Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Memahami Isi Pikiran Presiden dan Jebakan Kampanye Politik

Penulis adalah Muhammad Dzunnurain, CEO Media Harian Cendekia Group.

Editor:

Kabar Baru, Opini – Presiden Prabowo menyebut anggaran pendidikan dalam RAPBN 2026 mencapai Rp757,8 triliun, jumlah terbesar sepanjang sejarah. Angka ini setara dengan 20 persen APBN, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

Sekilas terdengar melegakan, seolah pemerintah benar-benar menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Namun, publik sontak terkejut saat mengetahui bahwa hampir separuh dari porsi fantastis itu justru akan dihabiskan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Jasa Penerbitan Buku

Alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan memang terlihat ideal. Sayangnya, pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan kenyataan yang berbeda. Catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) membuktikan bahwa realisasi anggaran pendidikan tidak pernah mencapai angka 20 persen.

Tahun 2022, realisasi hanya sekitar 15,46 persen. Pada 2023 naik menjadi 16,4 persen dan tahun 2024 pun masih di kisaran 17 persen. Ada jarak ratusan triliun rupiah yang tak terserap setiap tahun, dan celah inilah yang menimbulkan kecurigaan publik bahwa 20 persen lebih sering jadi angka manis dalam dokumen, bukan kenyataan.

Ketika sebagian masyarakat berharap lonjakan anggaran 2026 akan benar-benar digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan, justru muncul program makan gratis yang menyerap Rp335 triliun atau sekitar 44,2 persen dari total anggaran pendidikan. Padahal, tahun sebelumnya program ini sudah mengambil porsi Rp56 triliun.

Tentu saja, program semacam ini memunculkan tanya: apakah pemberian makan gratis memang bagian dari investasi pendidikan jangka panjang, atau sekadar janji kampanye yang kini dibebankan pada pos anggaran pendidikan?

Masalah pengalokasian yang menyimpang sebenarnya bukan hal baru. Bertahun-tahun, anggaran pendidikan kerap disisipi pembiayaan untuk sekolah kedinasan, meski Pasal 49 UU Nomor 20 Tahun 2003 secara tegas melarangnya.

Data KPK tahun 2024 menunjukkan, mahasiswa di perguruan tinggi negeri hanya memperoleh Rp7 triliun, sementara kampus kedinasan mendapat Rp32 triliun.

Konsekuensinya jelas: biaya kuliah di perguruan tinggi umum makin melambung, dan akses pendidikan tinggi semakin jauh dari jangkauan kelompok masyarakat miskin.

Akar masalahnya terletak pada regulasi yang longgar. Undang-undang memang mengamanatkan 20 persen APBN untuk pendidikan, tetapi tidak menjelaskan secara rinci apa yang boleh dan tidak boleh masuk dalam perhitungan.

Tidak ada sanksi bila dana dialihkan ke program lain, sehingga pemerintah leluasa menafsirkan istilah fungsi pendidikan secara luas. Celah inilah yang memungkinkan anggaran pendidikan digunakan untuk membiayai program populis atau kegiatan kementerian nonpendidikan yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan.

Selain faktor regulasi, motif politik juga tidak bisa dikesampingkan. Anggaran pendidikan adalah pos besar yang menggiurkan, sehingga kerap diperlakukan sebagai lumbung untuk memenuhi janji politik.

Program MBG yang membengkak menjadi ratusan triliun rupiah adalah contoh nyata bagaimana anggaran pendidikan bisa berubah menjadi kendaraan politik, bukan instrumen untuk memperkuat fondasi pendidikan nasional.

*Penulis adalah Muhammad Dzunnurain, CEO Media Harian Cendekia Group.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store