Merajut Ketahanan Ekonomi di Tengah Gejolak Geopolitik: Pelajaran dari Kebijakan Indonesia

Editor: Bahiyyah Azzahra
Oleh: M. AL Husaini (Praktisi AI dan Digital Sektor Publik)
Kabar Baru, Jakarta – Dunia sedang bergejolak, dan Indonesia bukan sekadar penonton yang kebal dari hempasan ombak. Ketika Amerika Serikat dan China terjebak dalam spiral tarif perdagangan, 145 persen dari AS dibalas 84 persen oleh China, seperti dilaporkan pada 11 April 2025, gelombangnya menyapu hingga ke pasar di Jakarta, Surabaya, dan desa desa terpencil. Ini bukan hanya duel dua raksasa, melainkan guncangan geopolitik yang mengganggu rantai pasok, menaikkan harga, dan menguji ketangguhan setiap bangsa, termasuk Indonesia. Strategi kebijakan ekonomi Indonesia menawarkan peta jalan, tetapi peta ini penuh tantangan dan tikungan tajam. Dengan lensa geopolitik global, ekonomi, kecerdasan buatan, dan kebijakan publik, tulisan ini merajut benang merah yang kritis namun konstruktif, mengakui kendala serius Indonesia sambil mencari jalan menuju ketahanan nasional yang abadi dan relevan lintas zaman.
Geopolitik Global: Menyeimbang di Tengah Pusaran
Perang dagang Amerika Serikat dan China mencerminkan dunia yang terpecah. Amerika Serikat, dengan defisit perdagangan 295 miliar dolar terhadap China pada 2024, menggunakan tarif untuk memperkuat posisi ekonominya. China, dengan kekuatan manufakturnya, membalas dengan tegas, memperluas pengaruhnya ke Asia Tenggara dan sekitarnya. Konflik ini bukan sekadar soal barang, melainkan perebutan pengaruh di era kecerdasan buatan, di mana microchip dan logam langka seperti germanium menjadi kunci strategis. Indonesia, dengan tarif 32 persen dari Amerika Serikat yang ditunda 90 hari, mendapat ruang untuk bernapas, tetapi ruang ini sempit. Kita bergantung pada ekspor ke kedua raksasa, namun rentan terhadap guncangan mereka.
Tantangan Indonesia tak bisa diabaikan. Ketergantungan pada komoditas seperti nikel dan batu bara membuat kita rawan terhadap fluktuasi harga global. Diplomasi ekonomi kita, meski berupaya lincah, sering terhambat oleh koordinasi antar lembaga yang kurang optimal. Langkah negosiasi dengan ASEAN dan G20 menunjukkan usaha, tetapi tanpa diversifikasi pasar yang lebih cepat, posisi kita tetap rentan. Prinsip abadi di sini adalah dalam geopolitik yang penuh dinamika, ketahanan nasional bergantung pada kemandirian dan kemampuan beradaptasi, bukan hanya menanti situasi membaik.
Ekonomi: Menjaga Stabilitas di Tengah Tekanan
Perang dagang Amerika Serikat dan China, yang menyumbang 43 persen ekonomi global, menciptakan efek berantai yang tak pandang bulu. Tarif yang melonjak menaikkan harga barang, dari ponsel hingga panel surya, memicu inflasi dan menggoyang pasar keuangan. Indonesia merasakan dampaknya, rupiah menghadapi tekanan, pasar saham bergejolak, dan investor beralih ke aset aman seperti emas. Bagi pedagang di pasar tradisional, ini bisa berarti harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng melonjak. Bagi pekerja kantoran, tabungan investasi mereka berisiko tergerus.
Indonesia menawarkan langkah penyeimbang, seperti subsidi pupuk 1,3 juta ton untuk petani, BBM 0,8 triliun rupiah untuk 1,5 juta kiloliter, dan KUR 28,7 triliun rupiah untuk 0,5 juta UMKM. Ini adalah upaya memastikan beras tetap terjangkau, transportasi publik tetap berjalan, dan usaha kecil tetap bertahan. Namun, tantangan nyata tetap ada, ketergantungan pada impor bahan bakar dan pangan masih menjadi kerentanan, sementara distribusi KUR kadang terhambat oleh proses yang kompleks. Pengelolaan utang, meski hati hati dengan penerbitan neto hanya 30 persen dari target, tetap membutuhkan pendapatan negara yang lebih kuat untuk menjaga keseimbangan jangka panjang.
Inisiatif Danantara Indonesia Sovereign, yang mengelola aset BUMN dengan fokus pada transparansi, menjanjikan potensi besar. Namun, keberhasilannya bergantung pada tata kelola yang benar benar akuntabel untuk menghindari penyimpangan. Pelajaran universal adalah ekonomi yang kokoh membutuhkan keberanian untuk memperbaiki efisiensi sistem, dari distribusi bantuan hingga pengelolaan aset, sembari memprioritaskan kebutuhan rakyat.
Kecerdasan Buatan dan Teknologi: Menangkap Peluang di Tengah Keterbatasan
Perang dagang Amerika Serikat dan China tak hanya soal tarif, melainkan pertarungan untuk mendominasi kecerdasan buatan dan teknologi masa depan. Amerika Serikat membatasi akses China ke microchip canggih, sementara China mengendalikan logam langka yang vital untuk perangkat keras. Indonesia masih berada di pinggir lapangan, dengan ketergantungan tinggi pada impor teknologi. Ketika tarif mengganggu rantai pasok elektronik, industri lokal yang mengandalkan komponen impor bisa terhenti, dan konsumen menghadapi harga barang yang meningkat.
Investasi pada pendidikan, seperti KIP Kuliah 156,3 miliar rupiah untuk 2,6 juta pelajar, menjadi langkah awal membangun talenta. Namun, kenyataannya, kita masih kekurangan tenaga ahli di bidang kecerdasan buatan, infrastruktur digital tertinggal, dan dana riset teknologi minim. Hilirisasi nikel adalah kemajuan, tetapi tanpa lompatan ke industri berbasis teknologi tinggi, kita berisiko terjebak sebagai pemasok bahan mentah. Prinsip abadi adalah di era teknologi, ketahanan nasional bergantung pada kemampuan menghasilkan inovasi dan talenta sendiri, bukan hanya mengandalkan sumber daya alam.
Kebijakan Publik: Menjaga Kepercayaan di Tengah Tantangan
Kebijakan publik adalah jembatan antara negara dan rakyat, tetapi jembatan ini sering bergoyang. JKN 7,7 triliun rupiah untuk 96,7 juta peserta dan transfer daerah yang naik 23 persen menunjukkan upaya memastikan layanan kesehatan dan infrastruktur dasar sampai ke pelosok, seorang ibu di Aceh bisa berobat tanpa khawatir biaya, anak di Papua punya sekolah layak. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kendala, fasilitas kesehatan sering kekurangan tenaga medis, dan dana desa kadang tak tepat sasaran akibat pengawasan yang lemah.
Perang dagang Amerika Serikat dan China menambah tekanan. Ketika harga barang naik, kepercayaan rakyat pada pemerintah diuji. Koordinasi dengan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas rupiah menunjukkan usaha, tetapi tanpa reformasi yang lebih dalam, seperti menyederhanakan birokrasi atau mengarahkan subsidi dengan lebih tepat, upaya ini berisiko kehilangan daya. Saran konstruktif adalah kebijakan publik harus responsif, transparan, dan berani memperbaiki kelemahan sistemik. Prinsip ini relevan selamanya, negara yang kuat adalah yang mendengar aspirasi rakyat dan bertindak untuk mengatasinya, apa pun krisis yang dihadapi.
Masyarakat dan Industri: Berjuang di Tengah Realitas
Bagi masyarakat Indonesia, gejolak global bukan sekadar berita, melainkan harga beras yang naik, ongkos transportasi yang membengkak, atau pekerjaan yang terancam. UMKM, pilar ekonomi, menghadapi ekspor yang tersendat dan biaya bahan baku yang melonjak. Kebijakan seperti KUR dan subsidi membantu, tetapi ketika proses pengajuan kredit rumit atau bantuan tak sampai ke tangan yang tepat, rakyat kecil merasa terabaikan. Tantangan ini nyata, ketahanan nasional hanya akan tercapai jika kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan adil dan efisien.
Industri juga menghadapi ujian. Tarif global mengancam sektor seperti tekstil dan furnitur, yang menopang jutaan pekerja. Hilirisasi nikel menjanjikan kemajuan, tetapi ketergantungan pada pasar tunggal dan kurangnya diversifikasi industri bisa menjadi bumerang. Pelajaran abadi adalah masyarakat dan industri membutuhkan pemerintah yang tak hanya memberikan bantuan, tetapi juga menciptakan ekosistem yang mendukung, dengan regulasi yang jelas, infrastruktur memadai, dan komitmen untuk efisiensi.
Nasionalisme yang Realistis, Ketahanan yang Terukur
Kebijakan ekonomi Indonesia bukanlah gambaran sempurna, melainkan cerminan ambisi sekaligus keterbatasan. Indonesia berupaya melindungi rakyatnya, subsidi, KUR, JKN adalah bukti nyata. Namun, tantangan seperti pengawasan yang lemah, birokrasi yang berbelit, dan ketimpangan yang belum teratasi adalah hambatan yang harus diakui. Nasionalisme bukanlah sorak sorai kosong, melainkan keberanian untuk menghadapi kelemahan, memperbaiki sistem, dan memastikan setiap langkah membawa manfaat nyata bagi rakyat.
Konsep ini tak akan pudar, ketahanan nasional lahir dari keseimbangan antara visi dan realitas. Di tengah gejolak geopolitik, Indonesia bisa belajar dari Amerika Serikat dan China bahwa krisis global adalah peluang, untuk memperkuat industri lokal, mendidik generasi masa depan, dan membangun kepercayaan publik. Setiap pedagang yang bertahan di pasar, setiap pelajar yang mengejar ilmu, setiap pejabat yang bekerja dengan integritas, mereka adalah pilar ketahanan. Indonesia bukan kapal yang kebal badai, tetapi dengan navigasi yang cerdas, kita bisa melaju melewati gelombang.
Penutup
Gejolak geopolitik, dari tarif hingga persaingan kecerdasan buatan, akan terus menguji dunia. Indonesia, dengan segala potensi dan tantangannya, memiliki kesempatan untuk menempa jalan sendiri. Kebijakan ekonomi saat ini adalah titik awal, bukan akhir. Mari kita wujudkan ketahanan dengan mata terbuka, memperbaiki yang kurang, memperkuat yang lemah, dan menjadikan nasionalisme sebagai semangat yang hidup dalam tindakan nyata. Di pasar yang ramai, di sawah yang hijau, di ruang ruang kelas penuh harap, masa depan Indonesia ada di tangan kita, dan itu adalah amanah yang harus kita jalani dengan bijaksana.