada Kak Fikri.
Setelah kebutuhan finansial tercukupi
Kalau kamu mengira saya berhenti setelah semua hutang saya terlunasi, jawabannya tidak, perkiraanmu salah. Justru setelah itu saya hampir setiap malam melakoni pekerjaan ini, semakin gila. Bahkan dalam satu malam saya bisa menerima orderan sampai lima orang lebih.
Pekerjaan ini sudah menjadi bagian yang menolong saya selama di Jogja, bahkan saya beberapa kali mengirimi Ibu uang di kampung, betapa Ibu saya senang dengan uang yang saya kirim.
“Nak, Ibu bangga dan senang atas pencapaianmu saat ini.”
Ucapan Ibu tidak lah kemudian membuat saya bahagia, justru sebaliknya. Jikalau Ibu tahu sebenarnya apa yang saya kerjakan, mungkin Ibu akan menyesal telah melahirkan saya ke dunia ini.
Tidak ada orang di dunia ini yang benar-benar ingin terjerumus dalam lembah kegegalapan, yang ada hanyalah orang yang terjebak di dalamnya karena terpaksa.
Kak Fikri tahu apa yang selama ini saya kerjakan, musabab salah satu pelanggannya adalah teman Kak Fikri sendiri. Dalam jangka yang ditentukan untuk melunasi semua hutang saya kepada Kak Fikri, saya pun menjebak Kak Fikri tidur bersama dengan saya.
Saya rekam semua yang terjadi pada malam itu. Dan saya berkesimpulan, semua laki-laki tunduk di bawah selangkangan perempuan. Dari rekaman tersebut, saya jadikan bahan untuk mengancamnya jika berterus-terusan menagih hutang ke saya.
Akhirnya Kak Fikri pun orang yang sangat baik itu tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan menerimanya. Saya tetap bayar semua hutang saya, saya hanya minta perpanjangan waktu.
Perubahan atas diri saya benar-benar drastis, mulai dari cara saya berpakaian yang modis, hampir setiap malam pergi ke club, mabuk-mabukan dan hidup serba hedon. Kuliah smester pertama saya hancur, saya hanya fokus open BO melayani laki-laki dengan baik dan puas.
Hari ini saya pulang kampung, paman semalam menelfon katanya ada acara keluarga. Di perjalanan pulang perasaan saya tidak enak, tapi saya menepisnya mungkin ini hanya perasaanku saja.
Di dalam bus menuju Surabaya, saya bertemu dengan seorang Mahasiswi berhijab, teduh dilihat, wajahnya selalu tertunduk membaca buku, terlihat sangat polos. Aku jadi teringat masalaluku yang hampir sama dengan mahasiswi di sebelah kananku ini.
Satu tahun yang merubah segalanya, ini terjadi karena keadaan, entah lah, rasanya aku tak apa apabila harus dibilang sebagai seorang pendosa. Yang terpenting Ibu di rumah tidak pontang panting bekerja untuk membiayai kuliahku.
Sesampainya di terminal, Paman Sam telah stand by menjemputku setengah jam sebelum kedatanganku dari terminal Purbaya. Paman Sam adalah adik dari Ibuku, wajahnya sangat datar, aku seperti melihat rawut kesedihan yang ia sembunyikan.
“Assalamualaikum, Paman, maaf, tadi di jalan macet total Paman. Paman baik-baik saja kan?”
“Paman baik nak, mana barangmu, sini paman bawa, orang-orang di rumah telah menunggu kamu.”
“Maksud Paman apa, kenapa saya ditunggu Paman, bukannya acara keluarga yang paman kasih tahu masih seminggu lagi?” tanyaku penasaran, Paman Samsul tak memperdulikan omonganku, ia mengambil semua barangku, dibawanya ke area parkiran motor.
Aku mencoba untuk tetap baik-baik saja, maksudnya menghindari pikiran-pikiran negatif yang mencoba menerobos dinding-dinding pikiran yang kucoba tenanngkan.
Dalam pikiranku hanya ada satu ketakutan dan khwatiran. Bagaimana jika semisal kelakuanku di Jogja ketahuan, lalu kepulanganku ini membuat keluarga besarku menyidangku habis-habisan. Ah, tapi tak mungkin rahasia itu terbongkar, lagi pula tidak ada satu yang tahu tentang ini.
Di atas motor menuju desaku, Paman Sam hanya diam, tak mengajakku berbicara meski haanya sepatah kata saja. Aku semakin takut, apa yang terjadi sebenarnya, padahal kepulanganku ini telah aku persiapan uang 10 juta untuk Ibu, ya tentu Ibu pasti bahagia dengan uang ini. Ah sudah lah ini hanya pikiran kotorku saja.
Memasuki kampung halaman, orang-orang melihatku dengan wajah sinis, perasaanku semakin tak karuan, pasti ada yang tidak beres. Apa mungkin karena penampilanku yang terlihat modis? Tapi apa salahnya berpakaian modis yang terpenting kan rapi.
Aku kembali bertanya pada Paman Sam..
“Paman, ini sebenarnya ada apa?”
Paman hanya diam. Paman kemudian terus menancap gas motornya tanpa menghiarukan apa yang aku tanya. Ini sebenarnya ada apa? Apa yang telah terjadi?
“Paman, harusnya belok kiri, kenapa Paman ambil lurus. Paman mau bawa saya ke mana?”
Paman tidak menjawab. Aku pasrah. Orang-orang melihatku dengan wajah meringis, aku semakin yakin dengan dugaanku, bahwa orang-orang kampung telah mengetahui kelakuanku di Jogja.
“Paman aapa yang terjadi,” tanyaku mengikuti langkah paman, dan Paman lagi-lagi diam.
Sepuluh langkah kemudian saya baru paham maksud Paman, aku dibawa ke sebuah tanah lapang, kulihat sebuah batu nisan bernama Ibuku. Ya, Ibu sudah meninggal dunia tiga hari yang lalu.
Cerita Paman Sam dan Wasiat Ibu
Di atas motor menuju rumah yang jaraknya dari pemakaman Ibu dikubur, dengan derai air mata yang tanpa henti dan tanpa tahu penyebab meninggalnya Ibuku, paman memulai bercerita. Begini ceritanya.
Satu bulan lalu, ada sepuluh mahasiswa KKN di desa kita. Mereka yang KKN kebetulan generasi pertama dari kampusmu. Salah satu dari mahasiwi yang KKN itu ternyata ada yang bernama Irfan yang tak lain adalah teman dari Fikri.
Irfan adalah anak yang baik, ia polos, ia mungkin tidak mengenal kamu. Tapi dari Irfan semua kelakuanmu di Jogja terbongkar, dan semua orang kampung dan Ibumu mengetahui tentangmu selama di Jogja.
Irfan mempunyai teman namanya Alex, dia merupakan salah satu pelangganmu di Jogja. Malam itu Irfan maksudnya hanya mau bercerita lucu-lucuan tentang temannya yang bernama Alex yang suka open BO.
Alex diam-diam menyimpan fotomu sesat melakukan hubungan intim, Irfan yang mendapat foto itu dari Alex oleh teman-teman KKN dan masyarakat kampung yang kala itu tengah asyik mendengar ceritamu memaksa Irfan untuk memperlihatkan foto itu. Dari sanalah semua terbongkar.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, berita itu tersebar luas di kampung ini bahkan di desa lain. Ibumu mendengar kabar ini kaget, sampai akhirnya sakit, penyakit lemah jantungnya kambuh, lalu meninggal dunia.
Ibumu berpesan kepada Paman untuk tidak memberitahumu tentang sakitnya, padahal paman berkali-kali ingin menjemputmu langsung, tetapi Ibumu tidak memperbolehkan.
Ibumu berpesan, kamu tidak perlu melanjutkan pendidikannya di Jogja. Kamu balik kampung dan mengurusi rumah dan dua kambing peninggalan Ibumu.
22.58 WIB – 21/01/2023 Sang Kopas – Yogyakarta
*) Penulis adalah Zain Ali PM Novelis Asal Sampang Madura telah menerbitkan 5 novel.